Senin, 03 Agustus 2009

Rimpu Mbojo

A. Latar Belakang
Masyarakat Bima yang sekarang kita kenal merupakan perpaduan dari berbagai suku, etnis dan budaya yang hampir menyebar di seluruh pelosok tanah air. Akan tetapi pembentukan masyarakat Bima yang lebih dominan adalah berasal dari imigrasi yang dilakukan oleh etnis di sekitar Bima. Karena beragamnya etnis dan budaya yang masuk di Bima, maka tak heran agama pun cukup beragam meskipun 90% lebih masyarakat Bima sekarang beragama Islam.
Dana Mbojo (Bima) merupakan suatu daerah yang kaya akan budaya dan adat-istiadat, yang merupakan ciri khas dari masyarakat Bima itu sendiri. Tetapi dewasa ini adat-istiadat tersebut perlahan-lahan mulai luntur, dan sulit untuk ditemukan. Sehingga tidak mengherankan banyak anak-anak atau para remaja Bima yang tidak mengetahui buadayanya sendiri. Keadaan ini tentu sangat memperihatinkan, karena adat-istiadat dan budaya yang diwariskan secara turun temurun tersebut tak ternilai harganya. Akan sangat sangat disayangkan bila harus hilang begitu saja, karena adat-istiadat dan budaya merupakan ciri khas suatu suku. Dan Indonesia merupakan bangsa yang terkenal karena kaya akan adat-istiadat yang berbeda pada tiap-tiap daerah dan suku. Salah satu yang menjadi sorotan dari adat-istiadat masyarakat Bima yang sekarang mulai memudar dan berangsur-angsur hilang adalah budaya rimpu. Budaya rimpu merupakan cara berpakaian yang merupakan ciri khas masyarakat Bima. Rimpu adalah juga sebuah identitas.
Paling tidak ada beberapa alasan mendasar bagi keharusan terjaganya rimpu dari pengikisan budaya oleh kecenderungan globalisasi, modernisasi, dan sekularisasi. Rimpu juga adalah sebuah bentuk pakaian yang sopan. Tentu makna kesopanan sangat relatif tergantung bagaimana masyarakat setempat memaknainya, seperti contoh pada suku Asmat di Irian Jaya, kesopanan tidak dinilai dari pakaian. Wanita dan laki-laki bebas bertelanjang dan hanya satu bagian saja dari tubuh mereka yang terbalut pakaian. Itulah yang disepakati oleh mereka. Tapi fakta tersebut tentu saja suatu perkecualian. Pada konteks Indonesia secara umum, Bima khususnya, kesopanan masih juga dinilai, salah satunya, dari cara berpakaian dan berpenampilan.

B. Sejarah dan Struktur Sosial Masyarakat Bima
Bima dikenal dengan nama Mbojo yang berasal dari kata babuju yaitu tanah yang tinggi yang merupakan busut jantan yang agak besar, tempat bersemayamnya raja-raja ketika dilantik dan disumpah, yang terletak di kamopung Dara. Sedangkan namn Bima, merupakan nama leluhur raja-raja Bima yang pertama. (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1977: 10)
Dulunya, Bima merupakan kerajaan terpenting di Pulau Sumbawa maupun Di kawasan Sunda Kecil pada Kurun waktu abad ke 17-19. Kerajaan Bima dalam perkembangannya banyak melakukan hubungan dengan Makasar. (Aliuddin. 1983: 10). Bima terletak di tengah-tengah jalur maritim yang melintasi Kepulauan Indonesia, sehingga menjadi tempat persinggahan penting dalam jaringan perdagangan dari Malaka ke Maluku. Sejumlah peninggalan purbakala dan prasasti serta kutipan dari teks Jawa Kuna seperti Nagarakertagama dan Pararaton membuktikan bahwa pelabuhan Bima telah disinggahi sekitar abad ke 10 Waktu orang Portugis menjelajahi Kepulauan Nusantara, Biama telah menjadi pusat perdagangan yang berarti. Pada dasawarsa kedua abad ke 16, Tome Pires menggambarkan Bima sebagai berikut: ”Pulau Bima adalah pulau yang diperintah oleh seorang raja kafir. Dimilikinya banyak perahu dan banyak bahan makanan, serta juga daging, ikan, dan asam, dan juga banyak kayu sapang yang dibawanya ke Malaka untuk dijual, dan orang pergi ke Malaka untuk membelinya karena mudah dijual di Cina; kayu sapang tipis, dan harganya di Cina lebih murah dari kayu sapang Siam yang lebih tebal dan lebih bermutu. Bima juga memiliki banyak budak dan banyak kuda yang dibawanya ke Jawa. Perdagangan di pulau itu ramai. Orangnya hitam berambut lurus. Terdapt banyak dusun, banyak orang, dan banyak hutan. Orang yang berlayar ke Banda dan Maluku singgah di situ dan membeli berbagai jenis ikan, yang kemudian dijualnya di Banda dan Maluku. Pulau itu juga mempunyai sedikit emas. Mata uang jawa berlaku di situ.” (Maryam. 1999: 23-24)
Batas wilayah Bima di sebelah utara Laut Flores, sebalah selatan Samudra Hindia, sebelah timur Selat Sape, sedangkan batas sebelah barat adalah Kabupaten Dompu. Secara fisiografi terletak pada 1170 40’-1190 10’ BT dan 700 30’ -700 91’ LS. (Ohorella. 1997: 5)
Masyarakat Bima yang sekarang kita kenal merupakan perpaduan dari berbagai suku, etnis dan budaya yang hampir menyebar di seluruh pelosok tanah air. Akan tetapi pembentukan masyarakat Bima yang lebih dominan adalah berasal dari imigrasi yang dilakukan oleh etnis di sekitar Bima. Karena beragamnya etnis dan budaya yang masuk di Bima, maka tak heran agama pun cukup beragam meskipun 90% lebih masyarakat Bima sekarang beragama Islam. Untuk itu, dalam pembahasan berikut akan kita lihat bagaimana keragaman masyarakat Bima tersebut, baik dilihat dari imigrasi secara etnis/budaya maupun secara agama/kepercayaan.
1. Variasi Masyarakat Bima Berdasarkan Etnis/Budaya
a. Orang Donggo
Orang Donggo dikenal sebagai penduduk asli yang telah menghuni tanah Bima sejak lama. Mereka sebagian besar menempati wilayah pegunungan. Karena letaknya yang secara geografis di atas ketinggian rata-rata tanah Bima, Dou Donggo (sebutan bagi Orang Donggo dalam bahasa Bima), kehidupan mereka sangat jauh berbeda dengan kehidupan yang dijalani masyarakat Bima saat ini. Masyarakat Donggo mendiami sebagian besar wilayah Kecamatan Donggo sekarang, yang dikenal dengan nama Dou Donggo, sebagian lagi mendiami Kecamatan Wawo Tengah (Wawo pegunungan) seperti Teta, Tarlawi, Kuta, Sambori dan Kalodu Dou Donggo Ele.
Pada awalnya, sebenarnya penduduk asli ini tidak semuanya mendiami wilayah pegunungan. Salah satu alasan mengapa mereka umumnya mendiami wilayah pegunungan adalah karena terdesak oleh pendatang-pendatang baru yang menyebarkan budaya dan agama yang baru pula, seperti agama Islam, Kristen dan bahkan Hindu/Budha. Hal ini dilakukan mengingat masih kuatnya kepercayaan dan pengabdian mereka pada adat dan budaya asli yang mereka anut jauh-jauh hari sebelum para pendatang tersebut datang.
Kepercayaan asli nenek moyang mereka adalah kepercayaan terhadap Marafu (animisme). Kepercayaan terhadap Marafu inilah yang telah mempengaruhi segala pola kehidupan masyarakat, sehingga sangat sukar untuk ditinggalkan meskipun pada akhirnya seiring dengan makin gencarnya para penyiar agama Islam dan masuknya para misionaris Kristen menyebabkan mereka menerima agama-agama yang mereka anggap baru tersebut. Sebagaimana umumnya mata pencaharian masyarakat yang masih tergolong tradisional, mata pencaharian Dou Donggo pun terpaku pada berladang dan bertani. Sebelum mengenal cara bercocok tanam, mereka biasanya melakukan perladangan berpindah-pindah, dan karena itu tempat tinggal mereka pun selalu berpindah-pindah pula (nomaden).
Berhadapan dengan kian gencarnya arus modernisasi, seiring itu pula pemahaman masyarakat akan kenyataan hidup berubah, terutama dalam hal pendidikan dan teknologi. Saat ini, telah sekian banyak para sarjana asli Donggo, yang umumnya menimba ilmu di luar daerah seperti Ujung Pandang, Mataram atau bahkan ke kota-kota di pulau Jawa seperti Bandung, Yogyakarta, Jakarta dan lain-lain. Demikian juga halnya dengan teknologi, yang akhirnya merubah pola hidup mereka seperti halnya dalam penggarapan sawah, kendaraan sampai alat-alat elektronik rumah tangga, karena hampir semua daerahnya telah dialiri listrik. Bahkan tak jarang mereka menjadi para penyiar agama seperti Da’i, karena telah begitu banyaknya mereka naik haji.
b. Dou Mbojo (Orang Bima)
Dou Mbojo yang dikenal sekarang awalnya merupakan para pendatang yang berasal dari daerah-daerah sekitarnya seperti Makassar, Bugis, dengan mendiami daerah-daerah pesisir Bima. Mereka umumnya berbaur dengan masyarakat asli dan bahkan menikahi wanita-wanitanya. Para pendatang ini dating pada sekitar abad XIV, baik yang datang karena faktor ekonomi seperti berdagang maupun untuk menyiarkan agama sebagai mubaliqh. Mata pencaharian mereka cukup berfariasi seperti halnya bertani, berdagang, nelayan/pelaut dan sebagian lagi sebagai pejabat dan pegawai pemerintah.
Karena pada awalanya mereka adalah pendatang, pada beberapa generasi kemudian banyak juga yang merantau ke luar daerah untuk berbagai keperluan dan profesi seperti sebagai pegawai daerah, sekolah/kuliah, menjadi polisi/tentara, pedagang dan lain-lain. Umumnya mereka memiliki sifat ulet, mudah menyesuaikan diri dengan orang lain dan bahkan kasar. Hingga kini, beberapa daerah di Bima mewarisi sifat-sifat kasar ini seperti beberapa daerah (desa) di Kecamatan Sape, Wera dan Belo.
c. Orang Arab dan Melayu
Orang Melayu umumnya berasal dari Minangkabau dan daerah-daerah lain di Sumatera, baik sebagai pedagang maupun sebagai mubaliqh. Jumlah mereka termasuk minoritas, yang pada awalnya menempati daerah Bima pesisir Teluk Bima, Kampung Melayu dan Benteng. Terdorong oleh arus mobilitas penduduk yang cukup cepat, sekarang sebagian besar mereka telah membaur ke wilayah-wilayah pedalaman bersama masyarakat Bima lainnya. Orang Arab pun datang ke Bima sebagai pedagang dan mubaliqh. Awal kedatangan orang Arab umumnya sangat tertekan karena harus berhadapan dengan masyarakat Bima yang sudah cukup variatif. Mereka dianggap sebagai pendatang dari Arab, sebagai turunan Nabi. Akan tetapi, sekarang mereka telah diterima secara umum dan wajar, serta telah berbaur dengan masyarakat. Bahkan seiring dengan kuatnya pengaruh Islam melalui Hadirnya Kesultanan Bima, termasuk orang Melayu, sering dianggap istimewa karena biasanya pada masa Kesultanan Bima mereka diangkat sebagai Da’I dan pejabat hadat di seluruh pelosok tanah Bima.
c. Pendatang Lainnya
Para pendatang ini datang dengan latar belakang yang beragam, dengan menduduki berbagai profesi baik sebagai pejabat pemerintah, polisi/tentara, pedagang/pengusaha. Mereka datang dari Jawa, Madura, Ambon, Flores, Timor-Timur, Banjar, Bugis, Bali, Lombok yang kemudian membaur dan menikah dengan masyarakat Bima asli maupun dengan para pendatang lain. Orang Cina tak ketinggalan memiliki peran di Bima, yang umumnya berprofesi sebagai pedagang. Dari segi jumlah, orang Cina memang tergolong kecil namun karena mereka sangat gigih dan ulet, peran mereka dalam perekonomian Bima sangat signifikan.
2. Variasi Masyarakat Bima Berdasarkan Agama
a. Kepercayaan Makakamba - Makakimbi
Kepercayaan ini merupakan kepercayaan asli penduduk Dou Mbojo. Sebagai media penghubung manusia dengan alam lain dalam kepercayaan ini, diangkatlah seorang pemimpin yang dikenal dengan nama Ncuhi Ro Naka. Mereka percaya bahwa ada kekuatan yang mengatur segala kehidupan di alam ini, yang kemudian mereka sebut sebagai “Marafu”. Sebagai penguasa alam, Marafu dipercaya menguasai dan menduduki semua tempat seperti gunung, pohon rindang, batu besar, mata air, tempat-tempat-tempat dan barang-barang yang dianggap gaib atau bahkan matahari. Karena itu, mereka sering meminta manfaat terhadap benda-benda atau tempat-tempat tersebut. Selain itu, mereka juga percaya bahwa arwah para leluhur yang telah meninggal terutama arwah orang-orang yang mereka hormati selama hidup seperti Ncuhi, masih memiliki peran dan menguasai kehidupan dan keseharian mereka. Mereka percaya, arwah-arwah tersebut tinggal bersama Marafu di tempat-tempat tertentu yang dianggap gaib.
Masyarakat asli juga memiliki tradisi melalui ritual untuk menghormati arwah leluhur, dengan mengadakan upacara pemujaan pada saat-saat tertentu. Upacara tersebut disertai persembahan sesajen dan korban hewan ternak yang dipimpin oleh Ncuhi. Tempat-tempat pemujaan tersebut biasa dikenal dengan nama “Parafu Ra Pamboro”.
b. Agama Hindu
Sampai saat ini belum ada ilmuwan/sejarawan yang mengetahui secara pasti kapan agama Hindu memasuki tanah Bima. Dari sekian petunjuk peninggalan sejarah yang berupa prasasti maupun berbentuk monumen seperti prasasti Wadu Pa’a yang dipahat Sang Bima saat mengembara ke arah timur pada sekitar pertengahan abad VIII, bekas candi di Ncandi Monggo, prasasti Wadu Tunti di Rasabou Donggo, kuburan kuno Padende dan Sanggu di Pulau Sangiang, tidak meninggalkan informasi yang jelas tentang masuknya agama Hindu. Pengaruh agama Hindu dari Bali dan Lombok yang cukup besar tidak mampu menembus wilayah Bima, dan hanya bertahan di wilayah Dompu dan sebagian daerah Bolo.
c. Agama Kristen
Secara umum, Dou Mbojo tidak senang dengan kedatangan agama ini. Agama Kristen dianggap sebagai agama orang luar yang sangat berbeda dengan kenyataan hidup dan budaya mereka. Meskipun agama Kristen kurang mendapat angin segar dari Dou Mbojo, namun agama ini berhasil menyebar dan dianut oleh masyarakat pendatang lainnya seperti pendatang dari Timur, anggota polisi/tentara, serta pendatang dari Jawa dan Manado, yang awalnya mendiami daerah-daerah pesisir Bima dan kemudian sebagian kecil lagi memasuki daerah-daerah pedalaman. Akhir-akhir ini, tampaknya kegagalan sejarah tersebutlah yang kemudian memotivasi kembali kaum misionaris untuk melancarkan misinya ke daerah-daerah pelosok dan kepada masyarakat yang mendiami wilayah pegunungan dan tergolong terbelakang, melalui apa yang dikenal dengan program “Plan”. Namun, lagi-lagi misi ini bukan tak ada hambatan, karena kemudian Majelis Ulama Indonesia NTB melarang keberadaan mereka dengan segala aktivitasnya.
d. Agama Islam
Ada dua alasan utama kenapa agama Islam dapat lebih mudah diterima di Bima. Pertama, jauh-jauh waktu sebelum diberlakukannya secara resmi sebagai agama kerajaan, masyarakat Bima sudah lebih dulu mengenal agama Islam melalui para penyiar agama dari tanah Jawa, Melayu bahkan dari para pedagang Gujarat dari India dan Arab di Sape pada tahun 1609 M, yang awalnya dianut oleh masyarakat pesisir. Kedua, tentu saja peran yang penting adalah peralihan dari masa kerajaan kepada masa kesultanan yang kemudian secara resmi menjadikan agama Islam sebagai agama yang umum dianut oleh masyarakat Bima. Letak Bima yang strategis sangat mendukung sebagai jalur perdagangan antar daerah bahkan sebagai jalur transportasi perdagangan laut internasional, yang didukung dengan keberadaan Pelabuhan Sape.
Sebagai sultan pertama, diangkatlah Sultan Abdul Kahir pada tanggal 5 Juli 1620 M. Kehadiran sultan pertama ini memiliki pengaruh yang besar dan luas sehingga penyebaran agama Islam begitu cepat di seluruh pelosok tanah Bima, kecuali di daerah-daerah tertentu seperti di Donggo yang masih bertahan pada kepercayaan nenek moyang. Selain Donggo, Wawo juga termasuk sebagian daerahnya masih bertahan pada kepercayaan nenek moyang. Akan tetapi pada beberapa generasi berikutnya mereka mulai menerima Islam, karena makin sulitnya arus komunikasi terbatas internal yang mereka lakukan sesamanya serta makin meluasnya arus komunikasi masyarakat yang beragama Islam. Sekarang, bahkan di daerah-daerah yang dulu memegang kuat adat nenek moyang, hampir tidak dapat dibedakan antara Islam dengan budaya setempat.
Dalam kehidupan yang demikian Islami tersebut, muncul satu ikrar setia pada Islam dalam bentuk ikrar yang berbunyi “Mori ro made na Dou Mbojo ede kai hukum Islam-ku” yang berarti “Hidup dan matinya orang Bima harus dengan hukum Islam”. Untuk menguatkan ikrar ini, bahkan sejak masa kesultanan telah dibentuk sebuah majelis yang dikenal dengan Hadat Tanah Bima, yang bertugas dan bertanggung jawab selain sebagai sarana penyiaran dan penyebaran Islam juga sebagai penentu segala kebijakan kesultanan yang berdasarkan Islam dan kitabnya.
Penyebaran yang demikian pesat ini juga diiringi dengan berkembangnya berbagai pusat pendidikan dan pengajaran Islam, serta masjid-masjid selalu menghiasi di setiap desa dan kampung tanah Bima. Pusat-pusat pengajaran Islam tidak hanya berkembang melalui pesantren, bahkan berkembang dari rumah ke rumah, terbukti dengan menjamurnya tempat pengajian di rumah-rumah yang menggema dan melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran di setiap sore dan malam hari.
Pada masa kesultanan juga diperlakukan aturan yang bersendikan hukum Islam dengan mendirikan Badan Hukum Syara atau Mahkamah Tussara’iyah, yang mengirim pemuda-pemuda Bima untuk belajar memperdalam kaidah dan pengetahuan Islam ke Mekkah, Mesir, Istamul dan Bagdad serta negara-negara Arab lainnya. Bahkan telah diusahakan tanah wakaf di Mekkah untuk menjamu jamaah calon haji Dou Mbojo yang selalu membanjir setiap tahunnya untuk menunaikan ibadah haji.
Demikian dua model variasi masyarakat Bima yang kita lihat dan kenal sekarang. Meski demikian, pada perkembangan-perkembangan terakhir sebagaimana kenyataan yang dihadapi masyarakat Indonesia umumnya dengan semakin cepatnya arus modernisasi, kenyataan tersebut secara perlahan mengalami perubahan. Berbagai perubahan tersebut semakin memberi warna, baik putih maupun hitam, dalam beragam kehidupan dan keseharian masyarakat Bima.

C. Manfaat dan Peran Budaya Rimpu Dalam Keseharian Masyarakat Bima.
Manfaat dan peran rimpu bagi masyarakat Bima, tidak hanya terbatas sebagai lambang atau ciri khas masyarakat Bima saja. Tetapi juga ada lasan lain, yang mengharuskan terus terjaganya rimpu, yaitu:


a. Alasan Teologis
Dalam al Qur’an ada tiga ayat yang khusus berkenaan dengan wacana pembatasan diri dan cara berpakain muslimah yaitu al Ahzab (33: 53, 59) dan an Nur (24:31). Al Ahzab ayat 53 adalah ayat tentang hijab yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai perintah khusus untuk isteri Nabi. Lagipula hijab sebenarnya berarti satir atau pembatas bukan bermakna spesifik jilbab atau penutup kepala. Ayat 59 surat yang sama adalah tentang jalabib yang konteksnya memerintahkan perempuan berpakaian panjang dan sopan sebagai identitas pembeda antara wanita merdeka dan budak. Sementara surat An Nur ayat 24 adalah tentang khimar yang menganjurkan perempuan menutup dada sebagai koreksi terhadap cara berpakaian wanita (yang pada saat itu, mungkin) suka mengumbar dada.
Dari ketiga ayat tersebut, nampaknya, ada tiga nilai mendasar yang terkandung dalam etika berpakaian wanita muslimah yaitu: pembatasan, kesopanan, dan identitas. Di sinilah simpul di mana rimpu menemukan nilainya. Rimpu merengkuh ketiga nilai yang diamanatkan oleh al Qur’an itu.
Rimpu adalah sebuah pembatasan bagi diri wanita Bima untuk tidak melakukan hal-hal di luar kemampuannya sebagai seorang wanita. Juga membatasi diri dari pengaruh pandangan-pandangan yang menjadikan wanita sebagai obyek.
Rimpu juga adalah sebuah bentuk pakaian yang sopan. Tentu makna kesopanan sangat relatif tergantung bagaimana masyarakat setempat memaknainya, seperti contoh pada suku Asmat di Irian Jaya, kesopanan tidak dinilai dari pakaian. Wanita dan laki-laki bebas bertelanjang dan hanya satu bagian saja dari tubuh mereka yang terbalut pakaian. Itulah yang disepakati oleh mereka. Tapi fakta tersebut tentu saja suatu perkecualian. Pada konteks Indonesia secara umum, Bima khususnya, kesopanan masih juga dinilai, salah satunya, dari cara berpakaian dan berpenampilan.
Rimpu adalah juga sebuah identitas. Konon, dulu, untuk membedakan wanita yang masih gadis dan sudah berumah tangga, cukup melihat dari cara mereka memakai rimpu. Rimpu mpida di mana hanya mata yang kelihatan dipakai biasanya oleh gadis, sementara rimpu colo yang menampakkan seluruh bagian muka biasanya dikenakan oleh ibu rumah tangga. Jadi, rimpu benar-benar sebuah kreatifitas budaya yang dilandasi oleh kesadaran agama yang begitu tinggi.
b. Alasan Sosiologis
Salah satu alasan yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang tidak pro jilbab adalah bahwa jilbab adalah budaya Arab dan selayaknya Islam tidak diidentikan dengan Arab. Lalu mereka berkesimpulan jilbab tentu saja tidak harus menjadi pakaian muslimah Indonesia. Menurut hemat saya, pendapat ini tidak harus diartikan bahwa kita lalu tidak perlu menutup aurat sebagaimana yang dikehendaki oleh ajaran Islam, tetapi hendaknya umat Islam di belahan dunia manapun mampu menterjemahkan ajaran agamanya sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Pada point inilah rimpu menemukan arti pentingnya. Rimpu adalah kearifan lokal masyarakat Bima yang ingin menterjemahkan nilai agamanya ke dalam budaya mereka sendiri sehingga agama itu lalu melekat dan tidak terpisahkan dari budaya. Sehingga teori Receptio in Complexu yang dikemukakan oleh sarjana Belanda (Van den Berg) bahwa adat di Indonesia akan berlaku apabila sesuai dengan ajaran agama (Islam) benar-benar merupakan cerminan nyata kehidupan masyarakat Indonesia.
Ini merupakan tantangan sekaligus peluang. Di satu sisi, masyarakat Indonesia dan Bima khususnya, tertantang untuk mengawinkan dan mempertahankan tradisi di dalam bingkai agama. Di sisi lain, tidak bisa dipungkiri bahwa nama besar Arab sebagai negara dan tempat di mana Islam diturunkan tetap membayangi pemahaman keagamaan sebagian orang. Ketika penulis mengadakan interview dan penelitian kecil-kecilan mengenai kenapa rimpu semakin menghilang di dana Mbojo tercinta, sebagian besar responden berargumen bahwa rimpu out of date, tidak praktis dan tidak simple dipakai. Lebih baik memakai jilbab yang lebih islami dan lebih modis. Dari jawaban itu, saya lalu berpikir bahwa kalau mau jujur, bentuk jilbab yang sekarang dipakai oleh sebagian besar muslimah Indonesia juga tidaklah persis sama dengan jilbab yang dipakai oleh muslimah Arab. Telah terjadi modifikasi sedemikian rupa yang disesuaikan dengan kebutuhan dan tempat dimana pakaian itu digunakan. Jilbab untuk pakaian kantor agak berbeda dengan jilbab yang dipakai untuk pengajian. Nah, kalau mau, kenapa bukan rimpu saja yang dimodifikasi? Ide dasarnya rimpu dan penutup dus, sarung, dus, muna tapi penampilannya bolehlah disesuaikan dengan kebutuhan.
Dengan menghidupkan kembali rimpu dan lalu mempertahankannya, budaya lokal tetaplah terjaga, yang saya yakin sepenuhnya pasti punya dampak secara ekonomis, dan juga sebuah kebanggaan identitas, dan sangat positif bagi pariwisata budaya. Tentu masih banyak lagi dampak lain yang patut dikalkulasi. Lebih-lebih di tengah gencarnya arus globalisasi dewasa ini, penemuan kembali budaya lokal sebagai wujud kecintaan terhadap tradisi dan sebagai upaya untuk mempertahankan identitas adalah sesuatu yang harus dilakukan.
c. Alasan Teoritis
Banyak pihak yang mengidentikan kebebasan dengan feminism atau bersembunyi di balik nama feminism demi kebebasan, dan lalu berkilah bahwa jilbab tidak perlu dan itu hanyalah sebuah lambang ketertindasan wanita. Pendapat tersebut bisa salah dan bisa benar sesuai dengan konteksnya. Sebab yang saya tahu, tidak semua feminis menginginkan kebebasan sebagai bentuk pemberdayaan perempuan, apalagi feminis yang terbungkus oleh agama khususnya Islam.
Akan halnya hubungan pemahaman feminis dengan penampilan wanita adalah sangat terkait erat dengan wacana kontrol tubuh versus objektifikasi perempuan dalam dunia patriarkhi. Yang menjadi issu penting bagi feminis adalah bagaimana wanita bisa secara sadar menentang pemanfaatan tubuh wanita sebagai obyek. Nah, lagi-lagi ini sangat tergantung dari budaya dan tradisi lokal. Di dunia barat penentangan terhadap objektifikasi itu dilakukan dengan cara buka2an untuk menunjukkan bahwa wanita sangat berhak terhadap tubuhnya sendiri sehingga mereka berhak untuk melakukan apapun tanpa intervensi pihak luar. Di sini individualitas sangat berperan.Terlebih bagi konteks Indonesia yang masih menganggap budaya buka2an sebagai sesuatu yang tidak wajar.
Tentang wacana jilbab, aurat, dan kebebasan ini, pertanyaan besar bagi para feminis adalah apakah wanita dengan penuh kesadaran memilih pakaian itu ataukah dengan pemaksaan pihak luar yang berkedok pelembagaan agama padahal agama dianggap sebagai sesuatu yang sangat private.
Lagi-lagi, kalau ditilik dengan seksama yang diinginkan oleh para pejuang feminis sesungguhnya adalah pilihan sadar wanita tanpa dipengaruhi oleh pihak lain. Itulah sebabnya kenapa para feminis Barat (feminis sekuler) memandang bahwa hijab di dunia Islam khususnya Arab sebagai bentuk penindasan wanita, karena di sana wanita diharuskan memakai jilbab tanpa kesadaran yang tumbuh secara alami dari dalam. Wanita lalu dianggap tidak punya power untuk menentukan pilihannya sendiri. Dalam konteks Indonesia di mana jilbab menjadi sesuatu yang harus diperjuangkan dengan segenap raga untuk diakui sebagaimana yang terjadi pada zaman orde baru, tentu saja sangat berbeda. Muslimah Indonesia harus rela di caci, dikeluarkan dari sekolah, tidak diterima pada lembaga-lembaga tertentu untuk bekerja, dipanggil ninja, dianggap bersembunyi di balik jilbab padahal pencuri di pasar (kejadian pada tahun 1980-an kalau tidak salah) untuk lalu bisa berekspresi dengan jilbab seperti sekarang.
Muslimah Indonesia memakai jilbab atas kesadaran yang tumbuh dari dalam, tidak ada keharusan secara kelembagaan, tidak juga secara formal yuridis. Kalaupun sekarang muncul semangat untuk memformalisasi jilbab di beberapa daerah di Indonesia, itu telah didahului oleh perjalanan panjang dan hanya upaya meningkatkan, kesadaran hukum muslimah Indonesia. Di titik ini pulalah rimpu menemukan substansinya. Rimpu hendaknya tidak hanya dipandang sebagai simbol yang menekan kebebasan wanita, tapi justru harus dipandang sebagai upaya wanita Bima mengontrol dirinya, memperlakuan tubuhnya menjadi sesuatu yang bernilai dan terhormat, melawan arus hegemoni patriarkhi, objektifikasi dan komodifikasi tubuh wanita. Di saat meruaknya cara menilai wanita dari kemolekan tubuhnya, di tengah gencarnya media dan dunia mendefinisikan wanita hanya dari nilai keseksian penampilannya, wanita Bima seharusnya ingin menutup tubuhnya rapat-rapat dengan kreatifitas yang mereka ciptakan sendiri. Mereka sendirilah yang muna (menenun), mereka sendirilah yang memakai. Dan dalam sejarah kesultanan Bima, yang saya tahu, tidak pernah ada perintah secara formal bahwa wanita Bima diharuskan memakai rimpu. Rimpu benar-benar tumbuh secara alami dan penuh kesadaran.

D. Sebab-Sebab Pudarnya Budaya Rimpu di Kalangan Masayarakat Bima Dewasa Ini
Dana Mbojo (Bima) merupakan suatu daerah yang kaya akan budaya dan adat-istiadat, yang merupakan ciri khas dari masyarakat Bima itu sendiri. Tetapi dewasa ini adat-istiadat tersebut perlahan-lahan mulai luntur, dan sulit untuk ditemukan. Sehingga tidak mengherankan banyak anak-anak atau para remaja Bima yang tidak mengetahui budayanya sendiri. Keadaan ini tentu sangat memperihatinkan, karena adat-istiadat dan budaya yang diwariskan secara turun temurun tersebut tak ternilai harganya. Akan sangat sangat disayangkan bila harus hilang begitu saja, karena adat-istiadat dan budaya merupakan ciri khas suatu suku. Dan Indonesia merupakan bangsa yang terkenal karena kaya akan adat-istiadat yang berbeda pada tiap-tiap daerah dan suku. Salah satu yang menjadi sorotan dari adat-istiadat masyarakat Bima yang sekarang mulai memudar dan berangsur-angsur hilang adalah budaya rimpu. Budaya rimpu merupakan cara berpakaian yang merupakan ciri khas masyarakat Bima. Rimpu adalah juga sebuah identitas.
Saat sekarang ini budaya rimpu mulai terkikis oleh kecenderungan globalisasi, modernisasi, dan sekularisasi. Alasan itu tentu berkaitan dan tidak terpisahkan dan terutama bersumber dari alasan teologis. Nilai mendasar yang terkandung dalam etika berpakaian wanita muslimah yaitu: pembatasan, kesopanan, dan identitas. Di sinilah simpul di mana rimpu menemukan nilainya. Rimpu merengkuh ketiga nilai yang diamanatkan oleh Al-Qur’an itu. Rimpu adalah sebuah pembatasan bagi diri wanita Bima untuk tidak melakukan hal-hal di luar kemampuannya sebagai seorang wanita. Juga membatasi diri dari pengaruh pandangan-pandangan yang menjadikan wanita sebagai obyek. Lagi-lagi ini sangat tergantung dari budaya dan tradisi lokal. Di dunia barat penentangan terhadap objektifikasi itu dilakukan dengan cara buka-bukaan untuk menunjukkan bahwa wanita sangat berhak terhadap tubuhnya sendiri sehingga mereka berhak untuk melakukan apapun tanpa intervensi pihak luar. Di sini individualitas sangat berperan. Tetapi ini sama sekali tidak sesuai, terlebih bagi konteks Indonesia yang masih menganggap budaya buka-bukaan sebagai sesuatu yang tidak wajar.
Rimpu adalah kearifan lokal masyarakat Bima yang ingin menterjemahkan nilai agamanya ke dalam budaya mereka sendiri sehingga agama itu lalu melekat dan tidak terpisahkan dari budaya. Sehingga teori Receptio in Complexu yang dikemukakan oleh sarjana Belanda (Van den Berg) bahwa adat di Indonesia akan berlaku apabila sesuai dengan ajaran agama (Islam) benar-benar merupakan cerminan nyata kehidupan masyarakat Indonesia
Rimpu juga adalah sebuah bentuk pakaian yang sopan. Tentu makna kesopanan sangat relatif tergantung bagaimana masyarakat setempat memaknainya, seperti contoh pada suku Asmat di Irian Jaya, kesopanan tidak dinilai dari pakaian. Wanita dan laki-laki bebas bertelanjang dan hanya satu bagian saja dari tubuh mereka yang terbalut pakaian. Itulah yang disepakati oleh mereka. Tapi fakta tersebut tentu saja suatu perkecualian. Pada konteks Indonesia secara umum, Bima khususnya, kesopanan masih juga dinilai, salah satunya, dari cara berpakaian dan berpenampilan.
Dengan menghidupkan kembali rimpu dan lalu mempertahankannya, budaya lokal tetaplah terjaga, yang saya yakin sepenuhnya pasti punya dampak secara ekonomis, dan juga sebuah kebanggaan identitas, dan sangat positif bagi pariwisata budaya. Tentu masih banyak lagi dampak lain yang patut dikalkulasi. Lebih-lebih di tengah gencarnya arus globalisasi dewasa ini, penemuan kembali budaya lokal sebagai wujud kecintaan terhadap tradisi dan sebagai upaya untuk mempertahankan identitas adalah sesuatu yang harus dilakukan.
Konon, dulu, untuk membedakan wanita yang masih gadis dan sudah berumah tangga, cukup melihat dari cara mereka memakai rimpu. Rimpu mpida di mana hanya mata yang kelihatan dipakai biasanya oleh gadis, sementara rimpu colo yang menampakkan seluruh bagian muka biasanya dikenakan oleh ibu rumah tangga. Jadi, rimpu benar-benar sebuah kreatifitas budaya yang dilandasi oleh kesadaran agama yang begitu tinggi. Dahulu, Perempuan-perempuan Mbojo enggan untuk keluar rumah jika tidak mengenakan Rimpu, ia tidak saja budaya tapi implementasi dari syariat islam. Budaya rimpu bagi kaum hawa di masyarakat Bima memang secara perlahan mulai redup dan semakin menunjukan tanda bahwa budaya ini akan menjadi memori masa lalu. Sekarang memang tinggal pertanyaan kemana budaya rimpu tersebut? Mungkin rimpu hanyalah sebuah warisan turun temurun yang tidak begitu berharga, bahkan cukup aneh untuk dianut jaman ini.

E. Kesimpulan
Dahulu, perempuan-perempuan Bima enggan untuk keluar rumah jika tidak mengenakan Rimpu, ia tidak saja budaya tapi implementasi dari syariat islam. Tetapi sekarang ini Bima telah kehilangan banyak hal tentang identitasnya sendiri, karena orang Bima yang sekarang asyik menghayal tentang negeri dongeng yang dibeberkan secara ekstrim oleh sinetron dan globalisasi. Mereka terseok-seok disudut jaman demi mimpi dan menjadi bagian dari produk Kapitalis.
Tentu saja tulisan ini bukan uraian judgemental yang berpretensi mengenyampingkan pilihan wanita muslimah yang tidak berjilbab atau wanita Mbojo yang tidak mau berrimpu. Lagi-lagi jilbab dan rimpu adalah lambang, bukan substansi. Substansi tetaplah lebih penting ketimbang lambang yang tanpa makna. Tetapi sebagai sebuah syi’ar, lambang itu tetap juga harus dikedepankan. Dengan lambang yang kita bawa pula, kita selalu menjaga semoga substansi yang direpresentasikan oleh lambang itu tetap terjaga.
Hanya saja yang perlu menjadi catatan penting bahwa menyerahkan tanggung jawab kepada wanita untuk menjaga aurat dan kehormatan mereka, untuk menghindari terjadinya pelecehan dan penyimpangan seksual, tidaklah melupakan bahwa kewajiban itu juga milik laki-laki. Wanita bertanggung jawab dengan menjaga penampilannya, sementara laki-laki bertanggung jawab dengan menjaga pandangannya. Keduanya harus berjalan secara simultan.

F. Saran
Sebagai penutup, yang kita harapkan bersama semoga masyarakat Bima tetap memegang teguh pada nilai-nilai kearifan yang sudah tertanam sejak nenek moyang mereka, dan benar-benar menghayati serta mengamalkan petuah “Maja Labo Dahu, Nggahi Rawi Pahu” dan petuah-petuah lainnya kapan dan di manapun mereka berada.
Perempuan Bima yang selalu mengenakan rimpu dan tahu jelas identitasnya tanpa harus berlindung dibalik identitas orang lain. Namun demikian, kita jangan lantas berputus asa dan membiarkan budaya manis dan bernilai ini hilang ditelan waktu seiring dengan perkembangan zaman, tapi mari kita bangkit dan bangunkan kembali. Kita dapat memulainya dari keluarga kita sendiri. Wanita Bima, juga tidak seharusnya latah, bersembunyi di balik ide kebebasan, liberalisme, sekularisme, feminisme dan isme-isme yang lain hanya untuk melepaskan tanggung jawab itu. Mari semua pihak berjalan bersama menjalankan fungsinya masing-masing.
Saya yakin dengan sebuah komitmen dan awal yang baik dari masing-masing keluarga, budaya rimpu ini bisa terbangun kembali. Haruskah kita menunggu negara lain menggali sejarah budaya kita yang kemudian mereka adopsi dan menjadikan itu sebagai warisan nenek moyang mereka. Namun semoga rimpu yang dulu melekat dan begitu memikat namun akhirnya mangkat, smoga bisa jadi simbol bahwa perempuan Bima menjadi terhormat, menjaga aura dan aurat.


Seandainya

Pikirkan dan selalu pikirkanlah
Kira-kira apa yang bisa kau berikan untuk bangsa dan negaramu
Bukan untuk dirimu, tapi untuk anak dan cucumu
Apakah kau ingin mereka selamanya hidup dalam kemiskinan dan kemelaratam seperti yang kau rasakan sekarang imi
Jangan hanya besenang-senang dengan duniamu sendiri
Jangan hanya egois demi kesenangan dan kejayaanmu sendiri
Tapi pikirkanlah apa yang bisa kau berukan untuk orang lain, untuk bangsa ini yang bertahun dan berabad-abad memberikan kehidupan bagimu
Tidak usah banyak-banyak cukup berikan sedikit waktu dan pikiranmu, kira-kira harus dibawa dan dibentuk seperti apa bangsa dan negara yang kita cintai ini ke depannya
Karena kalau bukan kita (yang katanya generasi muda penerus perjuangan bangsa) siapa lagi
Lihatlah kita terombang-ambing oleh malaysia yang luas wilayah maupun penduduknya jauh lebih kecil dibanding dengani kita
Selat ambalat bolak-balik dilanggar
Tapi hanya diplomasi yang dijadikan andalan, tapi sampai kapan diplomasi itu???
Apakah ini Indonesia yang gagah berani merebut kemerdekaannya dari penjajah, dengan korban jiwa dan raga yang tak terhitung jumlahnya, tidak lebih seperti bangsa yang bermental tempe
Walaupun dari segala segi baik itu politik, sosial, maupun ekonomi kita tertinggal
Tapi seharusnya kita tetap mempertahankan bangsa dan negara kita sebagai bangsa dan negara yang bermartabat tinggi, dan harus berkorban apapun untuk memepertahankan itu, karena untuk saat ini mungkin hanya itu yang tersisa sebagai kebanggaan kita, jangan anggaran dan lain sebgainya dijadikan alasan untuk menunjukkan kepengecutan kita
Yakinlah bahwa tuhan selalu bersama orang-oarang yang menjunjung kebenaran
Dan kemenangan selalu menyertai orang-oarang yang berjuang demi kebenaran
Bebasklan bangsa kita dari eksploitasi dalam bentuk apapun dari bangsa lain
kalu dulu kita bisa berjuang untuk merdeka
Sekarangpun kita harus yakin bahwa kita mampu untuk memeperjuangkan dan membangun bangsa dan negra ini menjadi bangsa yang terhornat dan terpandang di mata dunia
Tidak hanya raksasa dalam luas wilayah dan jumlah penduduk, tapi menjadi raksasa di segala sektor
Berjalah bangsaku...!!!