Rabu, 01 Juni 2011

UAS Sosiologi Pendidikan

 klik judul untuk mendownload file lengkapnya

1.    Pendidikan formal adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga formal atau proses pendidikan dalam lingkungan sekolah dengan struktur dan sistem yang sudah tetap. Fenomena konflik dan problematika pendidikan formal:
·      Tenaga pengajar yang kurang berkompeten – Guru merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan dalam suatu proses pendidikan, oleh karena itu seorang guru harus benar-benar berkompeten dibidangnya, namun bila guru kurang memiliki kompetensi maka kegiatan belajar akan terhambat bahkan bisa mengalami kegagalan, misalnya seperti yang terjadi sekarang guru mengajarkan bagian yang bukan keahliannya (guru olah-raga mengajar sejarah, guru matematika mengajar agama, dll), atau juga karena kemalasan guru-guru untuk terus belajar guna menemukan meteode, bahan, atau hal-hal baru untuk mengembangkan dan membuat proses belajar mengajar menjadi lebih baik dan menarik karena kesibukan lain di luar profesi guru (mencari tambahan penghasilan).
·      Masih rendahnya kualitas dan relevansi pendidikan – Dalam proses pendidikan yang dilakukan secara klasikal, pembelajaran cenderung dilakukan secara massal dengan karakteristik yang berbeda antara satu siswa dengan siswa lainnya, sehingga terkadang apa yang menjadi kebutuhan peserta didik tidak mampu terpenuhi, inilah yang menjadi awal pendidikan yang mebosankan bahkan dirasakan bagaikan penjara oleh para murid, karena mereka dipaksa untuk mempelajari sesuatu yang tidak mereka senangi. Selain itu, realitas sosial yang dihadapi siswa dalam lingkungan pembelajaran cenderung bersifat normatif. Pembelajaran yang dilakukan dalam ruang persekolahan relatif hanya mengenalkan pembelajar terhadap nilai-nilai yang bersifat tekstual dan konseptual. Proses pendidikan yang berjalan di persekolahan mengalami stagnasi dalam pembinaan nalar anak secara simultan. Produk pendidikan terbelenggu untuk mengejar secara sepihak. Hal ini terjadi karena tuntutan kehidupan cenderung lebih bersifat material, yang dikejar dan diinginkan dari lembaga pendidikan adalah agar setiap lulusannya berhasil mengejar pencapaian materi semata.
·      Masalal proses belajar-mengajar – Pendidikan kita tidak biasa melatih pikiran, hanya melatih isi pikiran. Tidak melatih bagaimana berpikir, tetapi mengisi pikiran dengan menghapal, memberi sejumlah fakta-fakta pengetahuan tapi tidak berpikir. Proses metodologi di kelas kita ini sudah seperti ritual. Guru datang bawa buku kumel, catatan yang sudah tua, bekas dia sekolah dulu, absen lalu periksa PR, lalu dia mengajar dengan ceramah. Itu bertahun-tahun terjadi. Oleh karena itu baik belajar maupun mengajar terasa sangat membosankan. Pendidikan kita sarat dengan nilai tapi melupakan akal sehat. Dari segi politik kurikulumnya. Kita tahu bahwa politik kurikulum yang kita pelajari sekarang ini seperti bunga rampai yang sebenarnya tidak membuat kita cerdas. Sepertinya pendidikan kita sekarang dari segi isi yang tidak pernah diberikan adalah ruang-ruang kita untuk berpikir, nirfilsafat. Filsafat dalam arti metode untuk berpikir, mengenali suatu masalah dan bisa menerangkan kepada orang lain suatu masalah, dan bisa mencari solusinya, ini yang lenyap dari pendidikan kita.
·      Masih lemahnya manajemen pendidikan – Kesenjangan antara pendidikan di kota-kota besar yang jauh lebih unggul bila dibandingkan dengan di daerah-daerah terpencil terutama dalam hal sarana dan prasarana/fasilitas. Berbagai hal yang memprihatinkan muncul seperti: jumlah gedung sekolah yang ambruk di berbagai daerah, masalah kontradiksi tentang UAN baru-baru ini, biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh orangtua anak yang mengirim anak-anaknya ke sekolah.
·      Masalah pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan – Pendidikan hanya untuk orang-orang yang mampu secara material, tingginya biaya sekolah menyebabkan meningkatnya angka putus sekolah dan membuat pendidikan jauh dari akses orang-orang yang tak mampu (diskriminasi), sementara di sisi lain para “guru pendidikan” dari dulu sampai sekarang, senantiasa mengajarkan agar jangan ada diskriminasi dalam pendidikan.

Pendidikan informal adalah pendidikan yang di dapat di luar lingkungan pendidikan formal, baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat. Oleh karenanya pendidikan non-formal ini bersifat tak terbatas dan biasanya cenderung bersifat hal-hal yang praktis. Pendidikan informal merupakan pendidikan seumur hidup yang memungkinkan individu memperoleh sikap-sikap, nilai-nilai, keterampilan-keterampilan dan pengaruh-pengaruh yang ada di lingkungannya dari keluarga, maupun masyarakat. Fenomena konflik dan problematika pendidikan informal:
·      Masalah dalam lingkungan keluarga – dalam kondisi keluarga dengan perekonomian sulit menganggap bahwa pendidikan tidak penting dan yang penting asalkan perut kenyang maka mereka lebih memilih bekerja dan dapat uang, sehingga pendidikan anak menjadi kurang diperhatikan, bahkan anak-anak diusia sekolah juga ikut bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Selain itu, kegagalan membina rumah tangga karena keterbatasan pengetahuan pasangan (suami dan isteri) tentang kehidupan keluarga dalam rumah tangga, mereka tidak lebih dahulu diperkenalkan seluk beluk kehidupan rumah tangga, baik dari sisi manis maupun pahitnya. Dalam keluarga yang kacau seperti ini walaupun ekonominya mapan biasanya pendidikan anak dalam keluarga kurang diperhatikan. Padahal pendidikan dalm lingkungan kelurga sangat penting sebagai dasar pembentukan kepribadian anak, bila dasarnya tidak kuat maka tidak heran banyak remaja yang salah jalan dan terlibat dalam berbagai kenakalan remaja, yang setelah dewasa hanya menjadi sampah masyarakat.
·      Masalah dalam lingkungan masyarakat – Keadaan masyarakat yang kacau sehingga cenderung kontradiktif dengan nilai-nilai yang anak-anak pelajari di sekolah akan menyebabkan ketrasingan individu tersebut dalam masyarakat, padahal masyarakat merupakan lingkungan pedidikan yang berperan penting sebagi wadah penerapan berbagai pengetahuan yang didapat dalam lingkungan keluarga maupun sekolah. Sebagai contoh, kita mengharapkan generasi ini menjadi generasi yang lebih baik, katakanlah yang lebih jujur. Lalu kita hanya mengharapkan sekolah untuk membangun basic kejujurannya, sedangkan masyarakat sendiri tidak merasa bertanggung jawab untuk menciptakan tatanan dan nilai-nilai kejujuran itu dalam masyarakat, ini omong kosong. Karena the real school itu adalah masyarakat. Jadi kelanjutan dari pola berpikir seperti ini, orang akan selalu kecewa akan peran dan fungsi sekolah. Orang akan selalu menuduh sekolah tidak becus. Padahal realitas di lingkungan masyarakat lah yang sebenarnya menjadi faktor penyebabnya.


2.    Proses sosialisasi dan pembentukan pribadi dalam pendidikan formal
·      Lingkungan sekolah: mengenai ilmu pengetahuan, kecerdasan dan pengembangan budi pekerti secara formal – Pendidikan di sekolah merupakan wahana sosialisasi sekunder dan merupakan tempat berlangsungnya proses sosialisasi secara formal. Yang dipelajari seorang anak di sekolah tidak hanya membaca, menulis, dan berhitung saja namun juga mengenai kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme (universal) dan kekhasan/spesifitas (specifity).
·      Konsep pendidikan biasa disebut dengan pendidikan umum yang di dalamnya mencakup enam daerah makna, yaitu: 1) symbolics (bahasa, matematika, dan nondiscursive forms); 2) empirics (ilmu-ilmu fisika, biologi, psikologi, ilmu pengetahuan sosial); 3) esthetics (sastra, musik, seni rupa, serta seni gerak); 4) synnoetics (pengetahuan tentang diri sendiri, tentang orang lain, dan juga pengetahuan tentang intersubjective relationship); 5) ethics (pengetahuan tentang moralitas), serta; 6) synoptics (sejarah, filsafat, dan agama). Dengan adanya enam daerah makna yang dikuasai oleh pembelajar tersebut, pembelajar setelah menyelesaikan pendidikannya akan mampu menghadapi realitas sosial. Mereka akan memiliki kemampuan menangkap makna sosial yang berhubungan dengan lingkungan sekitarnya, secara normatif mereka akan mampu menyesuaikan diri dan dapat memanfaatkan kompetensi yang dimilikinya sesuai dengan keinginannya. Jadi, tujuan utama pembelajaran adalah untuk mengenalkan peserta didik dengan identitasnya sendiri sehingga ia memahami peran apa yang harus dimainkannya di masyarakatnya.
·      Dan yang merupakan arti penting pendidikan disekolah adalah: Membentuk dasar atau pondasi cara-cara/pola berpikir yang sistematis dan konseptual secara konsisten dan terarah; Mengajarkan banyak disiplin ilmu dengan berbagai teori-teori dan ilmu pengetahuan yang ada sehingga wawasan dan pengetahuan menjadi banyak dan luas; Melatih dan menanamkan sikap mental dan emosional yang matang, dewasa dan mandiri, sehingga biasanya seorang yang berpendidikan tinggi lebih dapat mengendalikan sikap dan emosinya secara baik; Menanamkan disiplin belajar yang sangat tinggi, sehingga seseorang yang berpendidikan akan lebih terbiasa untuk belajar dan belajar lagi.
·      Dalam lingkungan formal seperti di sekolah, seorang siswa bergaul dengan teman sekolahnya dan berinteraksi dengan guru dan karyawan sekolahnya. Dalam interaksi tersebut, ia mengalami proses sosialisasi. dengan adanya proses soialisasi tersebut, siswa akan disadarkan tentang peranan apa yang harus ia lakukan. Siswa juga diharapkan mempunyai kesadaran dalam dirinya untuk menilai dirinya sendiri. Misalnya, apakah saya ini termasuk anak yang baik dan disukai teman atau tidak? Apakah perliaku saya sudah pantas atau tidak?
·      Setidak-tidaknya kebiasaan yang perlu dilakukan di persekolahan untuk mengembangkan kemampuan dasar peserta didik adalah melalui: 1) Kemampuan bertanya. Kemampuan ini tidak lain adalah kemampuan siswa untuk mempersoalkan (problem posing). Dimulai dengan persoalan dalam wujud pertanyaan, maka dalam diri siswa terdapat keinginan untuk mengetahui melalui proses belajarnya; 2) Kemampuan pemecahan masalah (problem solving). Permasalahan yang muncul di dalam  pembelajaran harus diselesaikan (dicari jawabannya) oleh siswa selama proses belajarnya. Tidak cukup kalau siswa mahir mempersoalkan sesuatu tetapi miskin dalam pencarian pemecahannya. Penyelesaian masalah  sendiri dapat dilakukan secara mandiri (self indefendence learning) maupun secara kelompok (group learning); 3) Kemampuan berkomunikasi. Dalam konteks pemahaman, kemampuan berkomunikasi baik verbal maupun nonverbal merupakan sarana agar terjadi pemahaman yang benar (yang baik dan punya kadar keilmuan), dari hasil proses berpikir dan berbuat, terhadap gagasan siswa yang ditemukan dan ingin dikembangkan.

Proses sosialisasi dan pembentukan pribadi dalam pendidikan informal
·      Lingkungan keluarga: terutama mengenai budi pekerti, keagamaan dan kemasyarakatan secara informal – Proses sosialisasi dalam pembentukan kepribadian dimulai dengan penyampaian kebudayaan melalui lembaga informal tersebut dilakukan melalui enkulturasi semenjak kecil di dalam lingkungan keluarganya. Keluarga merupakan suatu lembaga sosial yang amat penting terutama untuk membentuk kepribadian (personality) seseorang. Dalam kelurga  terjadi sosialisasi primer yang merupakan sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat (keluarga). Sosialisasi primer berlangsung saat anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum masuk ke sekolah. Anak mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga, pertama-tama yang dikenal oleh anak-anak adalah ibunya, bapaknya dan saudara-saudaranya. Secara bertahap dia mulai mampu membedakan dirinya dengan orang lain di sekitar keluarganya. Dalam tahap ini, peran orang-orang yang terdekat dengan anak menjadi sangat penting sebab seorang anak melakukan pola interaksi secara terbatas di dalamnya. Warna kepribadian anak akan sangat ditentukan oleh warna kepribadian dan interaksi yang terjadi antara anak dengan anggota keluarga terdekatnya. Tiap anak yang baru lahir memiliki serangkaian mekanisme biologis yang diwarisi, yang harus dirubah atau diawasi supaya sesuai dengan budaya masyarakatnya. Pendidikan sangat strategis, sebab segala sesuatu yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan anak berada dalam keluarga. Keluargalah yang akan memberikan penyaringan terhadap kekeliruan yang terjadi di luar rumah tangga. Itulah sebabnya anak akan menjadi apa sangat ditentukan oleh keluarga. Kebijaksanaan orangtua yang baik dalam proses sosialisasi anak, antara lain: berusaha dekat dengan anak-anaknya; mengawasi dan mengendalikan secara wajar agar anak tidak merasa tertekan; mendorong agar anak mampu membedakan benar dan salah, baik dan buruk; memberikan keteladanan yang baik; menasihati anak-anak jika melakukan kesalahan-kesalahan dan tidak menjatuhkan hukuman di luar batas kewajaran; menanamkan nilai-nilai religi baik dengan mempelajari agama maupun menerapkan ibadah dalam keluarga.
·      Lingkungan masyarakat: pengembangan keterampilan, latihan kecakapan, dan pengembangan bakat secara nonformal – Pendidikan non-formal yang berlangsung di masyarakat akan memberikan pengayaan terhadap pengalaman hidup anak. Secara sepihak dapat dikatakan bahwa pendidikan nonformal mempengaruhi sikap dan pengalaman hidup anak, karena memang disitulah realitas sosial manusia. Anak belajar dengan cara berperan serta dalam kehidupan rutin sehari-hari. Dimana mereka memperoleh segala pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang mereka perlukan untuk dapat hidup dengan layak dalam masyarakat dan kebudayaan mereka sendiri. Kemudian di dalam masyarakat seseorang menjalani kehidupan yang sebenarnya, terjun dan mempraktekkan segala kemampuan berpikir, bersikap dan bersosialisasi secara nyata dalam lingkungannya. Di sini pula seseorang akan mendapatkan pendidikan dalam banyak hal dan akan lebih melengkapi dirinya dari apa yang tidak didapatkan dari bangku sekolahnya. Perjalanan pendidikan disini adalah seumur hidup di dalam perkembangan segala keadaan dan jaman yang selalu berubah setiap saat. Dalam kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat ini, kesempatan untuk belajar selalu terbuka setiap saat. Oleh sebab itu, dengan pendidikan seseorang diharapkan untuk dapat merubah nasibnya, sehingga pendidikan menjadi tangga untuk mobilisasi kelas. Namun pendidikan seharusnya bukanlah sesuatu yang muncul dengan wajah egois, oleh karena dalam pendidikan kita belajar kepekaan dan kemampuan solidaritas. Berbagai dampak sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat menjadikan pendidikan sangat penting, kita belajar bagaimana menghargai, bekerjasama, dan menolong orang lain.
Jadi, keluarga, sekolah, dan masyarakat sebagai institusi pendidikan memegang peranan untuk menciptakan generasi yang memiliki “kecerdasan social” (social intelligence).  Kecerdasan sosial dalam arti kemampuan untuk membawa diri dalam lingkungan pergaulan yang luas, menjalin interaksi secara komunikatif, memahami adanya perbedaan, dan memiliki rasa peka terhadap sesama.


3.    Sikap-sikap cerdas yang selayaknya dilakukan anggota masyarakat dalam suatu komunitas yang multi etnik dan multikultur
·      Ada dua model dalam sejarah manusia bagaimana menjadikan orang yang bermacam suku bangsa dapat bersatu membangun negara secara kuat. Pertama, dengan menyeragamkan dan menghilangkan perbedaan yang ada baik dari segi budaya, agama, nilai, dan lain-lain. Mereka yang berbeda-beda itu dipaksa disatukan dengan aturan ketat dan penyeragaman. Tidak menerima adanya perbedaan. Itulah yang dilakukan Uni Sovyet dan Yugoslavia sehingga akhirnyanya adalah bubar dan negaranya menjadi terpecah-pecah, karena perbedaan tidak dapat dihilangkan. Menghilangkan perbedaan yang memang sudah ada sejak lahir adalah suatu pemaksaan yang melawan hak azasi manusia (HAM), maka tidak dapat bertahan lama. Model kedua, justru menerima perbedaan, mengakuinya dan menghargainya. Dengan saling menerima, orang yang berbeda itu bahkan dapat saling melengkapi dan saling membantu. Dalam model kedua, HAM setiap orang diakui dan kekhasan setiap kelompok diakui, bahkan dikembangkan. Model yang terakhir inilah yang diperlukan oleh masyarakat yang multietnik dan multikultural karena didasarkan pada semangat multikulturalisme.
·      Dan dalam hal ini diperlukan penerimaan terhadap pendidikan multikultural. Dimana pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang jauh dari keseragaman, pendidikan multikultural menjungjung tinggi adanya keberagaman dan kekhasan antara satu wilayah dengan wilayah lain, antara satu kelompok dengan kelompok lain, dan dengan adanya perbedaan tersebut tidak dijadikan alasan untuk saling menjauh atau melakukan permusuhan yang dapat memecahkan persatuan dan kesatuan.
·      Dalam pendidikan hendaknya ditanamkan nilai bahwa dunia selayaknya dibangun di atas tataran lintas-lokalitas. Lokalitas yang mampu berdialektika dan membangun komposisi baru dengan lokalitas-lokalitas lain. Tampaknya tawaran tersebut lebih realistis. Saat ini, mungkin tidak terdapat satu masyarakat tertentu yang homogen, yang terjadi adalah (dan selalu) percampur-bauran. Sebagai konsekuensinya, pengetahuan lokal dan kearifan lokal juga perlu mengadaptasi dan mengadopsi sesuai dengan komposisi baru tersebut. Kalau hal tersebut tidak dilakukan, pengetahuan lokal atau kearifan lokal cenderung anarkis dan eksklusif. Dia menolak keberadaan lain, sesuatu yang lain di lingkungannya sendiri. Tegasnya, yang dibutuhkan bukan sekadar kearifan lokal, melainkan lebih-lebih adalah kearifan sosial. Dengan demikian, dalam pembicaraan ini terdapat dua konsep kunci yang ingin dipersoalkan dan sekaligus dihadapkan, yakni konsep kearifan lokal (seperangkat nilai dan pengetahuan yang  dipelihara “secara eksklusif” oleh kelompok masyarakat lokal tertentu, yang pada mulanya  berhubungan dengan cara-cara pemahaman dan praktik sosial masyarakat berhadapan dengan  alam dan lingkungan atau ekologi, biasanya berupa ungkapan, pribahasa, dongeng-dongeng atau cerita mitos dan folklor, filsafat sosial, atau bahkan dalam ritus-ritus budaya yang bertujuan memelihara keseimbangan dan harmonisasi antara manusia dengan alam dan lingkungan atau ekologi, maupun dengan kekuatan-kekuatan supranatural (Tuhan) – tetapi kemudian kearifan lokal mengalami transformasi pengertian, yakni segala sesuatu  yang berkaitan dengan kekhasan budaya-budaya lokal tertentu yang harus diakui keberadaannya, dan berbeda dengan kekhasan budaya lokal tertentu lainnya) dan konsep kearifan sosial (seperangkat nilai dan/atau pengetahuan kebajikan yang mempengaruhi orang atau masyarakat dalam melakukan tindakan atau praktik-praktik sosial, yang secara khusus lebih dalam konteks bagaimana cara-cara orang atau masyarakat dalam mengelola relasi-relasi  sosial, mengelola kehidupan bermasyarakat atau bahkan bernegara). Dalam praktiknya, dalam situasi inilah kearifan lokal kadang-kadang berbenturan dengan kearifan sosial. Benturan terjadi ketika klaim kearifan lokal dianggap lebih berdaulat dibanding perbedaan-perbedaan dan perbauran yang terjadi di tingkat sosial. Jika pengakuan terhadap kearifan lokal didahulukan (dimenangkan), maka sangat mungkin kearifan lokal terkesan tidak adaptif terhadap konteks-konteks hubungan kemanusiaan yang lebih luas. Oleh karenanya, seperti diketahui, dalam pengertian awalnya memang kearifan lokal tidak dimaksudkan sebagai satu perangkat pengetahuan untuk mengelola relasi sosial. Contohnya dalam cara membangun rumah. Bagaimana rumah dibangun, menghadap ke arah mana, dari bahan apa (bambu, kayu, atau bata), kapan hari baik untuk masuk rumah, dan sebagainya, secara khusus merupakan kearifan lokal masyarakat bersangkutan. Akan tetapi, pengatahuan lokal yang khusus itu hanya bisa berlaku pada waktu dulu, ketika penduduk dan tanah masih sangat luas untuk dibangun. Sekarang kenyataanya berbeda, tanah untuk hunian sangat sempit, sementara penduduk bertambah terus, dan kemiskinan. Sebagai resikonya, banyak rumah dibangun asal-asalan. Sementara itu, kearifan sosial lebih bersangkutan dengan bagaimana orang  mengambil keputusan dalam membangun rumah agar ramah dengan tetangga, tidak membuat tetangga menjadi tersingkir atau menjadi tidak nyaman dengan keberadaan rumah tersebut.


4.    Perilaku pendidik yang arif dan edukatif dalam menghadapi perubahan sosial yang kadang tidak terkontrol di era globalisasi
·      Proses pendidikan yang dilakukan adalah dalam rangka memberdayakan seluruh potensi yang ada pada pembelajar untuk memahami berbagai persoalan. Di samping itu pendidikan merupakan sarana untuk mendekatkan peserta didik terhadap realitas lingkungannya, dan untuk memahami realitas lingkungan itu, sehingga berbagai disiplin ilmu harus diajarkan kepada pembelajar.
·      Dalam masyarakat yang sangat kompleks, terspesialisasi dan berubah cepat, pendidikan memiliki fungsi yang sangat besar dalam memahami kebudayaan sebagai satu keseluruhan. Dengan makin cepatnya perubahan kebudayaan, maka makin banyak diperlukan waktu untuk memahami kebudayaannya sendiri. Hal ini membuat kebudayaan di masa depan tidak dapat diramalkan secara pasti, sehingga dalam mempelajari kebudayaan baru diperlukan metode baru untuk mempelajarinya. Dalam hal ini guru memiliki peran yang penting untuk mengarahkan pendidikan  ke tujuan mengekalkan hasil-hasil prestasi kebudayaan, melalui para peserta didiknya sehinga dapat menyesuaikan diri pada kejadian-kejadian yang dapat diantisipasikan di dalam dan di luar kebudayaan, serta merintis jalan untuk melakukan perubahan terhadap kebudayaan. Oleh sebab itu untuk lebih tanggap terhadap berbagai perubahan sosial yang terjadi kearifan sosial harus lebih dikedepankan agar suatu masyarakat dapat tumbuh menjadi masyarakat yang lebih maju, yang dikomparasikan dengan kearifan lokal sebagai filter namun dalam wujud yang lebih adaptif, sehingga nilai-nilai budaya yang dimiliki dan menjadi simbol keberadaan dari masyarakat tersebut tetap bisa dipertahankan tanpa harus mengahambat kemajuan yang ingin dicapai.
·      Untuk itu diperlukan strategi-strategi berikut ini: 1) Pengembangan dan pembinaan “nalar” peserta didik  secara komprehensif melalui pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya; 2) Pemberdayaan “nilai-nilai standar” dalam membina dan mengembangkan SDM modern yang ideal; 3) Proses pengembangan SDM secara bertahap-berkesinambungan melalui pendidikan informal, nonformal, dan formal; 4) Pengembangan strategi pendidikan sesuai dengan kondisi-potensi wilayah yang dimiliki; 5) Penerapan pendekatan sistem dalam pengembangan pendidikan  untuk menciptakan SDM yang berkualitas menghadapi setiap tantangan zaman; 6) Strategi pendidikan mengatasi “krisis identitas” yang sering terjadi bersamaan perubahan sosial akibat dari globalisaso; 7) Strategi pendidikan yang efektif, efisien, dan produktif dalam mengubah citra “budak di rumah sendiri” menjadi “tuan di rumah sendiri”; 8) Strategi pembinaan dan pemanfaatan  SDM yang berkualitas berkaitan dengan “pelaksanaan otonomi daerah”
·      Selain itu, di tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi dan teknologi, manusia makin bersikap individualis. Mereka “gandrung teknologi”, asyik dan terpesona dengan penemuan-penemuan/barang-barang baru dalam bidang iptek yang serba canggih, sehingga cenderung melupakan kesejahteraan dirinya sendiri sebagai pribadi manusia dan semakin melupakan aspek sosialitas dirinya. Oleh karena itu, pendidikan dan pembelajaran hendaknya diperbaiki sehingga memberi keseimbangan pada aspek individualitas ke aspek sosialitas atau kehidupan kebersamaan sebagai masyarakat manusia. Pendidikan dan pembelajaran hendaknya juga dikembalikan kepada aspek-aspek kemanusiaan yang perlu ditumbuh kembangkan pada diri peserta didik. Pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis..
·      Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang membedakan dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda. Manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri. Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya.Guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan. Merdeka baik secara fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan disiplin.


Daftar Bacaan:
Indrafachrudi, Soekarto 1994. Bagaimana Mengabrabkan Sekolah Dengan Orang Tua Murid dan Masyarakat. Malang: IKIP Malang.

Mudyahardjo, Redja.  2008. Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-Dasar Pendidikan Pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada

Nasution. 1983. Sosiologi Pendidikan. Bandung; Jemmars.

Robonson, Philip. 1986. Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali.

Russel, Betrand. 1993. Pendidikan dan Tatanan Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Suharto, Bahar. 1979. Pendidikan dan Pengembangan Masyarakat. Jakarta: Rora Karya.

Supraktinya. 2001. Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman, Sindhunata (Ed). Yogyakarta : Kanisius.

Wuradji. 1998. Sosiologi Pendidikan: Sebuah Pendekatan Sosio-Antropologi. Jakarta: DEPDIKBUD.


Untuk lebih lanjutnya…….
1.    Pastikan anda menjadi pengikut blog ini
2.    Kirim email ke: sangajimbojo@gmail.com atau ranggambojo@ymail.com
3.    Gabung di facebook dengan alamat email di atas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar