Rabu, 01 Juni 2011

Perang Cumbok di Aceh Tahun 1945 (Oleh: Ratna R.)

klik judul untuk mendownload file lengkapnya

Perang ini pecah pada tanggal 4 Desember 1945 di Sigli, ibukota Kabupaten Aceh Pidie antara kelompok ulama kontra kelompok uleebalang. Titik persoalan sekitar perebutan senjata milik bangsa Jepang yang berkedudukan di Sigli.
            Kegagalan TKR untuk memperoleh senjata dari tanagn Jepang telah mendorong mereka untuk mengambil langkah-langkah lain yakni dengan cara-cara demonstrasi dengan melibatkan sejumlah rakyat setempat. Berita pelucutan senjata ini menarik perhatian para uleebalang yang berada di Lam Meuro, dan berkeinginan untuk memilikinya terlebih dahulu. Karena khawatir senjata tersebut jatuh ke tangan ulam dab rakyat. Karena walaupun slama ini cara-cara demonstrasi yang dipakai merupakan tanggung-jawab TKR tetapi selalu di bawah komando ulama.
            Dua hari sebelum rencana pelucutan senjata dilakukan oleh TKR (5 Desember 1945), Barisan Penjaga Keamanan (BPK) Markas Uloebalang memasuki kota Sigli, menguasai dan mendudukinya. Penduduk setempat yang dianggap sebagai pendukung golongan ulama dihukum, sedangkan orang-orang dari luar kota dilarang memasuki kota tersebut. Hal ini menyebabkan reaksi keras dari golongan ulama dan pihak rakyat yang mendukungnya, yang kemudian mengepung kota tersebut. Hal ini menyebabkan asisten residen Aceh T.M.A. Panglima Polem turun tangan untuk menyelesaikannya. Melalui rapat yang dihadiri juga oleh wakil-wakil dari Jepang, ulama, uleebalang ditetapkan persetujuan bulat  bahwa senjata-senjata tersebut akan diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia daerah Aceh. Menurut T.M.A. Panglima Polem, selagi perjanjian tersebut ditanda-tangani terdengar suara tembakan dari rumah T. Pakeh Sulaiman  uleebalang Pidie. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 4 Desember 1945, pertanda awalnya Perang Cumbok di Aceh. Tiga hari kemudian pertempuran ini baru dapat diatasi setelah tercapai kesepakatan bersama yang berisi antara lain: penyerahan Kota Sigli beserta senjata-senjata yang telah direbut dari tentara Jepang oleh golongan uleebalang, serta penarikan mundur tentara uleebalang dan rakyat dari kota Sigli ke tempatnya masing-masing. Namun ketetapan ini tidak tidak dipatuhi secara keseluruhan  karena pertempuran di luar kota Sigli kembali berlangsung, dan senjata-senjata yang diperoleh markas Uloebalang dari Jepang tidak di serahkan kepada Pemerintah Daerah Aceh. Golongan uleebalang melakukan tindakan tegas terhadap orang-orang yang menetang gerakan mereka.
            Menghadapi perebuatan Markas Uloebalang ini, golongan ulama membentuk Markas Besar Rakyat Umum (MBRU) pada tanggal 22 Desember 1945 di Garut, Pidie. Sehingga terjadilah perang saudara antara kedua golongan ini. Menghadapi persoalan perang saudara ini, Pemerintah Daerah Aceh mengadakan sidang, yang kemudian mengeluarkan maklumat serta ultimatum bersama Pemerintah Daerah Aceh dan Markas Umum Daerah Aceh yang ditujukan kepada Markas Uloebalang di Lam Meulo, yang menyatakan bahwa golongan yang berpusat di Cumbok serta tempat-trmpat lain yang memegang  senjata melawan rakyat umum sebagai penghianat bangsa dan negara, dan ultimatum meminta agar mereka menghentikan peperangan dan menyerah. Tetapi piahak uleebalang mengacuhkan ultimatum tersebut. Hal ini menyebabkan pihak pemerintah mengerahkan kekuatan militer, dan mendapat bantuan dari barisan rakyat, mujahidin, PRI, dan barisan senjata berat dari Seulimeum. Bantuan-bantuan ini bersifat spontan mengingat begitu banyak pihak korban yang berjatuhan dari pihak rakyat, sehinnga Markas Uloebalang dapat dilumpuhkan dan para pemimpinnya ditangkap.
            Gerakan perlawanan yang dilancarkan oleh kelompok ulama dan pengikut-pengikutnya serta pertahanan yang dilakukan oleh golongan uleebalang dalam Perang Cumbok ini menunjukkan bahwa jauh sebelum perang ini terjadi telah ada konflik-konflik terpendam  yang melatarbelakangi pada periode-periode sebelum kemerdekaan.
            Sikap damai yang diciptakan uleebalang dengan mengakui pertuanan Belanda di Aceh agar kedudukan mereka sebagai kepala-kepala pemerintahan di daerah tetap bertahan, yang disusul dengan penerimaan model pendidikan Barat, menyinggung golongan ulama, dan dianggap sebagai bentuk penghianatan. Keinginan dari golongan ulama agar para uleebalang mengikuti jejak mereka untuk tetap terus berjuang melawan Belanda yang kafir tidak tercapai seluruhnya. Situasi ini memisahkan mereka sesuai dengan kepentingan masing-masing.
            Kemudian golongan ulama dengan mendirikan PUSA (Persatuan Ulam Seluruh Aceh) pada tahun 1939 di Sigli mampu menyaingi golongan uleebalang, setidak tidaknya golongan ulama membahayakan kedudukan golongan uleebalang, terutama pada masa Jepang di Indonesia yang memberikan peluang besar pada golongan ulama dibanding pada masa Belanda yang membatasi mereka terutama dalam urusan politik. Jadi persiapan-persipan antara kedua golongan ini telah ada melalui gelombang-gelombang yang cukup panjang, hanya tinggal menanti saat yang tepat untu meletus.
            Berakhirnya Perang Cumbok di Aceh memberi arti semakin lumpuhnya kekuatan dan kekuasaan golongan uleebalang sebagai kepala-kepala pemerintahan daerah Aceh yang telah berabad-abad lamanya mereka pegang, yang secara otomatis beralih kepada golongan ulama yang menang perang.




Untuk lebih lanjutnya…….
1.    Pastikan anda menjadi pengikut blog ini
2.    Kirim email ke: sangajimbojo@gmail.com atau ranggambojo@ymail.com
3.    Gabung di facebook dengan alamat email di atas
   

1 komentar: