Rabu, 01 Juni 2011

Tato

klik judul untuk mendownload file lengkapnya

Dalam bukunya ini Hatib tidak hanya menggunakan pedekatan secara
antropologis tetapi juga menggunakan pendekatan historis, sehingga dapat
ditemukan paparan yang memperlihatkan perkembangan  fungsi maupun
pemaknaan tato.
-  Sepanjang hayatnya manusia tidaklah hidup dengan tubuh alamiahnya,
manusia selalu mempunyai dan menunjukkan ide, kreativitas, rasa estetik,
hingga rasa kemanusiaan, yang salah satunya ditunjukkan memodifikasi
tubuhhnya, baik itu dilakukan oleh individu, kelompok, komunal, hingga
negara, baik secara sukarela, wajib maupun terpaksa. Dan pengubahan yang
dilakukan manusia pada tubuhnya ini mempunyai tujuan beraneka macam,
berubah dari masa ke masa, serta berbeda dari area budaya yang satu dengan
yang lainnya.
-  Menurut Bruner (1986): tubuh merupakan ruang perjumpaan antara individu
dan sosial, ide dan materi, sakral dan profan, transenden dan imanen,
sehingga tidak saja disadari sebagai medium bagi merasuknya pengalaman ke
dalam diri, tetapi juga merupakan medium bagi terpancarnya ekspresi dan
aktualisasi diri. Bahkan, lewat dan dalam tubuh, pengalaman dan ekspresi
terkait secara dialektis 
-  Menurut Gertz (1973): kebudayaan adalah jalinan makna di mana manusia
menginterpretasikan pengalamannya dan selanjutnya hal tersebut menuntun
tingkah lakunya. Ketika manusia menambah, mengurangi, dan mengubah
bagian tubuhnya maka akan memunculkan simbol ataupun makna semiotik
yang dapat dibaca dengan beragam makna. Dari berbagai simbol tersebut,
kebudayaan dapat mempengaruhi cara-cara berpikir individu ataupun
komunal dalam perlakunya.  
Pada awal perkembangannya, tato bernilai religius transendental dan
magis pada masyarakat suku bangsa pedalaman. Namun  seiring perkembangan
zaman, tato kehilangan nilai sakralitas dan masuk ke pelataran profan. Tato kini
banyak menemani kehidupan masyarakat modern di perkotaan yang ternyata
berada dalam kondisi terserabut dari habitat aslinya, terpelanting di dunia  yang
sama sekali tidak tahu menahu aturan bagaimana semestinya tato digunakan.
Sebagian dari masyarakat modern yang tertarik dengan tato, kemudian
menggunakannya semau dan sesuka hati, sehingga menambulkan penafsiran yang
bermacam-macam, dari sekedar ikut-ikutan, rasa seni, ekspresi diri, maupun
pembeontakan, di mana dengan adanya tato, modifikasi tubuh merupakan suatu
bentuk penegasan kebebasan menentukan diri sebagai  individu yang merdeka
terhadap berbagai aturan dan kontrol. Tetapi sebagian lagi membelokkan
kegunaan tato untuk menandai hal yang negatif, sehingga tato identik dengan
kriminalitas. Dan anehnya para pelaku tindak kriminal bukannya risih dengan cap
itu, melainkan malah menjadikannya sebagi kebanggaan di antara sesama
“profesi”. Pada akhirnya tato dipandang terdemistifikasi hingga masuk ke jurang
stigmatisasi negatif yang bernada klaim bahwa tato adalah cap penjahat, bajingan,
dll, yang menimbulkan desah kengerian bagi warga masyarakat awam. Hatib
(2006: 10) mengatakan: tato merupakan budaya yang hidup (lived culture) karena
mempunya pola perubahan yang dinamis sesuai dengan kontekstualisasi keadaan.
Sejarah Tato
Konon kata ”tato” berasal dari bahasa Tahiti, yakni “tattau” yang berarti
menadai, dalam arti bahwa tubuh ditandai dengan menggunakan alat berburu yang
runcing untuk memasukka zat pewarna di bwah permukaan kulit. Istilah ii di bawa
oleh Joseph Banks yang bersandar di Tahiti pada 1769, dan di sana ia mencatat
berbagai fenomena manusia Tahiti yang tubuhnya dipenuhi oleh tato. Kemudian
tato menjadi kebudayaan yang ubiquitous (ada di mana-mana), hal ini dikarenakan
tato menjadi wahana identitas, berupa tanda pada tubuh, yang dibutuhkan sebagai
eksistensi oleh setiap manusia di berbagai belahan  bumi. Menurut Christopher
Scott, pada masyarakat tradisional tato bermanfaat sebagai: 1). Fungsi kamuflase
selama masa perburuan, yaitu sebagi simbol keberhasilan dan keberanian (Dayak  
Kayan, Dayak Iban, Dayak Murut, Mentawai); 2). Perintah religius masyarakat,
yaitu merupakan simbolitas kesetiaan pada adat dan  religiusitasnya (Hawai); 3).
Inisiasi  dalam masa-masa krisis dan fase kehidupan (Tibet dan India); 4). Jimat
mujarab, merupakan simbol kesuburan dan kekuatan. – Jadi, kebudayaan
tradisonal dalam merubah tubuh pada dasarnya mempunyai beberapa kemiripan
tujuan, yakni membuat ketertarikan pada lawan jenis, ekspresi diri, penangkal dari
kekuatan jahat, menunjukkan status sosial seperti status perkawinan,
kepemimpinan, kekayaan, bentuk pubertas di masa kedewasaan, hingga
menunjukkan kesetiaan kepada sebuah komunitas tertentu.
Dalam sejarah tercatat bahwa tato pada awalnya dapat ditemukan di
Mesir, yaitu pada peninggalan mumi Nubbian yang bertahun 2000 SM yang
bernama Amunet, dan tatonya bermotifkan pola grafis yang sederhana dengan
titik-titik yang saling berhubungan berbentuk desain elips terletak di bagian
bawah perut dimungkinkan bermakna sebagai lambang kesuburan. Diperkirakan
eksitensi tato muncul di Mesir sekitar 4000-2000 SM. Peradaban dari Kreta,
Yunani, Persia, dan Arabia mengambil dan memperluas bentuk seni tersebut.
Sekitar 2000 SM, seni tato juga menyebar ke Cina. Dalam peperangan, para
prajurit Yunani menggunakan tato sebagi sandi mata-mata. Romawi
membubuhkan tato pada perilaku kriminal dan budak.
Pasca datangnya agama Kristen, tato menjadi larangan di sepanjang daratan
Eropa. Pada tahun 787 M, Paus Adrian I melarang adanya penggunaan tato,
sehingga tato lenyap dari kebudayaan Barat dari abad 12 sampai abad 16.
Larangan tato juga diberlakukan oleh Kaisar Konstantin yang bergama Kristen. Ia
memandang bahwa tato merusak tubuh yang dikaruniakan oleh Tuhan.
Kebanyakan para pelaut yang berlayar menuju berbagai penjuru dunia akan
mengalami bias kultural ketika mereka menemui berbagai fenomena baru. Mereka
kemudian menganggap hal-hal yang baru tersebut sebagai sesuatu yang aneh,
ganjil, menakutkan, dan identik dengan perbuatan setan. Hal ini terjadi karena
mereka selalu membandingkan dengan kebudayaan yang berlaku di tanah mereka.
Keheranan dan kekaguman menemukan sesuatu hal baru merupakan cikal bakal
lahirnya ilmu-ilmu antropologi yang memang pada awalnya dikembangkan para
petualang dan pelaut.  
Tato ditemukan kembali oleh orang-orang Eropa ketika masa ekplorasi yang
menyebabkan mereka berhubungan dengan orang-orang Indian Amerika dan
Tahiti di Polynesia. Tao orang-orang Indian dan Polynesia, dan kemudian tato
orang luar Eropa, diatraksikan dengan lebih menarik pada berbagai pameran,
pekan raya, dan pertunjukkan di Eropa dan Amerika pada sekitar abad 18 dan 19.
Tato di Indonesia
Jika dilacak dari budaya material yang tertinggal di Indonesia
sesungguhnya telah mengenal budaya tato sejak awal masehi. Hal ini dapat dilihat
dari berbagi dekorasi penggambaran figur manusia yang terdapat pada beberapa
kendi tanah liat dan perunggu di beberapa kepulauan Indonesia. Sementara,
barang yang diduga digunakan sebagai peralatan penatoan, berupa berbagai jarum
dari tulang hewan mamalia, ditemukan di berbagai gua di Jawa Timur dan
Sulawesi Selatan.
•  Berbagai penggunaan tato pada masyarakat tradisional di Indonesia:
1.  Tato pada kaum perempuan suku Belu di pulau Timor merupakan simbol
kecantikan tersendiri serta sebagi medium daya tarik lawan jenis.
2.  Masyarakat Sumba baik laki-laki maupun perempuan merajah kaki mereka
dengan warna hitam pekat untuk menandakan bahwa mereka telah
mempunyai pasangan tetap (suami/istri)
3.  Kepulauan Mentawai terletak di sebelah barat Sumatera Barat. Tato bagi
masyarakat Mentawai memiliki banyak makna, tanda, dan simbol. Fungsi tato
sebagai jati diri suku mempunyai kedudukan yang paling utama, karena tiap
suku mempunyai motif tatonya masing-masing (pengenal); tato juga
dipercaya sebagai pelindung kegiatan sehari-hari, seperti berburu, bertani, dan
mengahadapi masa-masa krisis, seperti kelahiran dan kematian (religius); tato
juga sebagai tanda kenal pribadi menyiratkan kemahiran orang, maupun
posisi seseorang dalam masyarakat, baik jenis kelamin, usia, maupun jabatan
(misalnya: motif binatang berarti ahli berburu dan  motif bintang di bahu
berarti dukun); tato Mentawai yang bermotif lingkungan merupakan
ungkapan sinergitas dengan alam, di mana mereka menganggap semua benda
memiliki jiwa; setiap pembuatan tato harus dilakukan upacara keagamaan  
(patiti), karena bila tidak dilakukan upacara dipercaya bahwa tato tidak akan
berfungsi apa-apa dalam struktur masyarakat setempat; namun akhir-akhir ini
tradisi masyarakat Mentawai ini mulai pudar, tato asli Mentawai hanya
terdapat pada kerei (dukun) dan penduduk yang berusia di atas 40 tahun, jadi
besar kemungkinan akan hilang jika tak segera ditangani dengan konsep
pelestarian adat dan budaya yang jelas
4.  Tato pada suku Dayak merupakan salah satu tato tradisional yang mampu
bertahan eksistensinya karena letak geografisnya yang sulit dijangkau, namun
tidak melepasnya dari ancaman kepunahan; tato dayak dipercaya sebagai
sebuah sebuah kegiatan sakral yang selalu dihubungkan dengan berbagai
aspek kebudayaan, seperti peribadatan dan pengayauan; tato merupakan
simbol ikatan pertalian yang tidak terpisahkan hingga ajal menjemput, ritual
tato dapat menyelamatkan mereka dalam kehidupan setelah mati terutama
tato di tangan (simbol pasca mengayau); tato merupakan representasi  dari
status sosial, di mana para kelas elit menggunakan  tato dunia atas (naga)
masyarakat kelas menengah/imam menggunakan tato dunia tengah (gambar
alam lingkungan seperti hewan dan tetumbuhan), sedangkan masyarakat biasa
pada umumnya menggunakan tato dunia bawah (burung enggang, bulan, dan
matahari); tato juga diberikan pada ritus masa peralihan seperti kelahiran,
masa dewasa, perkawinan, dan kematian; sama seperti di Mentawai pada
masyarakat Dayak pembuatan tato harus melalui upacara adat.
5.  Tato dalam perkembangan awalnya di masyarakat Bali  hanya digemari
kalangan elit (penguasa, dukun, dan agamawan) yang  dianggap lebih dekat
dengan Dewa, hal ini karena tato dalam desainnya mengandung nilai magis;
tato dipercaya dapat memberi makna dalam kehidupan  masyarakat dan
penggunanya akan terhindar dari segala gangguan roh jahat; tato Bali berciri
khas alam sekitar dengan pembagian motif yaitu motif kala, motif simbolik,
motif senjata, dan motif dewa-dewi.
Dari berbagai penggunaan tato dalam masyarakat tradisional, dapat di tarik
generalisasi tentang arti penting dan pemaknaan tato pada berbagai masyarakat
tersebut. Pertama, tato merupakan tindakan yang sadar lingkungan atau sebagai
bentuk kecintaan akan alam, baik tato Mentawai, tato Dayak, maupun tato Bali,  
memiliki motif lingkungan, yang merupakan ungkapan  sinergitas masyarakat
dengan alam. Kehidupan masyarakat tradisional ini sangat bergantung dengan
alam sekitarnya, sehingga keberadaan tato ini, bisa menjadi simbol agar
senantiasa menjaga kerukunan dengan alam dan melindungi alam sekitarnya dari
hal-hal yang dapat merusaknya;  Kedua, tato dalam masyarakat tradisional
mempunyai beragam makna dan simbol, sama seperti pada lukisan gua, gambar
batik, hingga ukiran kayu. Sehingga dengan melihat  motif tatonya kita dapat
mengetahui bagaimana struktur masyarakat yang bersangkutan, jati diri, hingga
cita-cita mereka;  Ketiga, tato sebagai penjaga moralitas dan bermakna religius
bagi masyarakatnya. Seringkali tato diberikan sebagai pengingat atau sebuah
simbol agar individu yang diberikan tato tersebut dapat melakukan intropeksi diri
dan tidak mengulang kesalahan yang telah dilakukan  di masa sebelumnya.
Keberadaan tato ini dipercaya dan dianggap sakral oleh masyarakatnya, sehingga
selalu dipatuhi oleh setiap anggota masyarakatnya;  Keempat, tato merupakan
motivator bagi tiap individu dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga setiap
anggota masyarakat selalu berusaha memberikan dan melakukan yang terbaik
bagi masyarakatnya. Hal ini karena tato diberikan sebagai tanda setiap pencapaian
atau keberhasilan seseorang dalam masyarakatnya, seperti setelah berhasil
berburu; Kelima, tato digunakan sebagai pengenal. Tato menjadi pembeda antara
komunitas satu dengan komunitas lain, yang dapat dibedakan berdasarkan motif
tatonya. Selain itu, tato juga digunakan sebagai penunjuk identitas individu dalam
kedudukannya di masyarakat seperti jenis kelamin, usia, maupun jabatan.
•  Penggunaan dan pemaknaan tato pada masyarakat modern:
Identitas tubuh dapat terserap ke dalam berbagai nilai, prasangka hingga
diskriminasi. Padahal secara fenomenologi, tubuh adalah sebuah kreasi personal,
namun kebebasan berekspresi individu terkadang dibatasi, dikendalikan,
diorganisasikan, diregulasikan bahkan dilarang oleh pihak berwenang. Seperti
konstelasi politik Orde Baru yang berkuasa pasca penumpasan PKI 1966, tato
sering dianggap sebagi tindakan berdosa dan bertentangan dengan anjuran agama
besar (Islam, Kristen, Katolik) sehingga beredar rumor bahwa barang siapa
melakukan pertatoan akan identik dengan PKI. Selain itu, orang-orang bertato di
Indonesia pada tahun 1960-an kehilangan hak diterima sebagai PNS dan ABRI.  
Orang bertato juga mengalami kesulitan dalam mencari hubungan Surat
Keterangan Kelakuan Baik (SKKB) dari Kepolisian. Pemerintah menganggap
bahwa tato merupakan stempel dari tindakan yang tidak baik jahat. Berbagai
stigma yang dikembangkan oleh rezim yang berkuasa ini ternyata mampu
memanipulasi kesadaran masyarakat, bahkan pada masyarakat tradisional yang
menjadikan tato sebagai bagian dari budayanya (masyarakat Mentawai tahun 1970
dan masyarakat Dayak tahun 1980), apalagi bagi masyarakat lain (orang awam)
yang pengetahuannya tentang tato sangat minim. Paparan ini menjelaskan periode
ketika kasus Petrus (Penembakan Misterius) mengemuka. Akibat Petrus,
masyarakat menjadi bungkam dan cenderung menggenaralisasikan secara
pragmatis bahwa setiap masnusia bertato adalah jahat dan manusia yang jahat
pasti bertato.
Dengan demikian dapat dilihat negara menurunkan derajat kemanusiaan,
menghilangkan bagian tubuh tertentu, mengarantina individu yang tidak
disukainya atau dianggap melanggar aturan yang pada akhirnya berakibat pada
hilangnya otonomisasi dan privatisasi tubuh secara  keseluruhan. Tubuh selalu
berada di dalam pengawasan dan terikat dalam ruang, waktu, dan energi
kekuasaan. Foucault berpandangan bahwa disiplin merupakan sebuah
kebijaksanaan pemaksaan atas tubuh, di mana tubuh dipaksa masuk ke dalam
sistem kekuasaan. Sebab, dengan demikian diharapkan akan menghasilkan tubuh
yang berkualitas, terlatih sekaligus taat dan patuh.
Ancaman simbolisasi tubuh dalam bentuk tato telah membuat pemerintahan
Orde Baru yang berkuasa pada waktu itu membuat berbagai kebijakan yang
mencoba “menertibkan” manusia-manusia bertato. Gerakan kaum muda dalam
bentuk fesyen, musik, hingga hobi yang berbau budaya tanding/subkultur sering
menjadi perhatian utama penguasa. Mereka yang berkuasa secara politik tentunya
berpikir bagaimana caranya mengendalikan budaya mereka yang meskipun tak
memiliki politik kekuasaan, cukup mempunyai potensi memberontak dan pemicu
instabilitas. Oleh karena itu negara berupaya sedemikian rupa untuk mengontrol
melalui berbagai patronase maupun intervensi secara langsung. Salah satu
patronase yang digerakkan oleh negara adalah melalui para tokoh terkemuka baik
secara struktural maupun kultural. Pemerintah menggandeng tangan-tangan tokoh  
tersebut, kemudian mengadakan indoktrinasi yang bersifat dikotomi yang berbau
oposisi biner.
Pemaknaan terhadap tubuh tato akan dinilai secara baik-buruk, hitam-putih,
suci-profan, sopan-tak sopan. Melalui tangan-tangan patronase negara berusaha
menyatakan sesuatu yang jelek, lalu dari sana diharapkan tercipta ide-ide tentang
apa-apa yang baik. Dari hal demikian timbullah sesuatu yang dinamakan “citra”.
Apa yang terjadi dari citra sering berupa pemindahan dari denotasi ke konotasi.
Hal tersebut merupakan laporan budaya/pengetahuan sosial yang dapat diambil
oleh masyarakat sebagai pembaca.
Perkembangan Makna
Budaya merupakan praktik-praktik penandaan (signifying practices) yang
dapat berubah maknanya sesuai dengan perubahan zaman dan area tertentu.
Dengan demikian, tato merupakan budaya yang hidup (lived culture) karena
mempunyai pola perubahan yang dinamis sesuai dengan kontekstualisasi keadaan.
Adapun, makna tato kini juga harus dilihat dari sudut pandang budaya baru,
budaya global. Tato secara pemaknaan telah mengalami ameliorasi (perluasan).
Bila semula tato merupakan bagian dari budaya ritual etnik tradisional, kini
mengalami perkembangan yang meluas.
Seperti dijelaskan di atas, karya seni pada awalnya (tato misalnya)
diintegrasikan ke dalam nilai-nilai ritual yang berkaitan dengan unsur keagamaan.
Renaisans di Eropa, di mana perubahan yang terjadi menyebabkan keberadaan
karya seni menjadi entitas yang sekuler, terpisah dari nilai-nilai ritual dan agama.
Renaisans menjadi salah satu pemicu kemandirian nilai artistik, dan terhindar dari
pengaruh transenden. Sehingga sekarang tato berkembang sebagai trend budaya
pop semata. 
Kemudian, tato sebagai proses pemanjaan dan pembebasan diri dari hal-hal
yang mengekang kebebasan tersebut (wujud pemberontakan). Harus diakui bahwa
akibat dari pandangan terhadap sinergitas jiwa dan  tubuh maka timbul berbagai
kesenangan yang cukup memanjakan anggota tubuh dan indera, seperti kemanjaan
mandi air hangat, relaksasi, hingga pemanjaan yang  bersifat erotis, seperti
pemeliharaan beberapa selir hingga masturbasi dan onani. Pemanjaan-pemanjaan  
tubuh tersebut merupakan bagian dari kesenangan-kesenangan fisik yang ditolerir
oleh jiwa. Institusi asketisme jiwa oleh agama pada umumnya berupa penderitaan
fisik yang menyengsarakan tubuh seperti penyangkalan terhadap keinginan/
kebutuhan fisiologis (pengaturan kegiatan seks, tidur, puasa, diet, dll). Cara-cara
menyakiti tubuh dalam puasa tersebut memang dilatarbelakangi oleh berbagai
konsep yang menganggap bahwa tubuh adalah sumber pendorong kesenangan
duniawi yang bersifat sementara, sedangkan jiwa adalah pengontrol timbulnya
berbagai kesenangan tersebut.
Pada saat sekarang ini tato merupakan sebuah skarya seni yang merupakan
bagian dari budaya pop. Tato tidak hanya diidentikkan dengan tindak kejahatan
atau kriminal semata, tetapi juga sebagai gaya (trend) yang kerapkali disandang
oleh kalangan artis, olahragawan, hingga tokoh seni. Keberadaan tato seharusnya
mempunyai peran yang sama layaknya cabang seni lainnya. Ia perlu mendapatkan
penghargaan dan apresiasi positif dari berbagai kalangan, tidak dikucilkan atau
didiskriminasi, sehingga mendapat tempat yang lebih proporsional untuk kerja
kreatif dan inovatif. Eksistensi tato tergantung pada perjalanan sejarah, kebijakan
suatu negara, dan sisi etnografi suatu daerah, ketika eksistensi tato menjadi suatu
variabel maka ia berkaitan erat dengan kajian seni, budaya, sejarah, antropologi,
psikologi, sosiologi, hingga agama.
Dari tulisan dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa  negaralah yang
membentuk dan melestarikan citra negatif pada seni  tato, padahal tato sebagai
budaya nusantara adalah warisan yang sangat berharga untuk dipertahankan dan
dilestarikan.



Untuk lebih lanjutnya…….
1.    Pastikan anda menjadi pengikut blog ini
2.    Kirim email ke: sangajimbojo@gmail.com atau ranggambojo@ymail.com
3.    Gabung di facebook dengan alamat email di atas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar