Rabu, 01 Juni 2011

UAS Teori Sosiologi

klik judul untuk mendownload file lengkapnya

1.      Teori adalah penjelasan ilmiah tentang problem yang terjadi di tengah masyarakat. Proses munculnya sebuah dapat digambarkan dalam alur sebagi berikut:


Hipotesis
 

Proposisi
 

Postulat
 

Asumsi
 

Konsep
 

Teori
 
Antara pencetus tori dengan teori yang dilahirkannya memiliki keterkaitan yang sangat erat, di mana kondisi internal (seperti pengetahuan) maupun kondisi eksternal (seperti lingkungan, masyarakat, maupun fakta-fakta di lapangan) yang dialami oleh pencetus teori akan mempengaruhi jenis atau model teori seprti apa yang akan dilahirkannya. Sebagai contoh: seorang ilmuwan yang pengetahuannya terbentuk dalam masyarakat yang harmonis, damai, aman, maka kecenderungan untuk melahirkan teori-teori seperti teori fungsionalisme sturktural menjadi lebih besar; berbeda dengan ilmuwan yang pengetahuannya terbentuk dalam masyarakat yang labil, di mana terdapat kecenderungan terjadinya pertentangan atau konflik, maka teori yang dilahirkannya adalah tipe-tipe teori konflik. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa lahir /munculnya suatu teori sangat dipengaruhi sangat dipengaruhi oleh kondisi baik internal maupun eksternal dari ilmuwan yang melahirkannya. Namun tidak berhenti sampai di situ saja, keterkaitan antara pencetus teori dengan teori yang dilahirkannya berlanjut pada pengaruh yang diberikan oleh teori tersebut terhadap pola pikir atau cara pandang dari pencetus teori tersebut terhadap berbagai problematika yang dihadapainya maupun dalam penelitian-penelitian yang dilakukannya. Adapun kegunaan teori bagi seorang peneliti, antara lain:
1.        suatu tori pada hakekatnya merupakan ikhtisar daripada hal-hal yang telah diketahui dan diuji kebenrannya menyangkut obyek yang dipelajari.
2.        teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada seseorang yang memperdalam pengetahuannya di bidang sosiologi.
3.        teori berguna untuk lebih mempertajam atu lebih mengkhusukan fakta yang dipelajari.
4.        suatu teori akan sangat berguna dalam mengembangkan sistem klafikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-definisi
5.        pengetahuan teoritis memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk mengadakan proyeksi sosial, yaitu usaha untuk dapat mengetahui ke arah mana masyarakat akan berkembang, atas dasar fakta yang diketahui pada masa yang lampau dan pada dewasa ini.
Perbedaan gaya teori yang dikemukakan oleh Durkheim dengam Marx adalah cara memandang perubahan sosial. Durkheim melihat perkembangan sosial dengan memahami perkembangan tersebut serta mencari solusi terhadapnya.Tapi Marx justru melihat lebih jauh, dia tidak hanya mencari solusi tapi juga menganjurkan kepada masyarakat yang dibelanya untuk melakukan solusinya (action/praxis) dalam mengubah kondisi sosial. Adapun perbedaan lainnya adalah, Durkheim melakukan observasi dengan asumsi-asumsi yang tidak memihak sedangkan Marx dari awal sudah melakukan pemihakan terhadap sekelompok masyarakat yang diamatinya dan mempunyai posisi tertentu. Sehingga jika nantinya Marx menemukan fakta yang tidak mendukung posisinya, dia akan mengabaikannya atau berpura-pura tidak tahu. Benar kiranya bahwa Marx a priori dan tidak objektif, tapi dalam menarik kesimpulan beberapa pemikirannya tetap relevan sepanjang masa. si dari pemikiran Marx merupakan pembahasan terhadap kebenaran adanya kesewenang-wenangan dari satu pihak terhadap pihak lainnya. Ada pihak yang penindas dan ada pihak yang tertindas. Teori sosialnya menggambarkan betapa buruk nasib yang tertindas serta betapa jahatnya sikapnya si penindas. Dalam kondisi sekarang, ada salah satu pemikirannya yang masih relevan yaitu: hubungan penguasa dan pengusaha. Pengusaha mempunyai kepentingan ekonomi dan penguasa mempunyai kewenangan politik untuk memenuhi kepentingan ekonomi para pengusaha.
Secara lebih terperinci gaya teori yang dikemukakan oelh Durkheim, memberikan perhatian lebih baynak kepada mekanisme spesifik yang mewujudkan gambaran kolektif dalam masyarakat. Durkheim hanya menawarkan model hubungan kausal satu arah, di mana struktur makroskopik (seperi kesadaran kolektif) memaksa mikro-obyektif dan mikro-subyektif. Dalam analisa Durkheim jelas terlihat bagaimana aktor dipengaruhi oleh masyarakat, tetapi tak dibicarakan tentang bagaimana masyarakat yang lebih luas itu saban hari dan secara terus menerus dibentuk oleh aktor-aktor. Hal ini tercermin dalam idenya tentang kebebasan, menurutnya individu bebas jika mereka dipaksa oleh kekuatan sosial yang lebih besar yang memungkinkan mereka mengendalikan keinginan-keinginan lainnya yang dapat memperbudak mereka (kebebasan datang dari paksaan struktur makro). Sedangkan gaya teori yang dikemukakan oleh Marx, sekalipun ia memberikan tekanan lebih besar kepada struktur makro, namun ia memberikan konsep tentang aktor yang katif, kreatif, dan voluntaristis. Marx memandang aktor selaku  pemilik sifat sosial dalam dirinya, ambil bagian dalam proses interaksi dengan aktor lain dalam upaya kolektif untuk kesempurnaan harkat dirinya. Marx yakin bahwa individu dibekali dengan kemampuan berpikir aktif, dan kreatif yang berperan penting mengembangkan masyarakat. Serentetan struktur muncul kepermukaan masyarakat; keluar dari mikro-subyektif, dari proses-proses mikro-obyektif dan menimbulkan struktur masyarakat. Ini secara tidak langsung menyatakan adanya hubungan dialektika antara realitas sosial tingkat mikro dan makro. Manusia membentuk realitas sosial dan pada gilirannya realitas sosial itu menciptakan kehidupan bermasyarakat, dari individu. Tetapi model teoritis Marx ini ditumbangkan oleh kenyataan historis yang sesungguhnya terjadi, terutama dengan perkembangan kapitalisme. Aktor dipaksa oleh styriktur makro. Inilah makna dari ide Marx yang tersohor bahwa “manusia menciptakan sejarah tetapi mereka tidak menciptakannya sesuai yang mereka kehendaki”. Hal ini yang menyebabkan Marx memusatkan perhatiannya lebih besar kepada struktur makro dan mengabaikan realitas sosial pada tingkat mikro. Apa yang selanjutnya terjadi pada tingkat mikro ialah ketidak berartian; dan untuk membuatnya berarti kembali, marx merasa perlu melancarkan kritiknya terhadap struktur makro yang ada untuk membantu mengahncurkannya dan dengan cara demikian mengembalikan arti penting dari pada proses mikroskopik.
·         image003.bmpMakro-obyektif, meliputi: masyarakat, hukum, birokrasi, arsitektur, teknologi, dan bahasa.
·         Makro-subyektif, meliputi: kultur, norma, dan nilai-nilai.
·         Miko-obyektif, meliputi:pola tingkah-laku, tindakan dan interaksi sosial.
·         Mikro-subyektif, meliputi: berbegai konstruksi sosial tentang realitas.
2.      Brian Morris, memandang: antropologi dan agama dalam pengertian yang paling luas  dan termasuk dalam teori agama kontemporer. Agama mencakup seluruh fenomena yang mamiliki kualitas sakral atau supranatural seperti totenisme, mite, ilmu ghaib, ritual, keyakinan pada jiwa, simbolisme dan lain-lainnya. Agama adalah pengaruh yang repressif dan mengecewakan dari kebudayaan. Dalam bukunya yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Imam Khoiri berjudul: “Antropologi Agama: Kritik Teori-Teori Agama Kontempore”, ia juga lebih menekankan pengaruh kebudayaan sebagai pengaruh di dalam agama dan perkembangan sosiologi. Dogma, penganut, ritual, symbol dan cahaya tuhan nantinya hal itu akan dikolaborasikan dengan adanya suatu konsistensinya dalam pengembangan pengkajian terhadap sosiologi agama. Agama adalah ekspresi fantasi dari ideal-ideal manusia dalam mencapai eksistensi manusia, melalui cinta, kebebasan dan akal. Agama sebagai suatu image yang diproyeksikan oleh watak esensisal menusia, sehingga agama mengakibatkan aleniasi individu dari dirinya yang sesungguhnya dari keberadaannya sebagai suatu spesies (species being). Juga,  menurutnya, agama adalah impian pikiran manusia. Tetapi meskipun dalam impian, kita tidak menemukan diri kita dalam kehampaan atau di surga, tetapi di bumi, dalam realitas yang nyata. Dan realitas adalah species being sebagai esensi yang direalisasikan. Apapun defenisi agama, yang jelas, terminologi agama masih menghiasi ungkapan sehari-sehari, baik oleh kalangan intelektual maun awam. Hal ini berangkat dari kenyataan--meminnjam istilah Plato--bahwa seluruh manusia, baik dari Yunani maupun bukan, meyakini eksistensi Tuhan. Ini artinya, seluruh manusia memiliki agama, sebagai “jalan” berkomunikasi dengan Tuhannya. Dengan demikian, pilihan terhadap suatu agama merupakan hak “prerogatif” seorang manusia.
Mariasusai Dhavamony, memandang: konsepnya tentang magi yang dijelaskan sebagai:  kepercayaan dan praktik menurut mana manusia yakin bahwa secara langsung mereka dapat mempengaruhi kekuatan alam sekitar mereka sendiri, entah untuk tujuan baik atau buruk, dengan usaha-usaha mereka sendiri dalam memanipulasi daya-daya yang lebih tinggi. Penetapan sakral atau tidaknya suatu objek tertentu sangat dipengaruhi oleh konsepsi-konsepsi kolektif yang berkembang dalam masyarakat. Masyarakat, lewat dominasi kolektifnya, bisa saja mengatakan bahwa binatang x itu sakral atau tumbuhan z itu sakral. Masyarakat memiliki kuasa untuk membuat objek-objek tertentu jadi sakral, sebab kualitas Yang Sakral hanya diimbuhkan atau ditambahkan saja pada objek-objek tertentu tersebut. Oleh karena itu, Mariasusai mengatakan bahwa pembedaan antara Yang Sakral dan Yang Profan tidak akan benar-benar akan memisahkan mereka. Ia menulis: “dalam dan melalui yang profanlah yang kudus menyatakan diri. Dengan menampakkan kekudusan, objek apapun, disamping tetap seperti adanya, yaitu sebagai yang profan, ia menjadi sesuatu yang lain, yaitu yang kudus”. Misalnya, ketika seekor binatang tertentu dianggap suci, “adanya” masihlah tetap sebagai seekor binatang. Ia tidak berbeda dengan binatang-binatang sejenisnya yang lain. Tetapi, ketika binatang tersebut menjadi objek yang suci, ia memperoleh kualitas yang disebut suci. Perubahan kualitas itulah, dari yang semula adalah seekor binatang biasa menjadi binatang suci, yang membedakannya dengan binatang-binatang biasa lainnya. Dalam hal ini, sekali lagi, konsensus yang ada dalam masyarakat ikut menentukan transformasi kualitas sebuah benda atau seekor binatang tertentu menjadi Yang Sakral, yang harus dihormati oleh banyak orang.
Mercia Eliade, memandang: dalam bukunya “Sakral Dan Profan” ini, Eliade mendeskripsikan dua macam perbedaan mendasar dari pengalaman: tradisional dan modern. Dalam pengalamanya, manusia modern cenderung merasa bahwa semua ruang adalah sama. Ia telah mematematisasi ruang, menyeragamkannya dengan mereduksi setiap ruang pada kesepadanan dari begitu banyak unit ukuran. Apa yang menjadi perbedaan antara tempat-tempat yang ada di sana, biasanya hanya karena pengalaman yang diasosiasikan individu dengan sebuah tempat bukanlah tempat itu sendiri, misalnya tempat kelahiran saya, tempat yang saya sukai, dan sebagainya. Namun manusia religius tidak memiliki satu ruang dalam pemahaman ini. Menurutnya, beberapa ruang berbeda secara kualitatif. Ruang yang sakral, tentu saja lebih kokoh dan bermakna. Ruang lainya adalah profan, kacau dan tanpa makna. Manusia tradisional tidak mampu hidup dalam dunia profan, karena ia tidak mengoreintasikan dirinya. Untuk mencapai orientasi ia pertama kali harus memiliki satu sentral. Sentral tersebut tidak datang dengan putusan yang spekulatif atau arbriter namun ia adalah given. Wahyu dari yang sakral, hirofani membentuk sentral dan sentral membentuk dunia karena setiap ruang yang lain menderivasikan maknanya yang sentral. Eliade secara singkat mengupas materi yang ia banyak cakupkan dalam “The Myth of the Eternal Return”. Seperti pengalaman ruangnya, manusia religius memahami pengalaman waktu sebagai sakral sekaligus profan. Waktu yang sakral, waktu perayaan, adalah kembali pada waktu mistis yang mengawali permulaan segala sesuatu, inilah yang oleh Eliade disebut sebagai “in illo tempore”. Manusia religius mengharapkan untuk selalu hidup dalam waktu yang kokoh ini. Ini adalah kehendak untuk “kembali pada kehadiran dewa-dewa, untuk memulihkan kekuatan, kesegaran dunia sejati yang eksis “in illo tempore”. Menurut Eliade, waktu sakral atau waktu perayaan tidak mungkin didapatkan oleh manusia modern, karena manusia modern melihat waktu profan adalah keseluruhan hidupnya dan ketika ia meninggal hidupnya juga binasa. Lebih lanjut Eliade menjelaskan bahwa bagi manusia religius alam, tidak semata-mata “alami” namun selalu mengungkapkan sesuatu di luar dirinya. Baginya, dunia adalah simbolis atau transparen; dunia dewa-dewa bersinar-terang melalui dunianya. Alam raya dilihat sebagai sebuah semesta yang tertata yang memanifestasikan modalitas yang berlainan dari being dan dari yang sakral. Eliade lalu mengeksplorasikan beberapa simbol khusus menjadi simbol-simbol kunci dari yang sakral: langit, air, tanah, tumbuhan, dan bulan. Dalam kategori-kategori ini, Eliade memberikan perhatian khusus pada baptisme Kristen dan Pohon Kehidupan. Kesimpulannya, watak khas modernitas adalah desakralisasi alam.Konsep tentang penyucian memungkinkan manusia religius untuk hidup dalam eksistensi yang terbuka. Ini berarti manusia tradisional mengarungi kehidupannya dalam dua dunia. Ia hidup dalam kesehariannya, namun ia juga berbagi hidup di luar dunia hidupnya sehari-hari, kehidupan kosmos atau dewa-dewa. “Dunia yang ganda” dari kehidupan manusia dan kosmis ini secara tepat terekspresikan dalam pengalaman manusia tradisinal sendiri dan tempat tinggal mereka sebagai mikrokosmos atau semesta kecil. Sebagaian besar dari bab ini berkaitan dengan triple “tubuh-rumah-kosmos” dan dengan makna inisiasi. Inisiasi adalah cara manusia tradisional menyucikan hidupnya. Ia mengandung pandangan keagamaan yang junik tentang dunia, karena manusia tradisional melihat dirinya belum lengkap atau belum sempurna. Maka kelahiran alaminya harus disempurnakan dengan serangkaian kelahiran kedua atau kelahiran spritual. Hal ini disempurnakan dengan “ritus-ritus perjalanan” yaitu inisiasi. Inisiasi adalah semacam kelahiran, namun ia selalu disertai dengan kematian menuju ruang-waktu setelahnya.
Emile Durkheim, memandang: memandang agama sebagai faktor esensial bagi identitas dan integrasi masyarakat. Hal ini karena kepercayaan-kepercayaan agama lebih memperlihatkan kenyataan masyarakat itu sendiri dalam bentuk simbolis. Definisi agama menurut Durkheim adalah suatu "sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus, kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal." Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu "sifat kudus" dari agama dan "praktek-praktek ritual" dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini dapat kita lihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Kita juga akan melihat nanti bahwa menurut Durkheim agama selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis.
Teori agama yang digagas oleh Durkheim menunjukkan kepada kita bahwa agama itu tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang terisolir dari masyarakat dimana ia berada. Agama itu selalu bersifat sosial, karena pada dasarnya ia lahir dari konsensus masyarakat terhadap apa yang dianggap religius atau sakral. Ia juga dianggap bersifat sosial karena dalam perayaan-perayaan keagamaan selalu hadir banyak orang yang secara bersama-sama membangun suasana mental tertentu, yang oleh Durkheim disebut sebagai “keriang-gembiraan kolektif.” Contohnya dapat dilihat dari kerumunan orang yang berkumpul disekitar dan/atau di dalam masjid, gereja, vihara, atau tempat-tempat peribadatan lainnya. Kerumunan orang terebut hadir disana untuk menyembah dan menghormati sesuatu yang mereka anggap sebagai Yang Transenden atau Yang Sempurna dari Yang Sakral. Dan, melalui suasana mental tertentu yang mereka bangun, apa yang sakral dari agama tersebut menjadi semakin bernilai dan berarti kehadirannya.
Selain itu, dapat pula dikatakan bahwa konsensus yang terjadi di antara merekalah yang memungkinkan terjadinya pemisahan antara hal-hal Yang Sakral dengan hal-hal Yang Profan. Misalnya, sebuah gedung yang sama model dan warnanya bisa saja akan menjadi gedung yang berbeda perlakuannya dari masyarakat. Karena, gedung yang satu ditulisi, disepakati, dan digunakan sebagai gedung gereja, sedangkan gedung yang lain yang ditulisi dan difungsikan sebagai restoran atau perkantoran. Jadi, dengan demikian, nyatalah bahwa tiap bentuk dari representasi keagamaan yang kita miliki saat ini merupakan bentuk ekspresi simbolis dari kenyataan-kenyataan dan/atau keinginan-keinginan yang ada di dalam masyarakat, seperti yang telah diklaim oleh Durkheim.
Marx Weber, memandang: agama sebagai sistem ide, yang merupakan kekuatan otonom dan kreatif dalam perubahan sosial. Agama dengan demikian berfungsi sebagai matrik makna yang berperan dalam tindakan individu-individu dalam masyarakat. Weber membuat analisis rinci dan canggih tentang rasionalisasi fenomena seperti agama, hukum, kota dan bahkan musik. Dalam studi sejarah bercakupan luas, Weber berupaya memahami mengapa sistem ekonomi rasional (kapitalisme) berkembang dibarat dan mengapa gagal berkembang di masyarakat lain di luar masyarakat barat. Menurutnya gama bukanlah sebuah epifenomena semata. Agama telah memainkan peran kunci dalam pertumbuhan kapitalisme barat, tetapi sebaliknya gagal mengembangkan kapitalisme di masyarakat lain. Weber menegaskan bahwa sistem agama rasionallah (calvinisme) yang memainkan peran sentral dalam menumbuhkan kapitalisme di barat. Sebaliknya dibelahan dunia lain yang ia kaji, Weber menemukan sistem agama yang lebih irrasional (misalnya, confusianisme, Taoisme, Hinduisme) merintangi perkembangan sistem ekonomi rasional. Tetapi, pada akhirnya agama-agama itu hanya memberikan rintangan sementara, karena sistem ekonomi dan bahkan seluruh struktur sosial masyarakat pada akhirnya akan menjadi rasional. Adapun bentuk fungsionalisme Weber ialah etika protestan dan semangat kapitalisme serta studi koparatifnya. Weber melihat reformasi protestan menyebabkan perusahaan ekonomi yang merupakan gejala unique di dalam sejarah manusia dan pengikut aliran protestan mempunyai suatu etika kerja yang luar biasa.
Peter L. Berger, memandang: agama merupakan bentuk proyeksi manusia dalam mengatasi keberhinggaan eksistensialnya. Keberhinggaan eksistensial dalam pemikiran Berger di sini adalah “situasi marjinal” yang merupakan suatu situasi yang berlangsung di luar tatanan yang me-nentukan eksistensi rutin sehari-hari. Situasi ini merupakan apa yang disebut oleh Schutz sebagai “daerah-daerah makna yang terbatas” (the finite provinces of meaning). Apa yang menjadi hal yang mendasar dari situasi ini adalaah kecenderungan untuk mendorong terjadinya semacam diskontinuitas hubungan manusia dengan asumsi-asumsi dasar yang disebut realitas sosial yang melandasari tatanan masyarakat. Oleh karenya, karakteristik kenyataan hidup sehari-hari yang diterima begitu saja sebagai “yang tertib dan tertata” akan “terganggu”. Problem ini muncul dan sangat penting dalam bangunan pemikiran Berger tentang dunia sosial yang sifatnya konstruktif, karena titik-tolak kenyataan eksistensial manusia itu adalah pengalamana yang dibentuk dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, keberadaan manusia sangat ditentukan oleh batas-batas historis dan makna yang ia terima selama ia menjalani kehidupan sehari-hari. Di sini lah makna tingginya tingkat anomitas dalam dunia sosial, dan di sini pulalah letak arti penting legitimasi universum simbolik agama. Hal ini karena fungsi sosial dari tatanan universum simbolik agama ini adalah untuk mentransendir dan mengintegrasikan manusia atas berbagai “batas-batas” realitas yang melingkupinya wilayah eksistensi hidupnya sehari-hari. Sampai di sini, asosiasi Berger terhadap agama dengan problem keberhinggaan eksistensial ini, tentunya, menunjukkan suatu aspek yang paling mendasar dari cara beradanya manusia-di-dalam-dunia. Agama dalam perspektif Peter L. Berger sebagai universum simbolik di sini dipahami sebagai bentuk proyeksi manusia atas kondisi-kondisi eksistensial dalam kehidupannya sehari-hari. Manusia, dalam eksistensi kehidupan sehari-harinya tersebut, mengalami apa yang disebut oleh Berger sebagai “keberhinggaan eksistensial”. Analisis atas masalah ini dalam rangka untuk memahami secara lebih mendalam dan komprehensif kaitan antara hakikat dan posisi manusia dengan agama dalam eksistensi kehidupan sehari-harinya dengan kecenderungan teoritisasi atas fungsi dan realitas agama dalam dunia ilmiah. Hasil analisis yang bisa diperoleh adalah: (1) kedirian manusia bukanlah merupakan suatu kodrat yang statis, tetapi merupakan proses “menjadi”. Sementara itu pada saat yang sama, dunia sosial yang menjadi tempat tinggal manusia merupakan tatanan yang dibangun secara sosial. Pokok pikiran ini, tentunya, menunjukkan suatu realitas yang memiliki tingkat anomitas yang tinggi; (2) realitas agama sebagai universum simbolik menyangkut fungsi sosial agama sebagai “tudung suci” dalam menaungi tatanan dunia sosial yang sifatnya konstruktif dan biografi individu yang ada di dalamnya; (3) pada satu sisi, teori Berger tentang agama ini cenderung mereduksi realitas agama ke dalam kerangka kognitif semata. Sementara di pihak lain, teori ini menandaskan bahwa fungsi sosial agama tidak hanya ditentukan oleh ideasi agama itu sendiri tapi juga oleh kondisi-kondisi sosial. Tampak di sini Berger mengalami ambigiusitas dalam membangun teoritisasi agama
Robert N. Bellah, memperkenalkan: evolusi agama yang dibagi ke dalam lima tahap, yaitu: primitif, purbakala, historis, modern awal, dan modern. Bellah memandang agama primitif terisi dengan mitos dan makhluk spiritual, sementara agama purbakala dikarakteristikan oleh munculnya dewa-dewa, padri-padri, ibadah kurban, dan konsepsi tentang kerajaan Tuhan. Agama historis dipandang Bellah sebagai agama-agama besar dunia yang timbul satu saat selama atau sesudah masa seribu tahun (millenium) pertama sebelum Kristus. Agama modern awal dalam pandangan Bellah timbul dengan adanya Reformasi Protestan yang meneruskan pembedaan yang dilakukan agama-agama historis antara dunia sekular dan dunia yang lain. Perbedaan yang ditunjukkan Bellah di antara agama historis dan agama modern awal adalah kosep penolakan terhadap pandangan agama historis yang menolak dunia dan lebih mementingkan persiapan jalan untuk keselamatan. Agama modern tetap menekankan perhatiannya pada konsep keselamatan, namun mengubah cara untuk mencapai keselamatan tersebut dengan tidak menolak dunia sebagaimana yang dilakukan pada agama-agama historis. Sedangkan pada tahap agama modern, Bellah meyakini bahwa abada keduapuluh sedang mengalami timbulnya agama modern secara gradual, ia memaknai agama modern sebagai suatu bentuk kehidupan keagamaan di mana konsep-konsep dan ritual-ritual agama tradisional digantikan dengan kekhawatiran etik humanistik dari berbagai hal yang sekuler. Pada tahap ini, persoalan-persoalan tentang penderitaan akhir manusia semakin banyak dijawab dalam arti yang nonteistik.
3.      Pembagian stuktural dan agent:
Struktural                                               ↓                                                     Agent
August Comte
Marcel Mauss
Marx Webber
Harold Garfinkel
Peter L. Belger
Antony Giddens
Michael Foucout
Charles H. Cooley
Alvin W. Goldner
Peter M. Blau
Gorge C. Hommans
Teori Giddens dianggap lebih struktural daripada Foucoult karena Giddens mengembangkan teori strukturasi yang mengeksplorasi pertanyaan apakah individu atau kekuatan sosial yang membentuk realitas sosial kita. Giddens berargumen bahwa walaupun orang tidak sepenuhnya bebas untuk memilih tindakan mereka sendiri, dan pengetahuan mereka terbatas, mereka tetap merupakan agen yang mereproduksi struktur sosial dan mengarah pada perubahan sosial. Giddens menulis bahwa hubungan antara struktur dan tindakan adalah sebuah elemen fundamental bagi teori sosial, struktur dan keagenan adalah dualitas yang tidak dapat dipahami terpisah satu sama lain. Argumen utamanya terkandung dalam ungkapan dualitas struktur. Pada tingkat dasar, ini berarti bahwa orang-orang membuat struktur masyarakat, tetapi pada saat yang sama, mereka dibatasi olehnya. Tindakan dan struktur tidak dapat dianalisis secara terpisah, seperti struktur diciptakan, dipertahankan dan diubah melalui tindakan. Sedangkan tindakan bermakna diberi bentuk hanya melalui latar belakang struktur: garis kausalitas berjalan di dua arah sehingga mustahil untuk menentukan siapa yang mengubah apa. Dalam hal ini, Giddens mendefinisikan struktur yang terdiri dari aturan dan sumber daya yang melibatkan tindakan manusia: aturan membatasi tindakan. Struktur dapat bertindak sebagai kendala tindakan, tetapi juga memungkinkan tindakan dengan menyediakan kerangka makna umum. Giddens menunjukkan bahwa struktur (tradisi, institusi, kode moral, dan harapan) pada umumnya cukup stabil, tetapi dapat diubah, terutama melalui konsekuensi tindakan yang diharapkan, ketika orang mulai mengabaikan mereka, menggantikan mereka, atau mereproduksi mereka secara berbeda. Dengan demikian, aktor (agen) menerapkan aturan-aturan sosial yang sesuai dengan budaya mereka yang telah dipelajari melalui sosialisasi dan pengalaman. Aturan-aturan ini bersama-sama dengan sumber daya yang mereka miliki digunakan dalam interaksi sosial. Aturan dan sumber daya yang digunakan dalam cara ini tidak deterministik, tetapi diterapkan secara refleks oleh aktor berpengetahuan. Dengan demikian, hasil dari tindakan tidak sepenuhnya dapat diprediksi. Individu yang menjadi komunikator bertindak secara strategis berdasarkan pada peraturan untuk meraih tujuan mereka dan tanpa sadar menciptakan struktur baru yang mempengaruhi aksi selanjutnya. Hal ini karena pada saat individu itu bertindak dalam rangka memenuhi kebutuhannya, tindakan tersebut menghasilkan konsekuensi yang tidak diinginkan (unintended consequences) yang memapankan suatu struktur sosial dan mempengaruhi tindakan individu itu selanjutnya. Jadi dalam teori strukturasi Giddens walaupun menunjukkan peran aktif antara agent dengan struktur dalam membentuk realitas sosial, namun tetap diberikan penekanan bahwa nampaknya struktur masih mempunyai peran yang lebih besar dalam membentuk realitas sosial.
Sedangkan Foucoult nampak lebih dominan memberikan posisi agent sebagai faktor yang lebih dominan dalam membentuk reliatas sosial. Dengan konsepsinya tentang kekuasaan (power) yang merupakan hal yang sentral dalam pemikiran Foucault. Kekuasaan secara tradisional difahami sebagai kemampuan mempengaruhi orang atau pihak lain untuk mengikuti kehendak si pemilik kekuasaan. Atau, daya pikat atau pengaruh yang dimiliki seseorang atau lembaga untuk memaksakan kehendaknya pada yang lain. Seluruh ilmu sosial hampir seluruhnya memakai pengertian ini secara konvensional seperti sosiologi, sejarah dan politik. Kekuasaan dipandang bersifat represif, koersif dan opresif. Hingga saat ini begitulah kita memandang kekuasaan. Foucault menyumbangkan satu perspektif yang sangat orisinal dalam membaca dan memahami kekuasaan. Baginya, kekuasaan sesungguhnya tidak sesederhana seperti apa yang dikembangkan dalam ilmu-ilmu sosial selama ini. Bagi Foucault kekuasaan itu menyebar dimana-mana (“power is omnipresent”), meresap dalam seluruh jalinan relasi-relasi sosial, kekuasaan tidak berpusat pada individu-individu melainkan bekerja, beroperasi dalam konstruksi pengetahuan, dalam perkembangan ilmu dan pendirian-pendirian lembaga. Karena ia menyebar dan bekerja mengendalikan banyak orang, komunitas, kelompok, kepentingan dan sebagainya, maka sifatnya menjadi produktif bukan represif dan memiliki kekuatan menormalisasikan hubungan-hubungan masyarakat. Dengan demikian, kekuasan bukanlah sebuah represi. Secara tidak langsung, pandangan Foucault ini adalah kritik terhadap Hobbes dan Locke (bahwa kekuasaan dijalankan melalui kekerasan atau kontrak sosial), terhadap Marx dan Machiavelli (pertarungan kekuatan), dan terhadap Freud dan Reich (represi yang menekan), juga terhadap pandangan kekuasaan sebagai dominasi kelas dan manipulasi ideologi (Marx). Bagi Foucault tidak ada sesuatu yang obyektif, karena segala sesuatu subyektif, segala sesuatu memiliki ruang cipta -baik sadar atau tidak- ketika sebuah pengetahuan disusun. Bahkan pengetahuan sendiri muncul, sebagai sesuatu yang subyektif dalam fungsinya mencampakkan gejala unreason atau ketidaksadaran (baca, kegilaan). Pengetahuan selalu bersifat politis, tetapi bukan karena mempunyai konsekuensi politik atau digunakan demi kepentingan politik, melainkan karena pengetahuan dimungkinkan karena adanya relasi-relasi kuasa. Dan kuasa itu tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama melalu normalisasi dan regulasi. Kuasa tidak dapat dilokalisasi, karena ia bekerja lewat aturan dan susunan. Dengan demikian kuasa tidak bersifat negatif, refresif dan subyektif, justru kuasa memiliki ciri positif dan produktif. Kuasa memproduksi realitas dan juga ritus-ritus kebenaran.

4.      Perspekif teori yang lebih tepat digunakan untuk melihat masalah pada kasus terjadinya peristiwa sosial berupa Reformasi 1998 dengan segala prolog dan epilognya adalah teori  kritik budaya dari Iqnas Kledden: untul melihat peristiwa Reformasi 1998 yang  menandainya runtuhnya kekuasaan Orde Baru. Harus dilihat dulu dari latar belakang lahirnya Orde Baru, yang ditandai dengan kesulitan ekonomi yang luar biasa, menipisnya cadangan devisa, defisit anggaran belanja, dan langkanya barang-barang konsumsi. Jalan keluar ynag diambil adalah pembentukan konsesus baru melalui reformasi konstitusional, dengan akibat-akibat terpusatnya kekuasaan pada eksekitif, sangat diutamakan partisipasi politik, sangat diutamakannya ketyertiban politik, dan berkurangnya kemungkinan untuk partisiupasi politik. Ketiga keadaan yang baru disebut ini sangat penting artinya untuk pembangunan sosial. Partisipasi politik yang terlalu meluas dan tidak terkontrol mebahayakan stabilitas politik yang merupakan conditio sine qua non bagi pembanguinan ekonomi, sementara eksekutif harus punya wewenang cukup besar untuk menjaga momentum dan kelanjutan pembanguanan ekonomi. Dalam logika situasi seperti ini stabilitas pembangunan ekonomi adalah identik dengan stabilitas nasional, yang diperluas dimensinya menjadi suatu konsep utama pemerintahan Orde Baru, yang dijadikan juga argumen politik utama, di samping konsep ketahanan nasional. Kemudian pada masa Orde Baru ini kebudayaan barat dan gaya hidup negara maju masuk dengan leluasa bersama modal asing, tenaga hali asing, dan lat-lat komunikasi modern, yang semuanya diperlukan secara mutlak oleh pembangunan ekonomi. Dengan demikian kebudayaan nasional/kepribadian bangsa tidak dapat dipakai sebagi alat kontrol gaya hidup internasional, yang memang dimungkinkan oleh oleh hasil-hasol pembangunan, dan dibutuhkan oleh ekonomi yang memakai strategi production-centered. Kebudayaan nasional/kepribadian bangsa itu lebih cenderung digunakan sebagai alat kontrol untuk untuk mengawasi gaya politik dan gaya intelektual. Dalam bidang politik sistem oposisi tidak diperkenankan, sedangkan dalam bidang intelektual setiap pemikiran kritis harus memenuhu syarat-syarat estetika sopan santun menurut tunrunan kebudayaan nasional dan kepribadiuan bangsa. Sementara itu, perluasan dan ekspansi gaya hidup dan usaha ekonomi perusahaan asing telah menrobos kemana-kemana, yang disamping mengancam usaha ekonomi tradisional penduduk mengancam pula sistem budaya tradisional, sebelum tradisi itu diganti kebudayaan nasional yang lebih kuat. Respon terbanyak orang dalam menghadapi gelombang perubahan tersebut ialah melakukan penyesuaian diri pada lapis kebudayaan yang paling gampang dan paling rendah tuntutan persyaratannya ialah kebudayaan sebagai estetika, sebagai perangkat ornametik, sebagai décor theatral. Di kota-kota enkulturasi yang dangkal ini ditunjang oleh mobilitas vertikal yang dilambangkan oleh status dengan semua perhiasan-nya dan tidak terlalu didasarkan pada fungi dan peran an yang amat ditentukan oleh suatu etos yang jelas. Akibatnya, seseorang yang mencapai suatu status yang cukup tinggi (misalnya dalam birokrasi) selalu memerlukan suatu tingkat kekayaan tertentu sebagai atribut/simbol statusnya, tetapi tidak terlalu mempersoalkan bagaimana kekayaan itu dapat diperoleh. Alasan atau bahkan sebab sebab yang melatarbelakangi tingkahlaku seperti ini kiranya cukup jelas: lebih diutamakan estetika status daripada etika status yang harus dibangun dan direalisasikan dalam suatu etos yang menjadi sistem lainnya. Tanpa penyesuaian diri dari yang memadai pada tingkat kognitif, dan tanpa penyerapan yang memadai pada tingkat sosial, maka perubahan-perubahan besar yang dihadapi karena arus modernisasi itu akan menimbulkan rekasi-reaksi kebudayaan yang bersifat involutif, di mana sutu masalah, kesulitan atau tantangan tidak diselesaiakan atau di atasi tetapi hanya ditolerir bahkan dipertahankan dengan mengubah bentuk masalah tersebut. Bagaimana keadaan involutif itu dapat diatasi kiranya sangat sangat tergantung dari kesadaran tentang involusi itu sendiri, menurut Kledden sikap yang akan diambil dalam menghadapinya adalah: 1) yang paling mudah adalah memberikan respons involutif berupa penjelasan estetis bahwa gelombang yang dihadapi sekarng ini merupakan keadaan yang normal karen amasuknya kebudayaan besar, dan respons satu-sastunya adalah improvisasi dari waktu ke waktu, sahingga tidak melihat keadaan ini sebagai krisis tetapi justru sebagai keadaan yang normal; 2) sinisme yang patut yang pada satu pihak mengakui dan melihat adanya krisis itu, tetapi pada pihak lain kehilangan komitmen untuk mengatasi krisi itu sendiri. Pada hakekatnya sinisme dalah kritik tanpa sense of belonging; 3) kritik yang di mana perlu keras dan terbuka tetapi sekaligus disertai oleh komitmen pribadi untuk mencari pemecahan soal, karena hanya dengan memecahkan soal dan bukannya menghindari persoalan sebuah krisis dapat diatasi. Tanggapan yang pertama di atas adalah yang cenderung terjadi selama masa kekuasaan Orde Baru sehingga mampu melanggengkan kekuasaannya selama ± 33 tahun. Sementara sikap yang diambil dalam menghadapai tekanan yang demikian kuat terhadap para oposisi dan intelektual; dibarengi dengan berbagai penyimpangan seperti korupsi, kolusi, dan nepotismne yang marak terjadi pada masa Orde Baru; dan juga kesanjangan sosial yang cukup tinggi antara si kaya dan si miskin atapun rayat dengan penguasa, yang berujung pada peristiwa sosial berupa Reformasi 1998 yang menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru, menurut hemat saya dalah sikap yang kedua di mana yang terjadi hanya sinisme terhadap Orde Baru semata, hal ini dikarenakan oleh semakin buruknya kondisi Indonesia pasca reformasi, yang terjadi dan menjadi fokus utama dari para tokoh reforamsi adalah mencari hal-hal dan kejelekan dari pemerintah untuk menggulingkan kekuasaan Orde Baru tanpa dibarengi dengan komitmen untuk memperbaiki apa yang menjadi kelemahan dari masa Orde Baru, sehingga terjadilah apa yang disebut oleh Kledden sebagai diskontinuitas budaya, karena setiap generasi berusaha membangun tradisi baru ab initio (dari nol sebagai awal) dan bukannya melakukan dialektik dengan tradisi sebelumnya. Jadi yang menonjol dan menjadi tujuan utama malah upaya untuk menggulingkan Orde Baru semata, bukan tekad untuk memperbaiki, mensejahterakan dan memajukan bangsa ini, sehingga yang terjadi bahkan sampai sekarang ini adalah upaya untuk saling menjatuhkan dari para oknum yang justru merupakan agent reformasi demi untuk memperoleh kekuasaan semata, bukannya saling abhu membahu membangun bangsa.
Sementara untuk melihat fenomena maraknya gepeng, pekerja anak, dan anak jalanan di berbagai kota besar juga dapat menggunakan teori modernisasi yang diungkapkan oleh Iqnas Kledden: Kalau kita mengamati perkembanga kebudayaan dewasa ini sepintas lalu saja, mak sudah cukup nyata bahwa masalah yang dihadapi dalam bidang kebudayaan adalah tingkat penerimaan dan tingkat penghayatan kebudayaan itu, baik yang menyangkut modernitas maupun yang menyangkut tradisi. Sudah banyak diuraikan, bahwa modernisasi yang terjadi di banyak negara berkembang tidak dapat mengikuti pola dan tahapan modernisasi di Barat, yang menurut para ahli berlangsung dalam empat tingkatan, yaitu urbanisasi, literasi (melek huruf), partisipasi dalam media massa dan yang terakhir partisipasi politik. Mula-mula orang tertarik datang ke kota karena di sanalah ada pusat-pusat industri. Selanjutnya, di kota-kota tersebut orang orang ini menmgirim anak-anaknya ke sekolah karena di promosi dalam kerja industri dapat dibantu oleh pendidikan formal di sekolah. Setelah dapat membaca dan menulis, mereka ini kemudian, menyisihkan sebagian pendapatannya untuk membeli koran dan majalah, baik untuk informasi mengenai kerja mau pun untuk komukasi dengan lingkungan. Selanjutnya, komunikasi dengan “publik” melalui bacaan pada gilirannya menimbulkan kesadaran politik dan partisipasi politik. Singkatnya, dalam model Barat terlihat bahwa modernisasi telah dimungkinkan oleh peningkatan mobilitas, mulai dari yang paling fisik (yaitu urbanisasi), melalui mobilitas sosial (yaitu literasi dan partisipasi dalam media), akhirnya sampai ke mobilitas psikologis (berupa kesadaran dan partisipasi politik). Dengan perkataan lain, perubahan menuju modernisasi itu berlangsung dengan cukup teratur dan mantap: perubahan pada basis material kebudayaan pada giliran berikut menimbulkan perubahan pada basis sosial kebudayaan, yang pada akhirnya menimbulkan pada basis mental dan kognitif dalam kebudayaan. Atau dapat dirumuskan sebagai berikut: perubahan cara kerja (dari pertanian ke industri), menimbulkan perubahan cara hidup (dari buta huruf ke melek huruf), yang selanjunya menimbulkan perubahan dalam cara pikir (dari apolitis menjadi politis). Sedangkan untuk banyak negara berkembang, seperti halnya Indonesia, pola itu jelas tak dapat diikuti, dan sebagai contohnya adalah maraknya gepeng, pekerja anak, dan anak jalanan di berbagai kota besar. Hal ini dikarenakan urbanisasi yang terjadi di Indonesia bukan hanya berupa satuan mobilitas fisik, tetapi sekaligus juga suatu mobilitas sosial-budaya. Dengan adanya teknologi komuklasi secanggih sekarang ini (khusunya radio dan TV), informasi dan pengaruh dari kota cepat menyerbu desa-desa, sebelu orang-orang itu pindah ke kota. Malahan banyak dari mereka tidak pindah ke kota tetapi hidup dengan aspirasi, selera dan ideal orang-orang kota. Selanjutnya, desa dan kota pun tidak pernah merupakan dua daerah yang mutlak terpisahkan. Banyak orang-orang di kota besar di Indonesia tidak hidup sebagi urbanis tetapi hanya sebagai cultur commute yang bolak-balik dari desa ke kota, bai karen alasan ekonomis maupun karena alasan sosial budaya. Kemudian, orang-orang yang mencari kerja di kota-kota tidak selalu ditampung dan diserap ke dalam sektor industri, sebagian besarnya justru memasuki sektor jasa (entah sebagai tukang becak, kuli bangunan, pembantu rumah tangga, supir, tukang pijat, atau bahkan pelacur), dan mereka ini tidak harus memerlukan kepandaian literasi sebagai syarat untuk bekerja (dari data Buletin LEKNAS, tahun 1980 di Indonesia sektor jasa ternyata merupakan sektor terbesar kedua yaitu 15,2 % setelah pertanian sebesar 54,9 %). Ini berarti dorongan obyektif yang dapat memaksa seseorang untuk bersekolah pun lebih kecil, karena orang-orang yang gagal memasuki sektor formal (khusunya sektor Industri), masih dapat bekerja di sektor informal. Akibat berikutnya partisipasi media pun rendah saja, dan partisipasi politik mendapat kesempatan yang semakin kecil karena pengaruh program depolitisasi. Dan ini berujung pada semakin terpuruknya kehidupan para urbanis yang berasal dari desa ini di kota-kota besar, apalagi yang sudah berkeluarga dan biaya hidup yang harus ditanggung semakin besar, sehingga kondisinya akan semakin terpuruk, tau paling bagus tetap bisa memeproleh penghjasilan untuk bertahan hidup di tengah kehidupan kota yang ganas. Kondisi seperti inilah yang menyebabkan tingginya angka gepeng, pekerja anak, dan anak jalanan di berbagai kota besar, karena seluruh anggota keluarga bahkan anak yang belum cukup umur untuk bekerja terpaksa diharuskan juga untuk bekerja untuk membantu orang tuannya demi kelangsungan hidupnya. Proses urbanisasi di Indonesia, lyang tidaj dibarengi dengan iterasi (melek huruf) dan partisipasi dalam media massa, sehingga berujung pada ketidak mampuan berpartisipasi politik mebuat mereka terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang tak kunjung usai.
 
DAFTAR REFERENSI:
1.      Bustanuddin, Agus. 2006. Agama dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama. Jakarta: Rajawali Perss.
2.      Dadang, Kahmad. 2006. Sosiologi Agama. Bandung: Remadja Rosdakarya.
3.      Dhavamony, Mariasusai. 1998. Fenomenologi Agama, (Terjemah: A. Sudiarja, dkk). Yogjakarta: Kanisius.
4.      Durkheim, Emile. 2003. Sejarah Agama, (Terjemah: Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta: IRCiSoD.
5.      Eliade, Mircea. 2002. Sakral Dan Profan, (Terjemah: Nuwanto). Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
6.      Horton, Paul B. & Hunt ChesterL. 1999. Sodiologi Jilid I, (Terjemah: Aminuddin Ram & Tita Subari). Jakarta; Erlangga.
7.      Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3S.
8.      Morris, Brian. 2003. Antropologi Agama: Kritik Teori-Teori Agama Kontemporer, (Terjemah: Imam Khoiri). Yogyakarta: AK Group.
9.      Ritzer, George. 2004. Teori Sosologi Modern. Jakarta: Kencana.
10.  Ritzer, George. 2003. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: PT Raja Grafindo.
11.  Soekanto, Soerjono. 1975. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia.
12.  Stephen K. Sanderson. 1995. Macrosociology, (Terjemah: Farid Wajdi dan S. Menno). Sosiologi Makro, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
13.  www.wikipedia.com, diakses tgl 30 Desember 2009, jam: 19.00 WIB.



Untuk lebih lanjutnya…….
1.    Pastikan anda menjadi pengikut blog ini
2.    Kirim email ke: sangajimbojo@gmail.com atau ranggambojo@ymail.com
3.    Gabung di facebook dengan alamat email di atas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar