Rabu, 01 Juni 2011

UAS Perubahan Sosial

klik judul untuk mendownload file lengkapnya
 
Teori-Teori Perubahan Sosial

1.        Perspektif teori tentang perubahan sosial
·       Teori Ibnu Khaldun: memandang perubahan yang terjadi dalam suatu masyarakat berbentuk siklus. Teorinya dilandaskan pada konflik, pertentangan antara manusia nomaden dan manusia menetap. Nomaden padang pasir mendabakan kemewahan kehidupan kota. Karena itulah orang nomeden terus-menerus menyerang dan menaklukkan kota. Penduduk yang menetap di kawasan urban tidak mampu menadingi kebuasan orang Badui. Itulah yang menyebabkan penaklukkan kawasan urban, sebuah negara atau kekaisaran. Tetapi begitu penakluk bermukim di kota, mereka akn runtuh pula, menjadi mangsa kemerosotan yang sama dengan yang dialami rakyat menetap yang mereka taklukkan. Keruntuhan hanyalah soal waktu, sebelum segerombolan nomaden baru datang menyapu bersih kekaisaran mereka. Dengan demikian terdapat lingkaran perubahan. Di mulai dengan dibangunnya sebuah kekaisaran, lapuk tak berdaya, dan akhirnya hencur di hadapan kekuatan generasi nomaden padang pasir yang baru. Negara dibangun dan dihancurkan melalui konflik. Sejarah adalah sebuah lingkaran tanpa ujung dari pertumbuhan dan kehancuran. Lingkaran tanpa ujung dari penaklukan dan keruntuhan.
·       Teori Arnold Toynbee: melihat proses kelahiran, pertumbuhan, kemadekan, dan kehancuran di dalam kehidupan sosial. Menurutnya peradaban muncul sebagai tanggapan atas tantangan. Karena itu, kriteria pertama untuk terciptanya tanggapa memadai adalah keras-lunaknya tantangan. Kriteria kedua adalah kehadiran elit yang kan memimpin dalam meberikan tanggapa atas tantangan itu. Pertumbuhan peradaban tergantung pada perilaku minoritas (elit) kreatif. Tugas minoritas kreatif ini bukanlah semata-mata menciptakan bentuk-bentuk dan proses-proses sosial baru, tetapi menciptakan cara membawa pasukan belakang yang melempem (mayoritas) untuk bersama-sama dengan mereka mencapai kemajuan. Dengan pimpinan elit, peradaban akan tumbuh melalui serentetan tanggapan yang berhasil menghadapi tantangan yang berkelanjutan. Dan umunya peradaban akan mengalami kehancuran bila elit kretifnya tak lagi berfungsi secara memadai, mayoritas tak lagi meniru dan memberikan kesetiaan mereka kepada dan elit; serta bila kesatuan sosial mengalami perpecahan. Singkatnya, gambaran sejarah manusia yang dikemukakan Toynbee adlah suatu lingkaran perubahan berkepanjangan dari peradaban: lahir tumbuh, pecah dan hancur. Keseluruhan proses ini berkaitan erat dengan pelaksanaan fungsi elit dan atarhubungan elit ndengan massa rakyat.
·       Teori Pitirim A. Sorokin: yang melihat berbagai lingkaran dalam proses historis. Menurut Sorokin sejarah sosiokultural merupakan lingkaran yang bervariasi anatara ketiga supersitem atau mentalitas budaya yang mencerminkan kultur yang agak homogen, yaitu: sistem ideasional (Tuhan dan dan alam transenden sebagai realitas tertinggi/spiritual dan non-material), sistem inderawi (dunia nyata yang terecap pancaindera adalah relitas tertinggi/material dan kesenangan lahiriah), sistem campuran (idealistis/menyeimbangkan antara ideasional dan inderawi), yang ketiganya menunjukkan perbedaan dasar berpikir. Sorokin menadaskan, setiap sistem sosiokultural tertentu jelas akan mengalami perubahan berkat kativitasnya sendiri: setiap sistem yang hidup dan aktif, selalu berubah. Faktor eksternal memang mempengaruhi, tetapi faktor internal menyediakan dorongan utama perubahan, dan setiap perubahan tertentu mungkin dimulai melalui perantara komponen, makna, wahana, atau agen pelaksananya. Tekanan Sorokin pada faktor internal sebagai mekanisme perubahan, menempatkanny apad deretan pemikir yang menyatakan perubahan sebagai suatu yang normal ketimbang  sebagai sejenis penyimpangan. Sorokin mengemukakan penjelasannya dalam 3 sistem sosiokultural, dengan masing-masing unsur di dalam ketiga sistem itu dapat membantu sebagai mekanisme perubahan. Menurutnya kehancuran sitem sosiokultural tidak berarti kembali ke tingkat kebiadaban (barbarism) dan kartena itu merupakan awal kehidupan baru. Kematian kultur inderawi misalnya, berarti bahwa kita akan menuju ke arah puncak kecemerlangan kultur ideasional atau kultur campuran baru dan karena itu misi kultur dan masyarakat yang kreatif akan berlanjut.
·       Teori Auguste Comte: memiliki pandangan tentang perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat dalam bentuk perkembangan yang linear menuju ke arah yang positif. Perubahan sosial menurut pandangannya berjalan lambat namun menuju suatu bentuk “kesempurnaan” masyarakat. Pemikiran Comte yang dikenal dengan aliran positivisme, memandang bahwa masyarakat harus menjalani berbagai tahap evolusi yang pada masing-masing tahap tersebut dihubungkan dengan pola pemikiran tertentu, yaitu: tingkatan teologis atau khayalan, tingkat metafisika atau abstrak, dan tingkat ilmiah atau positif. Dan terbentuknya masyarakat positifis inilah yang menjadi tujuan perubahan sosial menurut Comte. Selanjutnya Comte menjelaskan bahwa setiap kemunculan tahap baru akan diawali dengan pertentangan antara pemikiran tradisional dan pemikiran yang bersifat progresif. Menurutnya, ada tiga faktor yang mempengaruhi tingkat kemajuan manusia, pertama adalah rasa bosan sehingga manusia selalu terdorong untuk menemukan atau menciptakan hal-hal baru; kedua adalah lamanya umur manusia, di mana umur yang lama meningkatkan konservatifisme yang menghambat laju perubahan, sedangkan umur pendek sama merepotkannya dengan umur terlalu panjang yang memberikan terlalu banyak kekuatan pada “naluri mencipta”, karena itu ada kepanjangan umur optimum untuk tingkat kemajuan optimum.; dan ketiga adalah faktor demografi – pertambahan penduduk secara lamiah, baik jumlah maupun kepadatan karena semakin tinggi tingkat konsentrasi penduduk di suatu tempat tertentu, akan menimbulkan keinginan dan masalah baru yang akan menimbulkan cara-cara baru untuk mencapai kemajuan, namun baik pertumbuhan penduduk yang terlalu lambat maupun yang terlalu cepat dapat mengahalangi kemajuan.
·       Teori Herbert Spencer: memiliki kemiripan dengan pandangan Comte, di mana Spencer menganalogikan masyarakat sebagai layaknya perkembangan mahkluk hidup atau organisme, terutama karena masyarakat mengalami pertumbuhan terus-menerus. Masyarakat termasuk didalamnya kebudayaan mengalami perkembangan secara bertahap. Mula-mula berasal dari bentuk yang sederhana kemudian berkembang dalam bentuk yang lebih kompleks menuju tahap akhir yang sempurna. Menurut Spencer yang menggerakkan perubahan masyarakat, yang meliputi penggabungan dan penggabungan ulang, dari homogenitas (primitivism) ke heterogenitas (peradaban), adalah perjuangan mempertahankan hidup anatara bebagai masyarakat (mustahil terjadi tanpa konflik). Karena dalam suasana konflik inilah, baik kelompok-kelompok yang bertahan maupun kelompok yang menyerang, sama-sama memerlukan kejasama di antara anggotanya, yang selanjutnya akan menuju pada “segala kerjasama” yang membantu pertumbuhan peradaban. Kemudian begitu masyarakat beradab keluar dari pertumbahan darah antarmasyarakat yang suka berperang itu, maka konflik antar manusia tidak diperlukan lagi, yang kemudian memunculkan dua tipe masyarakat yang menandai pola evolusi manusia, yaitu dari tipe militan ke tipe masyarakat industri. Sama dengan Adam Smith, Spencer yakin bahwa tujuan kahir masyarakat bebas meningkatkan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tetapi Spencer tidak seoptimis Comte, karena ia melihat kemungkinan kemunduran masyarakat selain kemajuan (ke arah masyarakat industri). Terdapat kemungkinan untuk kembali ke masyarakat yang lebih militan, dengan melihat konflik internasioanl dan kemunculan kembali aktivitas mempertahankan dan menyerang. Dari uraian di atas dapat disimpulkan menurut Spencer bahwa perubahan sosial adalah normal, dan penekanan terhadap konflik sebagai mekanisme yang mendorong perubahan sosial.
·       Teori Emile Durkheim: menurutnya dalam perkembangan masyarkat terdapat dua tipe solidaritas, yaitu solidaritas mekanik adalah bentuk primitif dari organisasi sosial, yang ditandai dengan kecenderungan dan ide bersama yang lebih banyak (dibandingkan dengan perbedaan individual), tata sosial mempunyai keseragaman yang besar, kesadaran kolektif sama sekali membungkus keseluruhan kesadaran anggota masyarakatnya dan dalam segala hal kesadaran anggota masyarakat serupa dengan kesadaran kolektif, dan solidaritas mekanik ini dipertahankan dengan menerapkan sanksi-sanksi memaksa terhadap orang yang menyimpang; dan solidaritas organik yang berasal dari pembagian kerja yang menyertai perkembangan sosial, lebih berakar di dalam perbedaan ketimbang persamaan, karena kondisi masyarakat yang semakin berkembang menuntut solidaritas yang didasarkan atas diferensiasi – bermacam-macam fungsi dan pembagian kerja, dan solidaritas ini ditandai oleh sanksi-sanksi pengganti – di mana penggantian barang-barang sebagaimana adanya menjadi tujuan hukum. Menurut Dhurkheim faktor penyebab perubahan sosial yang ditandai dengan terjadinya pembagian kerja dan tipe solidaritas baru (dari solidaritas mekanik menjadi solidaritas organik) adalah volume dan kepadatan masyarakat. Pentingnya peningkatan pembagian kerja dalam masyarakat yang lebih banyak dan lebih padat penduduknya ini disebabkan semakin gawatnya perjuangan untuk mempertahankan hidup, di mana semakin serupa penduduknya, semakin besar persaingan di antara mereka, karena mereka sama-sama berjuang untuk mempertahnkan untuk mendapatkan sumber-sumber yang terbatas. Singkatnya, pembagian kerja di dalam masyarakat yang lebih banyak dan lebih padat penduduknya adalah penting untuk menghindari konflik sosial yang merusak. Evolusi manusia akan menin gkatkan dominasi solidaritas organik atas solidaritas mekanik. Jika solidaritas kelompok berubah bentuknya, maka struktur sosial pun akan berubah. Tetapi Durkheim tidak berpendapat bahwa salah satu di antara kedua tipe solidaritas itu akan muncul secara mutlak di dalam setiap masyarakat yang nyata. Arah perubahan adalah menuju solidaritas organik, dan tipe struktur sosial akan ditandai oleh solidaritas organik itu, namun bekas-bekas solidaritas mekanikpun akan tetap ada. Sehingga Dhurkheim meragukan pencapaian peradaban, ia merasa bahwa ada kemungkinan terjadinya hubungan sebaliknya antara pertumbuhan kultur dan kebahagiaan manusia. Lebih lanjut Durkheim mengingatkan kita agar hati-hati dalam melihat kekeliruan pandangan utopia – ada kekurangan masa sekarang, dan keselamatan umat manusia takkan dapat tercapai dengan membantu orang lain untuk menjadi serupa dengan kita (Barat) secepat mungkin.
·       Teori Karl Marx: meyatakan penyebab perubahan harus dicari di dalam cara-cara produksi ketimbang di dalam ide-ide, jadi bukan cara manusia berpikir dan juga buka apa yang dipikirkan manusia yang mebentuk sejrah melainkan cara mereka berhubungan di dlam proses produksi dan cara hubungan mereka dengan produksilah yang membentuk sejarah. Hal ini di dasarkan pada keadaan setiap masyarakat yang ditandai oleh suatu infra-struktur yakni ekonomi dan supra-strukturnya yang terdiri dari ideologi, hukum, pemerintahan, keluarga, dan agama. Artinya basis materiil (ekonomi) masyarakat adalah landasan tempat membangun semua basis kehidupan lainnya, dengan demikian perubahan cara produksi menyebabkan perubahan di dalam seluruh hubungan sosial manusia. Penyebab perubahan adalah kontradiksi antara kekuatan-kekutan produksi dengan hubungan-hubungan produksi, yang menjelma dalam pertentangan kelas (sejarah pertentangan kelas). Menurut Marx kontradiksi manjadi sifat bawaan proses sosial dan akan menjadi mekanisme pendorong perubahan sosia, kontradiksi ini juga yang menjadi inti kemajuan. Sebagai hasil kontradiksi iakan melahirkan revolusi komunis yang mengahsilkan masyarkat tanpa kelas. Dan masyarakat tanpa kelas ini pada hakikatnya akan merupakan suatu tatanan masyarakat, di mana setiap orang akan berbuat sesuai dengan kemampuannya, dan akan menerima sesuai dengan kebutuhannya. Terakhir, Marxisme menekankan pentingnya pemahaman struktur sosial dalam memahami perilaku manusia. Bukanlah kesadaran yang membentuk realitas, melainkan realitaslah yang menentukan kesadaran. Apa yang dilakukan manusia, bagaimana ia berpikir, dan apa yang ia yakini, mencerminkan struktur sosial tempat ia berada.
·       Teori Talcott Parsons: melahirkan teori fungsional tentang perubahan. Seperti para pendahulunya, Parsons juga menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat seperti halnya pertumbuhan pada mahkluk hidup. Komponen utama pemikiran Parsons adalah adanya proses diferensiasi. Parsons berasumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan Parsons termasuk dalam golongan yang memandang optimis sebuah proses perubahan.
·       Toeri Francesca Cancian: memberikan sumbangan pemikiran bahwa sistem sosial merupakan sebuah model dengan persamaan tertentu. Analogi yang dikembangkan didasarkan pula oleh ilmu alam, sesuatu yang sama dengan para pendahulunya. Model ini mempunyai beberapa variabel yang membentuk sebuah fungsi. Penggunaan model sederhana ini tidak akan mampu memprediksi perubahan atau keseimbangan yang akan terjadi, kecuali kita dapat mengetahui sebagaian variabel pada masa depan. Dalam sebuah sistem yang deterministik, seperti yang disampaikan oleh Nagel, keadaan dari sebuah sistem pada suatu waktu tertentu merupakan fungsi dari keadaan tersebut beberapa waktu lampau.
·       Teori Joseph Kahl dan juga teori Alex Inkeles & David Smith: sama-sama berpandangan bahwa msyarakat modern memerlukan individu moder untuk berfungsinya dan untuk berkembangnya masyarakat itu selanjutnya. Keduanya menemukan individu modern di dalam masyarakat semua masyarakat yang idteliti, dan pendidikan berhubungan erat dengan kemodern, selai itu keduanya sama-sama menekankan pentingnya media massa dan pekerjaan sebagai faktor pembentuk individu modern. Walaupun kedua studi ini ide penting yang menyatakan kemodern individu berhubungan erat dengan masyarakat modern tetap lebih merupakan asumsi ketimbang studi empiris, namun kedua studi ini telah mengidentifikasi seperangkat ciri-ciri kemodernan individu dan telah menunjukkan kemodern itu berhubungan erat dengan faktor pendidikan, pekerjaan, partisipasi dalam media massa, dan hingga taraf tertentu, dengan urbanisme.

2.        Suatu proses perubahan tentang strukturdan fungsi sistem-sistem sosial setidaknya  terjadi dalam tiga tahap: 1) Invensi: yakni suatu proses dimana perubahan itu didasari daridalam masyarakat itu sendiri, diciptakan oleh masyarakat itu sendiri yang kemudian muncullah perubahan-perubahan; 2) Diffusi: dimana ide-ide atau gagasan yang didapat dari luar itu kemudian dikomunikasikan dalam suatu masyarakat yang mengarah pada akulturasi (pembauran antar budaya yang masih terlihat masing-masing sifat khasnya) atau asimilasi (pembauran antar budaya yang menghasilkan budaya yang sama sekali baru batas budaya lama tidak tampak lagi); 3) Konsekwensi: yaitu adanya hasil dari pada adopsi terhadap perubahan tersebut; 4) Suatu perubahan yang terjadi baik dari faktor-faktor yang berasal dari masyarakat itu sendiri maupun berasal dari luar masyarakat itu tidak selalu menghasilkan akibat-akibat yang sama. Adakalanya terjadi perubahan kecil yang dampaknya kurang berarti, akan tetapi telah terjadi suatu perubahan (evolusi), maupun yang memiliki dampak yang besar bagi masyarakat (revolusi). Di lain pihak akan terlihat bahwa dalam berbagai bidang perubahan terjadi dengan lambat sekali di dalam suatu masyarakat, dalam hal ini diwakili oleh para pemimpinnya. Dari suatu proses perubahan akan lebih mudah terjadi apabila masyarakat yang bersangkutan bersikap terbuka terhadap hal-hal atau masalah baru baik dari luar maupun dari dalam. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa, kemungkinan yang terjadi dari suatu perubahan sosial, adalah:
·         Mengarah pada proses-proses yang asosiatif: terjadi bila suatu masyarakat bersifat lebih terbuka terbuka untuk menerima perubahan, baik yang datang dari dalam (disscovery, invention, innovation) maupun yang datang dai luar (difusi, asimilasi, dan akulturasi).  Misalnya, modernisasi (proses perubahan tradisi, sikap, dan system nilai dalam rangka menyesuaikan diri dengan kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa lain, sehingga suatu bangsa dapat bertahan secara wajar di tengah-tengah tekanan berbagai masalah hidup di dunia dewasa ini) dan Globalisasi (suatu sistem atau tatanan yang menyebabkan seseorang atau negara tidak mungkin untuk mengisolasikan diri sebagai akibat dari kemajuan teknologi dan komunikasi dunia atau suatu kondisi dimana tidak ada lagi batas-batas antara satu negara dengan negara lain dalam hal teknologi komunikasi). Pada masyarakat yang terlalau terbuka bisanya akan mengakibatkan guncangan budaya (cultural shock) – ketidak sesuaian unsur-unsur yang saling berbeda sehingga menghasilkan suatu pola kehidupan social yang tidak serasi fungsinya bagi masyarakat yang bersangkutan. Budaya yang masuk ke suatu masyarakat tidak selalu sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat, kondisi seperti inipun juga dapat menimbulkan keguncangan budaya.
·         Mengarah pada proses-proses yang disosiatif: terjadi bila suatu masyarakat bersifat tertutup dan menolak segala bentuk perubahan. Pada masyarakat yang terlalu tertutup ini, cenderung akan mngalami ketertinggalan budaya (cultural lag) – perumbuhan atau perubahan unsure kebudayaan yang mengalami perubahan tidak sama cepatnya misalnya perubahan pada budaya material akan lebih cepat berubah dibanding budaya immaterial. Ketidak seimbangan perubahan antara budaya material dan immaterial itulah yang disebut dengan ketertinggalan budaya
Cara untuk mengatasi dampak dari perubahan sosial ada empat fungsi yang harus dimiliki oleh sebuah masyarakat agar mampu bertahan walaupun terjadi perubahan sosial, yaitu :
  • Mempertahankan sistem budaya yang telah dimiliki dan meningkatkan kemampuan adaptasinya sehingga bukannya menjadi penghambat kemajuan tetapi bisa menjadi filter, di mana sebuah sistem budaya harus mampu menanggulangi situasi eksternal yang gawat dan juga harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan (hal-hal baru tidak serta merta ditolak tetapi diambil yang bermanfaat dan sesuai dengan niali-nilai budaya yang di anut/selektif).
·         Memperkuat ideologi dan nasionalisme
·         Pengimbangan kemajuan ilmu pengetahuan dengan iman
·         Mencegah meluasnya narkoba, pornoaksi melalui teknologi, miras dll
·         Mencintai produk dalam negeri
·         Meningkatkan persatuan dan kesatuan
·         Menjaga kelestarian lingkungan hidup
·         Orangtua semakin aktif dalam mendidik anak
·         Selektif terhadap budaya asing yang masuk
·         Menjaga kelangsungan nilai dan norma masyarakat
·         Jadi, dunia selayaknya dibangun di atas tataran lintas-lokalitas. Lokalitas yang mampu berdialektika dan membangun komposisi baru dengan lokalitas-lokalitas lain. Tampaknya tawaran tersebut lebih realistis. Saat ini, mungkin tidak terdapat satu masyarakat tertentu yang homogen, yang terjadi adalah (dan selalu) percampur-bauran. Sebagai konsekuensinya, pengetahuan lokal dan kearifan lokal juga perlu mengadaptasi dan mengadopsi sesuai dengan komposisi baru tersebut. Kalau hal tersebut tidak dilakukan, pengetahuan lokal atau kearifan lokal cenderung anarkis dan eksklusif. Dia menolak keberadaan lain, sesuatu yang lain di lingkungannya sendiri. Tegasnya, yang dibutuhkan bukan sekadar kearifan lokal, melainkan lebih-lebih adalah kearifan sosial. 
·         Dengan demikian, dalam pembicaraan ini terdapat dua konsep kunci yang ingin dipersoalkan dan sekaligus dihadapkan, yakni konsep kearifan lokal (seperangkat nilai dan pengetahuan yang  dipelihara “secara eksklusif” oleh kelompok masyarakat lokal tertentu, yang pada mulanya  berhubungan dengan cara-cara pemahaman dan praktik sosial masyarakat berhadapan dengan  alam dan lingkungan atau ekologi, biasanya berupa ungkapan, pribahasa, dongeng-dongeng atau cerita mitos dan folklor, filsafat sosial, atau bahkan dalam ritus-ritus budaya yang bertujuan memelihara keseimbangan dan harmonisasi antara manusia dengan alam dan lingkungan atau ekologi, maupun dengan kekuatan-kekuatan supranatural (Tuhan) – tetapi kemudian kearifan lokal mengalami transformasi pengertian, yakni segala sesuatu  yang berkaitan dengan kekhasan budaya-budaya lokal tertentu yang harus diakui keberadaannya, dan berbeda dengan kekhasan budaya lokal tertentu lainnya) dan kearifan sosial (seperangkat nilai dan/atau pengetahuan kebajikan yang mempengaruhi orang atau masyarakat dalam melakukan tindakan atau praktik-praktik sosial, yang secara khusus lebih dalam konteks bagaimana cara-cara orang atau masyarakat dalam mengelola relasi-relasi  sosial, mengelola kehidupan bermasyarakat atau bahkan bernegara). Dalam praktiknya, dalam situasi inilah kearifan lokal kadang-kadang berbenturan dengan kearifan sosial. Benturan terjadi ketika klaim kearifan lokal dianggap lebih berdaulat dibanding perbedaan-perbedaan dan perbauran yang terjadi di tingkat sosial. Jika pengakuan terhadap kearifan lokal didahulukan (dimenangkan), maka sangat mungkin kearifan lokal terkesan tidak adaptif terhadap konteks-konteks hubungan kemanusiaan yang lebih luas. Oleh karenanya, seperti diketahui, dalam pengertian awalnya memang kearifan lokal tidak dimaksudkan sebagai satu perangkat pengetahuan untuk mengelola relasi sosial. Contohnya dalam cara membangun rumah. Bagaimana rumah dibangun, menghadap ke arah mana, dari bahan apa (bambu, kayu, atau bata), kapan hari baik untuk masuk rumah, dan sebagainya, secara khusus merupakan kearifan lokal masyarakat bersangkutan. Akan tetapi, pengatahuan lokal yang khusus itu hanya bisa berlaku pada waktu dulu, ketika penduduk dan tanah masih sangat luas untuk dibangun. Sekarang kenyataanya berbeda, tanah untuk hunian sangat sempit, sementara penduduk bertambah terus, dan kemiskinan. Sebagai resikonya, banyak rumah dibangun asal-asalan. Sementara itu, kearifan sosial lebih bersangkutan dengan bagaimana orang  mengambil keputusan dalam membangun rumah agar ramah dengan tetangga, tidak membuat tetangga menjadi tersingkir atau menjadi tidak nyaman dengan keberadaan rumah tersebut. Oleh sebab itu untuk lebih tanggap terhadap berbagai perubahan sosial yang terjadi kearifan sosial harus lebih dikedepankan agar suatu masyarakat dapat tumbuh menjadi masyrakat yang leih maju, yang dikomparasikan dengan kearifan lokal sebagai filter namun dalam wujud yang lebih adaptif, sehingga nilai-nilai budaya yang dimiliki dan menjadi simbol keberadaan dari masyarakat tersebut tetap bisa dipertahankan tanpa harus mengahambat kemajuan yang ingin dicapai.
Daftar Bacaan:
Goodman, Douglas J. 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media.
Koento, Wibisono. 1983. Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Augus Comte. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Lauer, Robert H. 1993. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.
Soekanto, Soerjono. 1981. Memperkenalkan Sosiologi. Rajawali Press: Jakarta.




Rancangan Penelitian

Judul                     : Gerakan Sosial Akibat Rusaknya Tatanan Tradisional: Reaksi Masyarakat Donggo Terhadap Runtuhnya Otoritas Kesultanan Bima Tahun 1972
Lokasi Penelitian  : Bima – NTB
Waktu                   : Sekitar Tahun 1972
Tingkat Analisis   : Masyarakat
Kawasan Studi     : Kekuasaan

Latar Belakang    :
Sejarah Indonesia sebelum masa kemerdekaan terbentuk oleh sejarah berbagai kerajaan independen yang mempunyai banyak persamaan dan saling berhubungan, namun berkembang menurut nasibnya masing-masing. Semua kerajaan itu terpengaruh oleh kontaknya dengan kebudayaan luar yang berasal dari India, Arab, Cina, maupun Eropa. Penulisan sejarah Indonesia sebagai negara kesatuan sangat tergantung pada pengetahuan para sejarawan tentang perkembangan masing-masing kerajaan tersebut.
Indonesia ditinjau dari terbentuknya nation atau bangsa modern sebenarnya belumlah lama. Gejala itu barulah nampak pada awal abad ke-20. sebelum itu konsep nation baru belum dikenal. Sejarah Indonesia periode itu lebih terkait pada hal-hal yang bersifat kedaerahan. Tiap-tiap daerah di Indonesia seolah-olah mempunyai sejarahnya sendiri. Adalah menarik dan peting untuk meneliti dan menggambarkan perkembangan masing-masing sejarah daerah tersebut. Dalam perkembangan tersebut dapat dilihat persinggungan perjalanan sejarah masing-masing daerah dalam lingkup yang kemudian disebut Indonesia.
Dari sekian banyak Kerajaan di Indonesia dalam kerangka seperti itu terdapat sebuah kerajaan yang terletak di Pulau Sumbawa yaitu Kerajaan Bima yang merupakan kerajaan penting di pulau Sumbawa maupun di kawasan pulau-pulau Sunda Kecil pada kurun waktu abad ke-17 sampai dengan abad ke-19. Dalam Bo’ Sangaji Kai (Catatan Kerajaan Bima), Bima digambarkan sebagai Kerajaan yang teratur tata pemerintahannya serta luas hubungan luarnya. Hal ini disebabkan karena Bima telah berdiri dan berkembang lama sebelum masa yang diliputi oleh Bo’, dan sempat mengembangkan sebuah politik dan budaya yang canggih berkat kemakmuran yang dihasilkan oleh perniagaan. (Chambert-Loir, 1982: 13)
Bima terletak di tengah-tengah jalur maritim yang melintasi Kepulauan Indonesia, sehingga menjadi tempat persinggahan penting dalam jaringan perdagangan dari Maluku ke Malaka. Sejumlah peninggalan purbakala dan prasasti serta beberapa kutipan dari teks Jawa Kouna seperti Nagarakretagama, Pararton, Kidung Pamacangah, Roman Ranggalawe dan Serat Kanda disebutkan sejumlah nama-nama tempat di Pulau Sumbawa yang sekaligus menjadi bukti bahwa tempat-tempat tersebut sudah dikenal oleh Kerajaan Majapahit atau termasuk wilayah Kerajaan Majapahit. Dalam kitab Nagarakretagama yang ditulis pleh Empu Prapanca pada tahun 1365, pupuh 14:3 dikutip sebagai berikut:
sawetan ikanang tanah jawa muwah ya warnananen
ri bali makamukya tan badahulu mwan i lwagajah
gurun makamukya sukun / ri taliwang ri dompo sape
ri sanghyang api bhima ceram i hutan kadaly apupul
Dari kutipan di ats disebutkan sejumlah nama tempat di pulau Sumbawa yang termasuk wilayah Kerajaan Majapahit, yakni Taliwang, Dompo, Sape, Sanghyang api, Bima, Seran dan Utan Kadali. Selain itu juga membukitikan bahwa pelabuhan Bima telah disinggahi sekitar abad ke-10. Waktu orang Portugis mulai menjelajahi Kepulauaan Nusantara, Bima telah menjadi pusat perdagangan yang berarti. Pada dasawarsa kedua abad ke-16, Tome Pires menggambarkan Bima sebagai berikut: “Pulau Bima adalah pulau yang diperintah oleh seorang raja kafir. Dimilikinya banyak perahu dan banyak bahan makanan, serata juga daging, ikan dan asam, dan juga banyak kayu sapang yang dibawanya ke Malaka untuk dijual, dan orang pergi ke Malaka untuk membelinya karena mudah dijual di Cina; kayu sapang itu tripis dan harganya di Cina lebih murah dari kayu sapang Siam yang lebih tebal dan lebih bermutu. Bima juga memilikinya banyak budak dan banyak kuda yang dibawanya ke Jawa. Perdagangan di pulau itu ramai. Orangnya hitam berambut lurus. Terdapat banyak dusun, banuak orang, dan banyak hutan. Orang yang berlayar ke Banda dan Maluku singgah disitu dan membeli berbagai jenis kain, yang kemudian di jualnya di Banda dan maluku. Pulau itu juga mempunyai sedikit emas. Mata uang Jawa berlaku disitu.” (Cortesa, 1944: 203)
Selanjutnya, Pires menggambarkan jenis perdagangan yang dilakukan orang pribumi pada masa itu: “Oleh karena modal mereka kecil sedangkan awak perahu mereka budak, maka mereke memanjangkan pelayaran supaya lebih beruntung: dari Malaka mereka membawa barang ubtuk di jual di Jawa; di situ mereka membeli barang lain untuk dijual di Bima dan Sumbawa; dan disitu mereka membeli berbagai kain untuk dijual di Banda dan Maluku sebagai tambahan dari barang-barang Malaka yang tersisa.” (Maryam, 1999: 14). Boleh jadi karena pentingnya Bima, nama Bima lebih sering digunakan oleh orang Portugis dan Belanda untuk menyebut keseluruhan Pulau Sumbawa. Padahal di Sumbawa terdapat Kerajaan lain yakni Dompu, Sanggar, Pekat, dan Sumbawa.
Bima sekarang ini merupakan daerah yang terletak di Propinsi Nusa Tenggara Barat. Batas wilayah di sebelah utara Laut Flores, sebelah selatan Samudera Hindia sebelal timur Selat Sape, sedangkan batas sebelah barat adalah Kabupaten Dompu. Secara fisiografi terletak pada 117o 40’ BT – 19o 10’ BT dan 70o 30’ LS - 70o 91’ LS. (Haris, 1997: 5)
Mata pencaharian sebagian besar penduduk Bima adalah di bidang pertanian. Padi, jagung, kacang hijau, bawang, dan kemiri merupakan tanaman yang dihasilkan orang Bima. Kecuali padi dan jagung hasil lainnya diekspor ke luar daerah. Aspek pertanian orang Bima didukung oleh peternakan yang mempunyai makna penting. Kuda Bima adalah satu jenis kuda yang baik di Indonesia. Meskipun tubuhnya kecil, kuda Bima dapat memikul beban yang berat. Selain itu juga terdapat hasil hutan sepertikayu-sapan, pohon jarak , dan bingkuru, serta kenari. Begitu kayanya hasil kayu sapan, mendorong Speelmen mengadakan kontrak dengan Sultan Bima pada tahun 1669 dan kemudian pada tahun 1765 dimana dinyatakan bahwa hanya VOC saja yang boleh membeli komoditi tersebut. Masuknya kekuasaan VOC ke Bima ini tidak lepas dari hubungan dengan Makasar juga dipererat; selama satu abad sesudah Islamisasi, para raja Bima, mulai Sultan pertama sampai yang ke enam memperistrikan puteri-puteri Goa. Kira-kira pada awal abad ke-16 Kerajaan Bima mendapat pengaruh Islam dengan raja pertamanya Sultan Abdul Kahir. Pada masa ini susunan dan penyelenggaraan pemerintahan disesuaikan dengan tata pemerintahan Kerajaan Goa yang memberi pengaruh besar terhadap masuknya Agama Islam di Bima. Sultan Abdul Kahir adalah sultan pertama Bima, yang mulai memeluk Islam pada tanggal 7 Februari 1621 dan memerintah sampai tahu 1640.
Masyarakat Bima yang sekarang kita kenal merupakan perpaduan dari berbagai suku, etnis dan budaya, yang merupakan hasil dari kontak dengan berbagai budaya luar selama perjalanan sejarahnya. Baik itu dengan orang asing di luar Indonesia seperti India, Cina, Arab, dan bangsa Eropa, maupun penduduk pendatang yang berasal dari Sulawesi Selatan, Jawa, Madura, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur dan Maluku. Namun diantara penduduk Bima sekarang ini masih ada yang dianggap sebagai penduduk asli Bima yaitu yang dikenal dengan sebutan Dou Donggo (sebutan bagi Orang Donggo dalam bahasa Bima). Orang Donggo dikenal sebagai penduduk asli yang telah menghuni tanah Bima sejak lama. Mereka sebagian besar menempati wilayah pegunungan. Masyarakat Donggo terbagi menjadi dua yaitu Dou Donggo ele (Orang Donggo timur) mendiami Kecamatan Wawo Tengah (Wawo pegunungan) seperti Teta, Tarlawi, Kuta, Sambori dan Kalodu, dan Dou Donggo di (Orang Donggo barat) yang mendiami sebagian besar wilayah Kecamatan Donggo sekarang, dan lebih identik dengan sebutan masyarakat Donggo sekarang ini.
Pada awalnya, penduduk asli ini tidak semuanya mendiami wilayah pegunungan. Salah satu alasan mengapa mereka umumnya mendiami wilayah pegunungan adalah karena terdesak oleh pendatang-pendatang baru yang menyebarkan budaya dan agama yang baru pula, seperti masuknya pengaruh Hindu-Buddha ke Bima. Hal ini dilakukan mengingat masih kuatnya kepercayaan dan pengabdian mereka pada adat dan budaya asli yang mereka anut jauh-jauh hari sebelum para pendatang tersebut datang.  Kepercayaan asli nenek moyang mereka adalah kepercayaan terhadap Marafu (animisme). Kepercayaan terhadap Marafu inilah yang telah mempengaruhi segala pola kehidupan masyarakat, sehingga sangat sukar untuk ditinggalkan. Walaupun akhirnya seiring dengan makin gencarnya para penyiar agama Islam dan masuknya para misionaris Kristen menyebabkan mereka menerima agama-agama yang mereka anggap baru tersebut, namun kita dapat melihat kegigihaan masyarakat Donggo untuk menolak segala sesuatu yang dapat merusak tatanan tradisionalnya yang telah mereka miliki, apalagi bila hal tersebut sifatnya memaksa. Perang Kala yang terjadi pada tahun 1909 adalah bukti sikap keras masyarakat Donggo menentang intervensi kolonial yang semakin kuat terhadap kesulatanan Bima. Perang ini terjadi pada masa Sultan Ibrahim (1881-1915), di mana pada masa inilah dominasi kekuasaan Belanda makin terasa dan menekan rakyat. Perang Kala ini sulit untuk ditumpas dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama, selain krena sulitnya medan dengan konstur tanah yang terdiri dari gunung-gunung dan hutan yang masih terlalu asing bagi pasukan Belanda, juga karena kegigihan rakyat Kala, sehingga perang ini levelnya lebih tinggi dibanding dengan perang lain yang terjadi di Bima, maupun di Nusantara sekalipun karena walaupun pemimpinnya mati atau tertangkap, semangat perang rakyat masih tetap ada, karena perlawanan rakyat ini digerakkan oleh semangat untuk mempertahankan kampung halamannya sampai titik darah penghabisan.
Sebagaimana umumnya mata pencaharian masyarakat yang masih tergolong tradisional, mata pencaharian masyarakat Donggo pun terpaku pada berladang dan bertani. Walaupun kemudian berhadapan dengan kian gencarnya arus modernisasi, seiring itu pula pemahaman masyarakat akan kenyataan hidup berubah, terutama dalam hal pendidikan dan teknologi, namun nampaknya nilai-nilai tradisional yang mereka miliki masih tetap dipertahankan. Sistem kepercayaan terhadap Marafu tetap nampak dalam kehidupan religius masyarakat walaupun mereka telah memeluk agama Kristen maupun agama Islam (agama Islam adalah mayoritas masyarakat Donggo), begitupun juga dengan kepercayaan mereka terhadap sistem kekuasaan tradisional di bawah kesultanan Bima. Sikap keras masyarakat Donggo terhadap hal-hal yang dianggap dapat merusak sistem tradisional, dengan melakukan berbagai intervensi dan tekanan juga tetap dipertahankan. Hal ini, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru, dengan sistem sentralisasinya, di mana otoritas penguasa masuk ke desa-desa terpencil sekalipun dengan militer sebagai penyokongnya. Konsep pembangunan yang di bawa oleh pemerintahan Orde Baru yang selalu dikaitkan dengan modernisasi sehingga hal-hal yang berbau tradisional harus dihapuskan karena dianggap menghambat pembangunan, kemudian ditambah lagi dengan pengawasan politik yang demikian gencar, merupakan hal yang merongrong tatanan masyarakat tradisional. Terganggunya keseimbangan lama masyarakat tradisional ini tidak disangsikan lagi telah menimbulkan frustasi dan rasa tersingkir yang umum, dan perasaan-perasaan itu, jika dikomunikasikan, lalu berkembang menjadi keresahan dan kegelisahan yang meluas, kemudian mengarah pada munculnya suatu gerakan sosial.
Tekanan dari pemerintah Orde Baru inilah yang menyebabkan timbulnya gerakan masyarakat Donggo pada tahun 1972. Peristiwa ini berupa demonstrasi menentang pencabutan sultan sebagai penguasa di Bima sebagai puncak kekecewaan mereka terhadap intervensi terus-menrus dari pemerintah yang dianggap merusak tatanan tradisional yang selama ini selalu masyarakat Donggo junjung tinggi. Bentuk gerakan sosial ini tidak berwujud perlawanan fisik (misalnya pemberontakan) seperti yang banyak mewarnai bentuk protes yang biasa dilakukan oleh masyarakat tradisional di Indonesia melainkan dengan menggerakkan massa (masyarakat Donggo) untuk melakukan demonstrasi dengan harapan agar tuntutan mereka menjadikan kembali sultan sebagai penguasa atas Bima dapat dipenuhi. Hal ini menunjukkan kemampuan masyarakat Donggo yang mayoritas adalah petani dan tergolong masyarakat tradisional, walaupun menjungjung tinggi tradisinya, tetap mau menerima hal-hal baru sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai tradisional yang mereka punya (perilaku adaptif dari karifan lokal), jadi pertimbangan baik dan buruk bagi kehidupan bermasyarakat menjadi salah satu referensi mereka dalam memutuskan untuk menerima atau menolak hal-hal baru yang datang dari luar. Sehingga studi ini dipilih bukan karena besarnya pengaruh (konsekuensi-konsekuensi) dari gerakan sosial ini terhadap kebijakan pemerintah, melainkan sebagai suatu gejala yang khas dari perubahan sosial yang terjadi di Bima pada masa pemerintahan Orde Baru. Juga ditujukan untuk mengoreksi pandangan kebanyakan yang menganggap kaun tani bersifat masa bodoh, selalu penurut dan pasrah pada nasib.  Hal ini ditunjukkan oleh masyarakat Donggo, bahwa kaum tani mampu bergerak dan mengambil andil dalam memberikan tanggapan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap kurang sesuai dengan tatanan dan nilai-nilai yang mereka anut.
Berdasar alur pemikiran tersebut, maka sangat menarik kiranya untuk mengkaji dan meneliti tentang pererubahan sosial di Bima sebagai karena kebijakan pemerintah Orde Baru beserta dampak yang ditimbulkannya, dengan mengambil judul: “Gerakan Sosial Akibat Rusaknya Tatanan Tradisional: Reaksi Masyarakat Donggo Terhadap Runtuhnya Otoritas Kesultanan Bima Tahun 1972”. Tulisan ini memberikan gambarab tentang dampak dari dominasi Orde Baru terhadap masyarakat Donggo di satu pihat dan mengenai peranan rakyat biasa yang terdiri dari kaum tani menanggapi kebijakan yang sifatnya selalu saja top down dari pemerintah.

Rumusan Masalah    :
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalah dalam kajian ini dirumuskan sebagai berikut:
1.        Apa latarbelakang terjadinya peristiwa demonstrasi masyarakat Donggo tahun 1972?
2.        Bagaimana proses terjadinya demontrasi masyarakat Donggo tahun 1972 dan dampak yang ditimbulkannya?

Tujuan                  :
Dengan memperhatikan latar belakang dan beberapa rumusan masalah tersebut di atas maka tujuan utama kajian ini adalah sebagai berikut:
1.        Menjelaskan latarbelakang terjadinya peristiwa demonstrasi masyarakat Donggo tahun 1972.
2.        Mengnalisis proses terjadinya demontrasi masyarakat Donggo tahun 1972 dan dampak yang ditimbulkannya.

Manfaat                :
Penelitian ini, disusun dengan harapan dapat memberi manfaat:
1.       Bagi peneliti
a.       Merupakan kegiatan penerapan pengetahuan yang diperoleh selama di bangku kuliah dalam bentuk penelitian ilmiah.
b.      Menambah pengetahuan dan wacana baru tentang sejarah perjuangan rakyat Bima.
c.       Meningkatkan kemampuan bersosialisasi dengan masyarakat, khususnya para tokoh masyarakat Bima.
2.    Bagi jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang
a.       Menambah perbendaharaan karya ilmiah terutama tentang sejara lkcal yang terjadi di kabupaten Bima.
b.      Dapat dijadikan referensi untuk penelitian selanjutnya, terutama yang terkait dengan sejarah Bima.
3.      Bagi masyarakat umum, khususnya masyarakat Bima:
a.       Menambah pengetahuan tentang sejarah masyarakat Bima, yang selama ini terasa sangat kurang diangkat sebagai karya ilmiah.
b.      Menyadarkan masyarakat Bima, bahwa dulunya rakyat Bima juga mempunyai peran yang sangat besar dalam mengusir penjajah.

Untuk lebih lanjutnya…….
1.    Pastikan anda menjadi pengikut blog ini
2.    Kirim email ke: sangajimbojo@gmail.com atau ranggambojo@ymail.com
3.    Gabung di facebook dengan alamat email di atas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar