Rabu, 01 Juni 2011

UAS Sejarah Australia

klik judul untuk mendownload file lengkapnya

1.   Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan orientasi Australia untuk mencari payung ke Asia-Pasifik, yaitu:
a.    Faktor ekonomi – kepentingan kaum produsen primer di pedesaan Australia untuk menghabisakn surplus gandum yang tersedia sebagai akibat terhentinya ekspor Asutralia ke Inggris, yang bergabung dengan MEE. Setelah Inggris bergabung dalam MEE, Australia sebagai negara yang berada di luar kawasan Eropa (bukan anggota MEE) tidak bisa lagi langsung memasarkan barang-barang eksporya ke Inggris, tetapai harus melalui MEE sehingga barang-barang yang berasal dari Australia untuk dapat masuk ke Eropa (terutama Inggris) harus membayar pajak proteksi yang tinggi. Oleh sebab itu, Australia mulai memusatkan perhatiannya ke negera-negara yang berada di kawasan Asia-Pasifik sebagai pasar barang-barang ekspornya.
b.   Faktor geografis – Autralia adalah negara yang kaya akan sumber alam tetapi lokasinya terisolasi dan berpenduduk jarang sehingga perdagangan luar negeri merupakan kepentingan nasional Australia yang utama (Australia menggantungkan perekonomiannya pada perdagangan luar negeri). Oleh sebab itu kebijakan luar negerinya ditujukan untuk mengamankan dan menstabilkan jalur-jalur distribusi utama perdagangan negerinya. Dan untuk tujuan ini diperlukan usaha untuk membina hubungan baik dengan negara-negara Asia pada umumnya dan Asia Tenggara pada khususnya, agar lalu-lintas perdagangannya bisa lancar.
c.    Faktor pertahanan dan keamanan – bila memperhatikan letak Australia, maka dapat dilihat betapa pentingnya pulau-pulau di Pasifik Selatan, New Guinea, dan termasuk juga Indonesia sebagai penyangga utamanya, sehingga bermakna strategis dalam sistem pertahanan Australia (sebagai benteng pertahanan dari invansi musuh). Hal ini juga sekaligus menjadi titik lemah dan sumber kekhawatiran pemerintah Australia bila pulau-pulau di utara ini dikuasai musuh. Dengan belajar dari sejarah ketika mempercayakan keamanannya ke tangan Inggris yang ternyata tidak mampu menahan serangan Jepang yang menduduki  kepulauan di Pasifik Selatan ketika pecah PD II, maupun ketika membuat pakta pertahanan bersama dengan Selandia Baru dan AS yang mendapat berbagai masalah terutama pada masa perang dingin, di mana sering menyebabkan renggangnya hubungan Australia dengan AS, ditambah lagi dengan adanya doktrin Guam yang diterapkan AS telah mengurangi keterlibatan AS dalam masalah-masalah keamanan Kawasan Pasifik Selatan, menyebabkan Australia harus mampu mengusahakan pertahanan dan keamanannya secara lebih mandiri (tidak terlalu menggantungkan diri pada yang letaknya jauh seprti yang dilakukan sebelumnya, yaitu menggantungkan diri pada Inggris maupun AS). Oleh sebab itu Australia mulai memperhatikan wilayah kepentingan strategisnya di Pasifik Selatan, dan menempatkan pulau-pulau di kawsan Pasifik Selatan ini sebagai kunci kebijakan pertahanannya terhadap serangan dari luar, seperti dengan berusaha untuk selalu membina hubungan baik dengan Indonesia.
d.   Faktor kondisi negara-negara di kawasan Asia-Pasifik sendiri – berbagai perubahan yang terjadi pada negara-negara Asia juga turut memberikan pengaruh terhadap perubahan politik luar negeri Australia sehingga lebih memperhatikan dan membina berbagai kerja sama dengan negara-negara di Asia-Pasifik. Seperti perubahan arah politik Cina yang tidak lagi mencampuri urusan dalam negeri negara lain membuat Australia merasa lebih nyaman untuk membina hubungan kerja-sama dengan negara-negara Asia, selain itu munculnya Jepang sebagai kekuatan baru baik dari segi ekonomi maupun politik yang mampu bersaing dengan negara-negara Eropa, dan juga kemajuan yang terjadi di negara-negara Asia Tenggra seperti Indonesia, Singapura, maupun Thailand, menyebabkan Australia mampu memasarkan barang-barang ekspornya ke negara-negara Asia (tidak lagi harus menggantungkan diri pada perdagangan dengan negara-negara Eropa).

2.   Kesulitan mecari jarak yang tegas (beda ideologi yang tidak jelas) antara Partai Buruh dan Partai Liberal dalam kehidupan politik praktis di Australia karena kepartaian Australia hanya sedikit yang membicarakan ideologi. Sebab spektrum ideologis partai-partai politik yang terwakili dalam parlemen agak sempit jaraknya. Hal ini disebabkan karena melihat dari realitas dalam masyarakat Asutralia, di mana baik partai-partai yang mewakili ideologi ekstrim kiri, maupun partai yang bersifat nasional-sosialis ekstrim kanan, tidak pernah memperoleh dukungan yang cukup untuk menempatkan wakil-wakilnya dalam parlemen. Sehingga yang tercermin dalam partai politik yang berhasil memperoleh perwakilan dalam parlemen (seperti Partai Buruh dan Partai liberal) adalah: lebih bersifat sindikat, dimana mereka lebih menempatkan diri untuk melayani kepentingan-kepentingan tertentu daripada hanya terpaku pada ideologi tertentu; mereka (partai politik) hanya memikirkan bagaimana untuk memperoleh suara agar bisa menang dalam pemilu (golongan mayoritas adalah kaum menengah) sehingga yang diusahakan adalah mencapai titik tengah dalam spektrum politik dan dengan sengaja bermain-main dengan ideologi; jadi gaya ideologi hanya merupakan jalan untuk memperoleh posisi tawar dan kompromi; serta kenggotaan partai-partai politik di Australia memperlihatkan suatu ideologi yang luas, sehingga menyulitkan untuk menempatkan seluruh anggota partai ke dalam suatu ideologi tertentu. Oleh sebab itu, walaupun secara umum dalam sistem kepartaian Australia hanya ada dua kutub ideologi, yaitu Partai Buruh di kiri dan Koalisi Partai Liberal-Nasional di kanan, namun jarak ideologi antara keduanya hampir-hampir tidak ada.
a.    Partai Buruh menetapkan dirinya berideologi sosialis-demokrat, tetapi ideologi para anggotanya berjarak dari faksi-faksi “sosialis kiri” radikal yang kecil dan bertumpu kepada faksi “tengah” yang lebih moderat, yang pandangan-pandangannya hampir tidak dapat dibedakan dengan beberapa anggota Partai Liberal. kebijakan-kebijakan partai ini juga cenderung berciri liberal. Meskipun ada elemen-elemen komunis dalam Partai Buruh, namun terdapat ketakutan akan bahya komunis di sebagian besar anggota partai ini. Bahkan, serikat-serikat buruh pembentuk dan pendukung partai ini, sehubungan dengan kemajuan ekonomi Australia, telah menempatkan dirinya sebagai golongan menengah yang sukses.
b.   Partai Liberal, yang berideologi liberal, sebagian besar anggotanya adalah kaum konservatif, sedangkan kaum liberal hanyalah kelompok minoritas dalam partai ini. Oleh karena itu, sebagian besar kebijakan Partai Liberal lebih bersifat konservatif, dan kurang berani mengambil inisitif perubahan-perubahan dalam sistem politik. Partai Liberal cenderung mempertahankan kemapanan para anggotanya, yang terdiri dari kaum industrialis, dan mitra koalisinya yang terdiri dari pengusaha produk primer di pedesaan.

3.   Pidato John Howard bertema “Tolerransi Rasial” (30 Oktober 1996) yang menjadi salah satu acuan penerapan kebijakan Multikulturalisme di Australia. Pada masa kekuasaan Perdana Menteri John Howard yang merupakan pemerintahan Koalisi Liberal-Nasional, persoalan perdagangan luar negeri tetap menjadi kepentingan utama Australia. Karena itulah membina hubungan baik dengan negara-negara Asia adalah prioritas utama PM John Howard, karena negara-negara Asia lah yang menjadi tumpuan ekonomi Australia yang mengandalkan perdagangan luar negeri setelah adanya proteksi dari negara­-negara Eropa (terutama Inggris yang sebelumnya menjadi pasar bagi barang-barang ekspor Australia) yang tergabung dalam MEE. Oleh sebab itu hubungan Australia dengan Asia yang sempat terganggu dengan munculnya masalah rasis di Australia sehubungan dengan munculnya Partai Satu Bangsa atau ONP yang menunjukkan sikap anti-ras Asia dan anti-modal asing dari Asia dan juga anti-Aborigin yang dilontarkan pendiri ONP, Pauline Hanson, bukan hanya menciptakan gangguan terhadap keharmonisan selama ini tetapi juga menciptakan kekhawatiran bagi perkembangan ekonomi Australia dengan mitra-mitra dagang Asianya, berusaha untuk diperbaiki oleh PM John Howard. Tuduhan bermunculan yang menyatakan PM John Howard adalah seorang rasis juga karena telah memberikan momentum berkembangnya rasisme dengan pesat. Namun ketika PM John Howard dituntut oleh kalangan terkemuka Asia untuk menunjukkan sikapnya terhadap Hanson, dia mengatakan: “ini adalah negara demokrasi dan siapa saja bebas menyatakan pendapatnya”. Dan untuk memberikan tanggapan terhadap berbagai kekhawatiran akan bahaya rasis inilah PM John Howard membacakan pidatonya yang bertema “Toleransi Rasial” guna kembali membina hubungan baik terutama dengan negara Asia mitra dagangnya yang tegang akibat ancaman rasis dari Hanson. Dalam pidatonya ini PM John Howard menjelaskan tentang komitmen dari pemerintahannya untuk menjaga dan mempertahankan kebudayaan Australia yang justru menarik karena keberagaman dalam masyarakat Australia. PM John Howard juga mempertegas bahwa heterogenitas masyarakat Australia karena banyaknya imigran yang masuk ke Australia dari berbagai bangsa baik Eropa, Amerika, maupun Asia telah memberikan kontribusi yang besar dalam memperkaya negara dan kehidupan di Australia. Imigran yang datang ke Australia dari berbagai latar belakang telah membawa serta berbagai budaya yang semakin memperkaya budaya Australia. Oleh sebab itu seluruh masyarakat Australia diharapkan dapat hidup rukun dan saling bertoleransi dengan segala perbedaan, sehingga tetap tercipta kesatuan dan persatuan masyarakat guna bersama-sama memajukan Australia. Australia adalah negara yang menjujung tinggi kebebasan dan hak asasi manusia, sehingga segala ras mendapat pengakuan di Australia, dan semua orang di Australia mendapatkan hak dan kewajiban yang sama tanpa mempersoalkan perbedaan ras dan etnik. Dan segala hal baru yang masuk bersama para imigran akan diterima sepanjang hal tersebut bermanfaat untuk kemajuan dan masa depan Australia yang lebih baik, serta diambil sisi positifnya sebagai sesuatu yang dapat memperkaya budaya Australia. Selain itu, untuk menutupi luka-luka sebagai akibat berkembangnya isu rasime dan membina hubungan dengan bangsa-bangsa Asia, PM John Howard kembali mengembangkan gagasan multi-cultural society di Australia segera setelah kemenangan kembalinya pada pemilu 1998, dengan mengadakan pameran multi-cultural society  yang secara resmi dibuka pada 22 Oktober 1998, yang tujuannya senada dengan isi pidatonya di atas yaitu sebagai pencerminan bahwa dirinya mengakui keberadaan ras lainnya di luar ras kulit putih di Australia.

4.   Latar belakang dukungan Australia pada Revolusi Nasional Indonesia (1945-1949) adalah rasa simpati terhadap perjuangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaannya, seperti yang dinyatakan oleh Menteri Luar Negeri Australia, Dr. Herbert Vere Evatt (yang merupakan pentolan faksi komunis di dalam Partai Buruh yang bersimpati kepada mereka yang berjuang melawan penindasan, dan kepeda bangsa-bangsa yang tertindas sehingga ia memiliki semangat yang tinggi dalam memperjuangkan hak asasi internasional dan sangat mendukung perjuangan rakyat di wilayah jajahan yang menginginkan kemerdekan). Dukungan dan simpati juga diberikan oleh kaum buruh galangan kapal Australia yang diwujudkan dengan melarang semua kapal Belanda memasuki perairan Australia, di mana saat itu Belanda menggunakan Australia sebagai pelabuahan untuk menguasai kembali Indonesia melalui tindakan militer. Selain itu kenyataan bahwa Inggris tidak dapat diandalkan sebagai pelindung pertahanan Australia ketika Jepang mampu menggerakkan pasukannya untuk menduduki pulau-pulau di utara Australia ketika PD II meletus di wilayah Pasifik yang sangat membahayakan kedudukan dan membuat Australia memandang penting kepulauan-kepulauan di Pasifik Selatan (termasuk juga Indonesia) sehingga membina hubungan baik terutama dengan Indonesia yang merupakan tetangga terpenting bagi Australia, karena lokasinya yang mampu mengisolasi Australia dan merupakan bentuk negara kepulauan yang besar dengan jumlah populasi yang besar pula. Bentuk dukungan Australia pada Revolusi Nasional Indonesia (1945-1949), yaitu:
a.    Di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Chifley Australia dan Menteri Luar Negerinya Dr. Herbert Vere Evatt, Australia ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di dunia Internasional yang merupakan wujud perhatian politik luar negerinya. Demikian pula peran yang dimainkan simpatisan kaum nasionalis Indonesia, yang menjabat sebagai wakil tetap Australia di PBB, yaitu Hakim (kemudian menjadi Sir Richard) Kirby dan wakilnya Tom Critchley.
b.   Australia yang menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DK) PBB, mengecam aksi militer Belanda pada 20 Juli 1947 sebagai aksi polisionil yang berusaha merebut kembali kekuasaan Republik Indonesia, padahal secara de facto telah diakui atas wilayah Jawa, Madura, dan Sumatera berdasarkan perjanjian Linggarjati yang disetujui pada 15 November 1946.
c.    Serikat buruh pelabuhan Australia terutama Waterside Worker Federation kembali mengadakan boikot dan pelarangan terhadap kapal-kapal Belanda yang membawa persenjataan untuk dikirim kepada militer Belanda di Indonesia.
d.   Wakil-wakil Australia di PBB mengusulkan dan mengajukan negaranya untuk bertindak sebagai arbitrase di dalam persoalan Indonesia Belanda, namun di tolak, walaupun demikian Australia memperoleh kepuasan karena terpilih menjadi anggota Komisi Jasa-jasa Baik (Good Offices Committe–GOC) oleh pihak RI.
e.    Peran Australia dalam GOC sangat kritis dalam memperjuangkan kemerdekaan RI, yang tercermin dengan disepakatinya Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948 antara RI dan Belanda. Melalui keanggotaannya dalam United Nations Committe on Indonesia (UNCI), Australia mendesak dua negara anggota lainnya, terutama AS, agar merundingkan penyelesaian terakhir sesuai dengan persetujuan tersebut. Akhirnya kedaulatan Indonesia diserahkan dari Belanda ke RI melalui Konferensi Meja Bundar pada 27 Desember 1949 – Jadi boleh dikatakan sebagain dari pengakuan dunia internasional terhadap kemerdekaan dan kedaulatan RI atas wilayah-wilayahnya disebabkan oleh peranan Australia, dan Australia pula lah yang kemudian mensponsori Indonesia untuk menjadi angggota PBB yang ke-50.

5.   Alasan keberatan Australia bila Irian Barat menjadi wilayah RI yang menyebabkan memburuknya hubungan Indonesia-Australia, yaitu:
a.    Pergantian pemerintahan di Australia dari Partai Buruh kepada koalisi Partai Liberal-Country sejak 1949 menyebabkan perubahan politk luar negeri Australia kepada sikap-sikap yang pro-Barat, sehingga dalam masalah Irian Barat (kemudian menjadi Irian Jaya), Australia lebih mendukung Belanda yang merupakan negara blok-Barat, dari pada Indonesia yang pada masa itu lebih cenderung ke blok-Timur.
b.   Setelah invasi Jepang ke pulau New Guinea (Irian Barat dan Irian Timur) pada masa PD II, masyarakat dan Pemerintah Australia lebih meyakini bahwa pulau tersebut sangat penting bagi keamanan Australia. Sehingga Australia merasa keamanan wilayahnya lebih terjamin bila pulau tersebut berada di bawah kekuasaan Belanda sebagai sesama kulit putih dan berada dalam satu kubu bangsa Barat, daripada diserahkan kepada Indonesia yang baru merdeka.
c.    Sikap keras Indonesia dalam menghadapi masalah Irian Barat dengan mengerahkan kesatuan-kesatuan militer untuk menguasai Irian Barat dan sikap agresif Presiden Soekarno yang menggalang kekuatan dunia ketiga, sikap anti-Barat yang ditunjukkan Presiden Soekarno yang membina hubungan persahabatan dengan negara-negara yang berideologi sosialis komunis, serta munculnya PKI sebagai salah satu dari empat kekuatan besar di Indonesia melalui pemilu 1955 yang selalu mendukung garis kebijakan luar negeri Presiden Sokarno yang kekiri-kirian (lebih condong ke blok-Timur), membuat Australia merasa yakin mengenai pentingnya Irian Barat berada dalam kekuasaan Belanda.
d.   Kekayaan alam yang melimpah ruah yang dimiliki oleh Irian Barat merupakan faktor yang menggiurkan negara manapun untuk dapat memilikinya. Sehingga Belanda tetap ingin menguasai wilayah ini, dan tidak terlepas kemungkinan bahwa Australia juga mempunyai ambisi atas kekayaan alam yang terdapat di Irian Barat ini.
e.    Masih adanya rasa curiga dan kecemasan dari Australia atas Indonesia, yang dianggap sebagai suatu ancaman paling potensial bagi Australia. Hal ini tidak lepas dari letak Indonesia sebagai negara kepulauan yang besar di utara Australia sehingga mempunyai peluang untuk mengisolasi Australia dari dunia luar (memutus hubungan perdagangan internasional yang menjadi tulang-punggung perekonomian Austarlia) dan juga mampu mengancam Autralia karena jumlah penduduk Indonesia jauh lebih besar daripada Australia. Selain masalah untuk kepentingannya sendiri, posisi Australia sebagai pemimpin regional dari wilayah di Pasifik Selatan, menyebabkannya menolak  masuknya Irian Barat menjadi bagian dari wilayah RI, yang bisa saja mengancam keamanan negara-negara kepulauan di Pasifik Selatan di sebelah timur Irian Barat (mulai dari Papua New Guinea, Kaledonia Baru, Fiji, dll).

Sumber Bacaan:
Hamid, Zulkifli. 1999. Sistem Politik Australia. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Hardjono, Ratih. 1992. Suku Putihnya Asia: Perjalanan Australia Mencari Jati Dirinya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Rifai, Amzulian. 1994.  Pengantar Konstitusi Australia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Siboro, J. 1989. Sejarah Australia. Jakarta: DEPDIKBUD.
Tangkuman. 1984. Sejarah Australia Sejak Tahun 1606.  Malang: IKIP Malang.
http://www.australia.gov.au/Our_Government, diakses tgl, 3 Juni 2010, jam: 16.00 WIB.


Untuk lebih lanjutnya…….
1.    Pastikan anda menjadi pengikut blog ini
2.    Kirim email ke: sangajimbojo@gmail.com atau ranggambojo@ymail.com
3.    Gabung di facebook dengan alamat email di atas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar