Rabu, 01 Juni 2011

Sejarah Sosial

klik judul untuk mendownload file lengkapnya

A.  Pengertian
Menurut Kartodirdjo (1993: 50) yang mengartikan sejarah sosial secara
luas, menganggap setiap gejala sejarah yang memanifestasikan kehidupan sosial
suatu komunitas atau kelompok, dapat disebut sejarah sosial.
Dalam perkembangannya sejarah sosial mendapat konotasi yaitu sebagai
sejarah perjuangan kelas pada umumnya, dan berdekatan dengan arti tersebut ialah
sejarah sosial sebagai sejarah gerakan sosial, antara lain mencangkup gerakan serikat
buruh, gerakan kaum sosialis, gerakan kaum nasionalis, gerakan emansipasi wanita,
gerakan nati perbudakan dan lain sebagainya. Gerakan sosial (social movement)
sebagai gejala sejarah senantiasa menarik karena di dalamnya terdapat proses
dinamis dari kelompok dari kelompok sosial yang dimobilisasi oleh tujuan ideologis,
terutama pada fase gerakan itu belum melembaga secara ketat sebagai organisasi
formal. Aspek prosesual juga sangat menonjol dalam  sejarah sosial seperti sejarah
urban (kota) yang mencangkup proses urabanisasi, mobilitas penduduk, kriminalitas,
dan masalah sosial lainnya, sejarah bisnis, rekreasi, kesenian, dan lain sebagainya.
Sebagai pusat dinamika sosial, kota sudah barang tentu kaya raya akan datanya.
Sejarah Revolusi sudah barang tentu pada umumnya berpusat di kota-kota. Gerakan
massa berlokasi di kota pula.
 Banyak sejarah sosial juga memuat segi struktural  di samping segi
prosesual. Apabila proses-proses sosial melembaga pada fase tertentu dalam
pertumbuhannya, maka akan tampil strukturasi dan alhasil ialah stratifikasi.
Mengenai proses dan struktur atau segi prosesual dan segi struktural sebenarnya ada
di dalam sejarah sosial. Pada umumnya kedua-duanya  terdapat di dalamnya, lebih-
lebih kalau yang dideksripsikan menyangkut masalah perubahan sosial, mau tak mau
kedua aspek akan dijumpai secara silih berganti. Di mana dalam perubahan sosial
banyak inovasi terjadi sebagai dampak introduksi nilai, sistem, komoditi, teknologi
baru, sehingga proses penerimaan atau adaptasi terhadap kehadirannya menuntut
perubahan pola kelakuan. Proses pembudidayaan atau  pelembagaannya senantiasa
makan waktu dan tidak jarang penuh ketegangan, keresahan, konflik dan benturan,
sehingga proses menonjol atau segi prosesual dalam  dekskripsi yang diutamakan.
Sebaliknya, dalam masa penuh kestabilan dan ekuilibrium sosial,  yang menonjol
sudah barang tentu lembaga-lembaga sosial, seperti  negara, sistem pemerintahan,
lembaga-lembaga pemerintahan, pelayanan, dan fasilitas, sehingga struktur yang
nampak jelas.
Sebenarnya proses dan struktur terjalin erat satu sama lain. Dapat dikatakan
bahwa proses adalah aspek dinamis dari struktur, sedangkan struktur adalah aspek
statis dari proses. Proses sejarah senantiasa bergerak antara keduanya, segi proses
mengarah ke pelembagaan atau strukturasi, sedang strukturasi adalah pengendapan
proses sebagai institusi atau lembaga. Sejarah deskriptif-naratif pada hakikatnya
hanya memberi gambaran segi prosesual, urutan kejadian, dan bagaimana
perkembangan peristiwa mewujudkan unit prosesual tertentu. Dalam sejarah
konvensional tidak dikenal uraian segi struktural secara eksplisit. Hal ini baru
muncul dalam sejarah baru dengan pendekatan ilmu sosial, di antaranya ada yang
disebut sejarah analisis struktural atau  historical sociology (semacam analisis
sosiologis tentang masyarakat kuno, studi tentang golongan sosial tertentu di masa
lampau)
B.  Ruang Lingkup
Seperti yang dijelaskan di atas, dalam pengertian sejarah sosial selain meneliti
masyarakat secara total atau global, tema-tema seperti sebuah kelas sosial, peristiwa-
peristiwa sejarah, institusi sosial maupun fakta-fakta sosial seperti kemiskinan, 
kekerasan, kriminalitas dll, juga merupakan bagian dari sejarah sosial (Kuntowijiyo,
1994: 33-34). Tulisan Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, “Pemberontakan Petani Banten
1888” yang diterbitkan tahun 1984 barangkali merupakan sejarah sosial pertama
yang ditulis dalam historiografi Indonesia.
Adapun manifestasi kehidupan sosial beraneka ragam, seperti kehidupan
keluarga beserta pendidikannya, gaya hidup meliputi pakaian perumahan, makanan,
perawatan kesehatan, segala macam bentuk rekreasi,  seperti permaianan, kesenian,
olah raga, peralatan, upacara, dan lain sebagainya. Dengan demikian, ruang lingkup
sejarah sosial sangat luas oleh karena hampir segala aspek hidup mempunyai dimensi
sosialnya. (Kartodirdjo, 1993: 50)
Lauer (1993: 6) memabagi tingkat kehidupan manusia  dalam kehidupan
sosialnya dengan ruang lingkup sebagai berikut:
•  Global  → organisasi internasional, ketimpangan internaional  → GNP, data
perdagangan.
•  Peradaban  → lingkungan kehidupan peradaban atau pola perubahan lain
(misalnya evolusioner dan dialektika) → inovasi ilmiah, kesenian dan inovasi
lain-lain, institusi sosial.
•  Kebudayaan → kebudayaan material, kebudayaan non material → teknologi,
ideologi, nilai-nilai.
•  Masyarakat → sistem stratifikasi, struktur, demografi, kejahatan → pendapatan,
kekuasaan, dan gengsi, peranan, tingkat migrasi, tingkat pembunuhan.
•  Komunitas → sistem stratifikasi, struktur, demografi, kejahatan → pendapatan,
kekuasaan dan gengsi, peranan, tingkat migrasi, tingkat pembunuhan.
•  Institusi  → ekonomi, pemerintahan, agama, perkawinan dan keluarga,
pendidikan → pendapatan keluarga, pola pemilihan umum, jemaah gereja dan
masjid, tingkat perceraian, proporsi penduduk di perguruan tinggi.
•  Organisasi  → struktur, pola interaksi, struktur kekuasaan, produktivitas  →
peranan klik persahabatan, administrasi/tingkat produksi, output per pekerja.
•  Interaksi  → tipe interaksi, komunikasi  → jumlah konflik, kompetisi atau
kedekatan, identitas keseringan dan kejarangan pertisipasi interaksi.
•  Individu → sikap → keyakinan mengenai berbagai persoalan, aspirasi.
C.  Metode Yang Digunakan
Bila kebanyakan ilmu-ilmu sosial menggunakan model sinkronis yang lebih
mengutamakan lukisan yang meluas dalam ruang dengan tidak memikirkan terlalu
banyak tentang dimensi waktu, namun bila dikaitkan  dengan sejarah maka harus
tetap memasukkan model diakronis yang menawarkan bukan saja sebuah struktur
dan fungsinya, melainkan suatu gerak dalam waktu dari kejadian-kejadian yang
kongkret harus menjadi tujuan utama dari penulisan  sejarah. Dengan kata lain
merupakan sebuah model dinamis, yang merupakan model perkembangan diakronis
dengan melihat kepada bahan-bahan dan aktualitasnya, oleh karena pertumbuhan
sejarah suatu masyarakat tertentu tentu mempunyai jalan yang berbeda di samping
persamaan yang mungkin ada maka untuk setiap masyarakat perlu adanya model
tersendiri.
Secara singkat dapat ditegaskan perbedaan berbagai  jenis sejarah sebagai
berikut: di mana unsur-unsur naratif paling menonjol (dominan) lazimnya tergolong
sebagai sejarah deskriptif-naratif. Pada ujung lain terdapat sejarah deskriptif-analitis
yang lebih menonjolkan analitis. Jadi terdapat variasi-variasi penekanan segi naratif
atau segi analitis. Seorang sosiolog lebih menonjolkan segi analitis sementara sejarah
juga harus dibumbui oleh narasi, jadi dalam penulisan sejarah sosial yang digunakan
dalam metode naratif-analitis.
Dalam tulisan Kartodirdjo (1984) mengenai “Pemberontakan Petani Banten
1888” misalnya, dapat kita lihat sebagaimana umumnya “sejarah baru”, telah
digunakan pendekatan-pendekatan yang memanfaatkan teori dan konsep ilmu-ilmu
sosial, sehingga mempunyai kemampuan menerangkan yang lebih jelas.
Perlu dicatat bahwa perkembangan historiografi ternyata disuburkan oleh
rangsangan kuat setelah dicipatakan metode baru ini. Ternyata produkvitasnya
menanjak, lagi pula dengan demikian dapat mempertahankan otonominya serta
eksistensinya di tengah-tengah pertumbuhan pesat ilmu-ilmu lainnya. (Kartodirdjo,
1993: 54)
Contoh:
Tulisan Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo tentang “Pemberontakan Petani
Banten 1888”, merupakan salah satu tulisan tentang sejarah sosial atu lebih spesifik
lagi tentang suatu gerakan sosial. Kartodirdjo (1984: 25), menganggap salah-satu
pokok persoalan yang jelas-jelas memperlihatkan saling ketergantungan yang aktual
atau potensial antara sejarah dan sosiologi adalah  gerakan sosial. Sehingga
menurutnya pemilihan atas topik ini memberikan kesempatan yang luas untuk
mengkombinasikan kedua garis penyelidikan, namun tetap pendekatan historis yang
lebih diutamakan, sementara pendekatan sosiologis terbatas pada penggunaan
konsep-konsep sosiologis, baik sebagai kriteria selektif dalam penyusunan data-data
maupun dalam penyusunan tutunan historis.
Pemberontakan tahun 1888 yang ditulis  oleh Kartodirdjo ini, seperti telah
disebutkan diatas merupakan gerakan sosial (salah satu bahan kajian sejarah sosial)
yang terjadi di distrik Anyer di ujung barat laut Pulau Jawa dealam jangka waktu
yang relatif singkat, yaitu dari 9-30 Juli. Namun, walaupun ruang lingkup penelitian
ini, hampir seluruhnya hanya mengenai gerakan sosial di Banten abad XIX saja, di   5
mana pembatasan ini dilakukan dengan alasan agar penyelidikan ini akan lebih
bermanfaat jika terbatas pada satu daerah saja yang jelas batas-batasnya secara
geografis dan kultural. Dan tujuannya tidak hanya untuk melukiskan apa yang terjadi
dan kapan, melainkan juga bagaimana dan apa sebabnya hal itu terjadi. (Kartodirdjo,
1984: 23)
Sementara itu Kartodirdjo (1984: 41), menjelaskan dalam  studinya ini
pendekatan faktor sebagai pelengkap analisa proses, yang memperbedakan tahap-
tahap perkembangan menurut urutannya. Pada bab-bab  awal pendekatan proses
diberi tekanan, sedangkan bab terakhir membahas aspek analitis dari gerakan itu.
Jadi model yang digunakan dalam buku ini adalah naratif-analitis. Disiplin lain,
seperti sosiologi, antropologi sosial, ilmu politik, dan juga ekonomi berada pada
kedudukan yang lebih baik untuk menganalisa fenomena gerakan-gerakan sosial,
karena diharapkan dengan menggunakan pendekatan yang multi-dimensional ini
untuk memperkaya pembahasan historis masalahnya. Namun unsur-unsur sosiologis
sebagai salah satu ilmu bantu dalam tulisan ini, nampaknya memainkan peran yang
lebih dominan, spesialisasi dalam sosiologi seperti sosiologi desa dan penjelasan
sosiologi agama; konsep-konsep sosiologi seperti perubahan sosial dan gejala-gejala
yang menyertainya-konflik sosial, mobilitas sosial, disorganisasi dan reintegrasi
sosial, yang berujung pada gerakan sosial dengan unsusr-unsur esensialnya seperti
tujuan, ideologi, kohesi golongan, organisasi dan taktik–digunakan dalam tulisan ini
untuk menganalisis tentang latarbelakang terjadinya pemberontakan petani di Banten
tahun 1888.

DAFTAR PUSTAKA
Kartodirdjo, Sartono. 1984.  Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Kartodirdjo, Sartono. 1993.  Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Lauer, Robert H. 1993. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.



Untuk lebih lanjutnya…….
1.    Pastikan anda menjadi pengikut blog ini
2.    Kirim email ke: sangajimbojo@gmail.com atau ranggambojo@ymail.com
3.    Gabung di facebook dengan alamat email di atas

1 komentar: