Rabu, 01 Juni 2011

UAS Sejarah Indonesia Baru II

klik judul untuk mendownload file lengkapnya

1.   Ciri-ciri paling menonjol dari perlawanan daerah abad XIX di daerah-daerah:
a.      Perlawanan Aceh
Aceh merupakan salah satu kerajaan di Nusantara yang kuat dan masih tetap bertahan hinga abad ke-19. Pada bulan Maret 1873, perangnya ke Kutaraja atau Banda Aceh di bawah pimpinan Jendral Kohler, berusaha merebut dan menduduki ibu kota dan Istana Kerajaan Aceh. Kerajaan Aceh berhasil, tetapi dalam pertempuran tersebut Jendral Kohler  tewas tertembak. Mengawali terjadinya perang Aceh yang berkepanjangan mulai tahun 1873 sampai 1904. pasukan Belanda melaksanakan operasi Konsentrasi Stelsel sambil menggertak para pemimpin Aceh agar menyerah. Beberapa pimpinan utama Aceh seperti Teuku Cik Di Tiro, Cut Nya’ Din, Panglima Polim, dan Cut Meutia (bersama-sama dengan rakyat Aceh) untuk melancarkan serangan umum.
Pada bulan Desember 1873, Belanda mengirim pasukan perang ke Aceh dengan kekuatan 8.000 personil dibawah pimpinan Mayor Jendral Van Swiesten. Akan tetapi upaya Belanda untuk menawan Sultan Mahmud Syah belum berhasil karena Sultan beserta para pejabat kerajaan telah menyingkir ke Luengbata. Setelah Sultan Mahmud Syah meninggal karena sakit, ia digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Muhammad Daudsyah.
Setelah Tengku Cik Di Tiro  sebagai pemimpin utama Aceh Wafat. Pucuk pimpinan dilanjutkan oleh Teuku Umar dan Panglima Polim. Pada tahun 1893, Teuku Umar beserta pasukannya memanfatkan kelengahan Belanda dengan tujuan mendapatkan senjata. Disambut baik dan mendapat gelar Teuku Johan pahlawan. Pada tahun 1896, Teuku Umar bergabung kembali dengan rakyat Aceh dengan membangun markas pertahanan Meulaboh.
Peristiwa Teuku Umar yang berhasil menyiasati Belanda dipandang sebagai kesalahan besar Deykerhoff sebagai gubernur militer. Digantikan oleh Jendral Van Heutsz. Belanda memeberi tugas kepada Dr. Snock Hurgronje  untuk menyelidiki perilaku masyarakat Aceh. Dr. Snock Hurgronje  dalam menjalankan tugasnya menggunakan nama smaran, yaitu Abdul gafar.
Untuk mengalahkan Aceh, lebih cepat dan tepat, Belanda menggunakan Strategi sebagai berikut :
1.   menghancurkan dan menangkap seluruh  pemimpin dan ulama dari pusat
2.   membentuk pasukan gerak cepat (marschose marechausse)
3.   semua pemimpin dan ulama yang tertangkap harus menandatangani perjanjian
4.   setelah melakukan operasi militer, Belanda mengikuti kegiatan perdamaian rehabilitasi (pasifikasi)
5.   bersikap lunak terhadap para bangsawan.
Atas usulan Dr. Snock Hurgronje, pemerintah Belanda memberi tugas kepda Jendral militer Van Heutsz. Pada tahun 1899, terbentuk pasukan gerak cepat pimpinanVan Heutsz, yang akhirnya dapat mematahkan perang Aceh.
Dari uraian sekilas tentang jalannya perang Aceh dan lamanya waktu yang diperlukan untuk mematahkan perang Aceh. Selain dengan semboyan perang Sabil yaitu perang melawan belanda yang kafir, yang mengobarkan semangat rakyat, juga karena adanya kesatuan antara pemimpin adat/Uleebalang (Uamra’) dengan pemimpin agama (Ulama), kesatuan antara kedua unsur inilah yang membuat kekuatan Aceh sangat kokoh. Mulanya para Uleebalang ini berjalan berdampingan dalam struktur pemerintahan kerajaan Aceh. Namun rahasia kekuatan Aceh melaui penelitian dan pendekatan terhadap rakryat Aceh dengan menggunakan anropolognya seperti Dr. Snock Hurgronje akhirnya diketahui oleh Belanda yang sejak lama ingin menanamkan hagemoninya atas Aceh, sehinngga berada di bawah kekeuasaan Hindia Belanda. Dari sinilah Belanda mulai menanamkan politik adu-dombanya yang terkenel dengan devide et impera, sehingga muncul bibit-bibit pertentangan antara kedua golongan tersebut, dan menyebabkan kekuatan Aceh melemah, dan akhirnya dapat ditaklukkan oleh Belanda.
b.      Perlawanan Batak
Perang di tanah batak berlansung antara tahun 1878 sampai dengan 1907 di bawah pimpinan Si Singa Mangaraja XII. Si Singa Mangaraja merupakan raja batak yang oleh masyarakat Batak tidak hanya di angga sebagai pemimpin politik saja tetapi jiga bersifat “Illahi” yang memeiliki kekuatan kharismatik yang dapat memberikan keselamatan, perlindungan, dan kesejahteraan pada rakyatnya. Sebab meletusnya perang ini adalah karena mulai masuknya zending-zending Kristen dan ekspedisi militer Belanda ke daerah Batak, khususnya Toba yang menjadi wilayah kekuasaan Si Singa Mangaraja, yang kemudian ditentang oleh Si Singa Mangaraja  karena dikhawatirkan dapat merobohkan struktur tradisional dan kesatuan negerri yang telah lama ada sehingga membahayakan tanah Batak dan menggoyahkan kedudukannya.
Dalam menghadapi serangan Belanda, rakyat Batak memiliki dua macam benteng pertahanan, yaitu benteng alam dan benteng buatan. Benteng alam terletak di dataran tinggi Toba dan Silindung, terdiri dari pegunungan baik yang berhutan lebat maupun gundul, serta banyak mempunyai jurang-jurang yang curam dan terjal, padang-padang ilalang, tanah-tanah becek, dan sungai-sungai deras dan dalam. Sedangkan benteng yang mereka buat sendiri berupa perbentengan kampung. Tiap-tiap kelompok kampong berbentuk empat persegi dikelilingi oleh pagar tembok yang terbuat dari tanah dan batu. Di luar tembok ditanami bamboo berduri dan di sebelah luarnya diberi selokan yang dalam. Pintu masuk hanya beberapa buah dengan ukuran yang sempit, dan dapat dibuka serta ditutup dengan alat pengangkat. Rumah-rumah penduduk berbentuk rumah panggung dan berada dibagian dalam tembok itu. Sedangkan sawah dan lading berada di bagian luar tembok.
Benteng-benteng tersebut di atas sangat menyulitkan pasukan Belanda, walaupun dengan senjata yang tergolong masih sederhana pasukan Si Singa Mangaraja, masih dapat membendung pasukan Belanda yang terlatih dan dilengkapi dengan senjata yang modern, selama lebih-kurang 30 tahun. Untuk dapat menagkap Si Singa Mangaraja yang terus berpindah dari satu desa yang telah berhasil ditaklukkan ke desa lain untuk membangun serangan selanjutnya, begitu seterusnya yang dilakukan Si Singa Mangaraja. Sampai akhirnya hampir semua daerah Toba dapat ditaklukkan Belanda, dan Si Singa Mangaraja bersama sisa pengikutnya terkepung kemudian tertembak oleh pasukan Belanda di daerah Dairi pada 17 Juni 1907. Dalam perang ini dapat kita lihat walaupun satu per satu kampung berhasil ditaklukkan Berlanda namun karaena kesetiaannya pada Si Singa Mangaraja rakyat Batak tetap gigih melakukan perlawanan, yang membuat pasukan Belanda kewalahan. Selain itu yang menarik keteguhan hati Si Singa Mangaraja XII yang tidak mau menyerah pada Belanda walaupun keluarganya telah ditawan, dan lebih baik mati daripada menyerah walaupun sebenaranga pada waktu itu dia telah terdesak dan dikepung oleh pasukan Belanda.
c.       Perlawanan Sumatera Barat
Perang melawan kolonialisme di Minangkabau bermula dari pertentangan antara kaum Padri yang memperjuangkan ajaran Islam menentang Kaum Adat yang mempunyai kebiasaan buruk, seperti: menyabung ayam, berjudi, minum minuman keras, dll.
Perang saudara ini terus meluas kemudian mengalami perkembangan baru setelah kekuasaan asing mulai campur tangan. Awalnya Inggris, tetapi sebagai pelaksanaan Perjanjian London, kekuasaan Inggris di Sumatra Barat diserahkan kepada Belanda. Sehingga kaum adapt yang semula meminta bantuan pada Inggris kemudian meminta bantuan pada Belanda. Sejak saat itu dimulailah perang Padri malawan Belanda.
Peperangan ini dapat terbagi ndalam tiga masa, yaitu masa pertama (1821-1825) yang ditandai denangan meluasnya perlawanan rakyat ke seluruh Minangkabau; masa kedua (1825-1830), ditandai dengan meredanya pertempuran karena Belanda berhasil mengadakan perjanjian dengan Kaum Padri yang mulai melemah. Ketika itu belanda sedang memusatkan perhatiaanya pada perang Diponegoro di Jawa; masa ketiga (1830-1838), ditandai dengan perlawanan Padri yang meningkat  dan penyerbuan Belanda secara besar-besaran, kemudian diakhiri denagn  tertangkapnya pemimpin-pemimpin kaum Padri.
Perang Padri ini melahirkan nama-nama tokoh pemimpin Kaum Padri yang sangat gigih dalam berperang melawan Belanda seperti Tuanku Pasamaan, Tuanku nan Renceh, Tuanku Damsiang, dan yang paling terkenal adalah Tuanku Imam Bonjol. Menariknya dalam perang ini adalah para Kaum adapt yang semula meminta bantuan kepada Belanda, ada juga yang berbalik menyerang Belanda karena Belanda hanya mementingkan tujuannya untuk menanamkan kekuasaan saja, selain itu dari pihak Kaum Padri  ada pihak yang tidak ingin menempuh jalan kekerasan dalam mengahadapi kaum adat dan adapula kaum Padri yang keras pendiriannya dan menentang sikap tersebut, seperti Tuanku nan Gerang dan Tuanku Ibrahim yang walaupun lunak dalam menghadapi Kaum Adat tetapi tetap keras dan tidakn mau kompromi dalam menghadapi Belanda. Ini bukti bahawa masih ada rasa persatuan dalam diri masyarakat Minangkabau dalam melawan Belanda.
Kaum Padri sangat pandai memanfatkan situasi serta gigih dalam berperang, mereka memanfaatkan kondisi geografis daerahnya yang berbukit, serta pengesuaannya terhadap wilayah yang mereka tau betuk seluk-beluknya untuk menjebak orang-orang Belanda, sehingga walaupun Belanda mempunyai persenjataan yang modern serta personil yang terlatih, mereka harus bersusah-payah dan mendapatkan banyak korban dalam menghadapi Kaum Padri. Sehingga untuk mematahkan perlawanan Kaum Padri ini Belanda mendatanngkan banyak pasukan, kecuali pasukan Belanda dan rakyat pendudkung Kaum Adat, juga didatangkan pasukan bantuan dari Jawa di bawah pimpinan Sentot Ali Basah Prawirodirdjo, pasukan dari Bugis, maupun pasukan orang Afrika.
Selain itu Tuanku Imam Bonjol sangat lihai memanfaatkan situasi dengan menyerang pasukan Belanda yang sedang lemah karena jumlahnya sedikit akibat penarikan pasukan ke Jawa. Kaum Padri di Bonjol tidak mau menaati perjanjian yang dibuat dengan Belanda untuk melakukan genjatan senjata, karena da perjanjian yang sebelumnya yang akhirnya dilanggar sendiri oleh Belanda.Tuanku Imam Bonjol juga pernah meminta unt7uk mengadakan perundingan damai lagi dengan Belanda pada waktu keadaannya terdesak, walaupun tidak diterima karaena rencananya terbaca dan akhirnya mengalami kekalahan. Walupun para pemimpinya tertangkap dan berakhir pada tahun 1938 namun perlawanan Kaum Padri masih berlanjut pada masa-masa berikutnya.
d.      Perlawanan Sultan Agung
Raden Mas Rangsang, yang bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma. Di bawah pemerintahannya (tahun 1613-1645) Mataram mengalami masa kejayaan. Ibukota kerajaan Kotagede dipindahkan ke Kraton Plered. Sultan Agung merupakan raja yang menyadari pentingnya kesatuan di seluruh tanah Jawa. Sultan Agung ketika mulai berkuasa di Mataram, ia sangat gencar melakukan ekspansi ke berbagai wilayah. Daerah pesisir seperti Surabaya dan Madura ditaklukkan supaya kelak tidak membahayakan kedudukan Mataram. Selain giat melakukan perluasan wilayah, Sultan Agung, juga sejak pada masa pemerintahan ayahnya Panembahan Krapyak sudah mulai melakukan hubungan kerjasama dengan bangsa asing. Anatara Mataram dan VOC pada awalnya terjalin hubungan baik. Namun terdapat satu faktor yang menimbulkan bentrokan yaitu tujuan VOC memegang monopoli pada satu pihak dan politik ekspansi Mataram pada pihak lain. Penawanan orang VOC (1616), penyerbuan loji Jepara dan pembunuhan Kumpeni (1618), kemudian serangan balasan VOC (1618-1619), kesemuanya memperuncing konflik antara keduanya. Ia pun merupakan penguasa lokal pertama yang secara besar-besaran dan teratur mengadakan peperangan dengan Belanda yang hadir lewat kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Walupun keadaan sosial-ekonomi Mataram yang mengalami keterpurukan karena perang demi kepentinagn ekspanasi yang berkepanjangan hal itu tidak menghalang-halanagi Sulatan Agung untuk meneruskan politik ekspansinya, sekarang terarah ke barat yang berarti juga harus berhadapan dengan Batavia yang menjadi basis VOC. Terbukti dengan dua kali Sultan Agung melakukan penyerangan terhadap VOC di Batavia. Untuk mengalahkan VOC,tentara Mataram membendung kali Ciliwung. Wabah penyakit berjangkit di benteng VOC tapi tentara Mataram juga terkena akibatnya sehingga kekurangan makan dan terkena malaria.Dalam serangan ke dua Mataram menyiapkan logistik. Menempatkan lumbung di Tegal dan Cirebon. Belanda mengetahui lalu membakar lumbung itu.Akhirnya Benteng Hollandia berhasil direbut,tapi serangan ke Bommelin gagal. Dalam pengepungan kota Mataram,J.P.Coen meninggal karena kolera. Mataram gagal merebut Batavia karena kurang logistik. Wawasan politik Sultan Agung juga sangat luas dan jauh ke depan, konsep politik Sultan Agung yaitu doktrin Keagungbinataraan yang berarti bahwa kekuasaan Mataram harus merupakan ketunggalan, utuh, bulat, tidak tersaingi dan tidak terbagi-bagi.
Bangsa asing yang melakukan hubungan dengan Kerajaan Mataram pada masa Sultan Agung selain bangsa Belanda juga bangsa Inggris dan Portugis karena adanya hubungan tersebut semakin menambah besarnya nama Mataram yang tidak hanya di tanah Jawa saja tetapi sampai ke luar pulau Jawa. Bangsa-bangsa Barat juga mengakui akan kekuatan dan kebesaran yang dimiliki Mataram. Menjalin hubungan dengan bangsa Portugis sendiri ternyata masih belum mampu membantu Mataram untuk menaklukan Batavia, walaupun demikian Raja Mataram tetap menghargai hubungan yang terjalin diantara mereka dan walaupun tidak tercapainya kemenangan-kemenangan yang menonjol justru membantu menjadikan orang-orang Mataram menarik di mata orang-orang Nusantara yang lain sehingga wilayah-wilayah kekuasaannya tetap memihak kepada Mataram meskipun kemenangan itu belum dicapai sepenuhnya.
Kerajaan Mataram dapat mencapai puncak kejayaannya bukan hanya karena faktor politik dan militer saja, tetapi faktor budaya juga mendukung kejayaan tersebut. Pada pemerintahan raja-raja sebelum Sultan Agung, Kerajaan Mataram belum terfokus pada bidang kebudayaan karena raja-raja sebelumnya giat melakukan ekspansi dan melawan pemberontakan-pemberontakan dari daerah jajahan. Tetapi pada masa Sultan Agung, selain giat dibidang politik dan militer ia juga giat dalam bidang kebudayaan yang berkembang di Kerajaan Mataram, yang merupakan perpaduan antara tradisi Jawa dengan Islam.. Keunggulan lain dari Sultan Agung yaitu kemampuan dalam menjalin hubungan dengan kraton luar Jawa. Dengan adanya faktor budaya sebagi pendukung kekuasaan Kerajaan Mataram, maka semakin lengkaplah kejayaan tersebut, Sultan Agung dapat bangga akan usaha dan kerja kerasnya dalam berjuang mengangkat nama besar Kerajaan Mataram, sehingga hampir seluruh tanah Jawa tunduk dan patuh di bawah kekuasaan Mataram.

2.   Perbedaan gaya penjajahan Portugis dengan  Belanda dan Inggris di Nusantara adalah dalam melakukan penjajahan di Nusantara perlu diperhatikan kehadiran Portugis sebagai faktor politik dan ekonomis. Di dalam bidang politik Portugis  tidak bertujuan memegang hagemoni dengan menjadikan kerajaan-kerajaan di wilayah itu sebagai vasalnya, maka tidak memegang peran aktif menentukan dalam perebutan ekonomi. Walaupun setelah menduduki Malaka maka yang dipentingkan hanyalah keuntungan ekonomi dari letak Malaka yang strategis, dan hanya bersifat defendsif dalam arti hanya akan berperang dan melawan pihak-pihak atau kerajaan yang menggangu eksistensinnya atau kedudukannya di Malaka, sehingga tidak radikal dan jarang menempuh cara-cara kekerasan, selain itu melalui misionaris-misionarisnya dengan gigih menyebarkan agama Katolik di Nusantara, sehingga selalu ditentang oleh orang-orang Islam yang ada di Nusantara, maupun para pedagang muslim yang menghindari dan tidak mau singgah di Malaka yang pada waktu itu berada di bawah kekuasaan Portugis. Sementara itu di pihak lain gaya penjajahan orang Berlanda dan Inggris cenderung berupaya menanamkan hagemoninya pada daerah di Nusantara yang dianggap penting untuk dapat memonopoli perdagangan di Nusantara, Belanda dan Inggris juga melakukan intervensi terhadap persoalan kerajaan, misalnya soal pergantian tahta kerajaan sehingga imperialis mendominasi politik di Indonesia. Akibatnya peranan elite kerajaan berkurang dalam bidang politik, bahkan kekuasaan pribumi mulai runtuh. Pihak Belanda cenderung campur tangan dalam urusan kerajaan, dan selalu mengambil keuntungan dalam setiap pertikaian yang menimbulkan perpecahan dalam suatu kerajan. Belanda membawa ancaman lebih besar dan berkesudahan dengan sistem monopoli yang merusak semua pola perdagangan yang berlaku sebelumnya. Tambahan lagi politik VOC dengan muslihat dan kekerasannya mengakibatkan dislokasi penduduk dan akhirnya ketergantingan politik. Untuk kepentingannya tersebut terutama dalam menanamkan hagemoninya Belanda menghalalkan segala cara diantaranya dengan politik pecah-belah/adu-dombanya yang terkenal denangan devide et impera, dan lebih bersifat radikal yang tidak segansegan menempuh cara-cara kekerasan dan membumi-hanguskan suatu wilayah bila dianggap perlu. Hal ini membangkitkan perlawanan pedagang pribumi yang merasda terancam kepentingannya. Sikap bermusuhan bertambah kuat  karena kehadiran Belanda mendorong umat Islam lebih memperkokoh perstuan untuk menhadapinya. Melalui para penyebar agama Kristen (zending) menyebarkan agama Protestan di Indonesia. Bila dibandingkan dengan Portugis, Belanda cenderung mengeksploitasi segala sumber daya yang ada di Nusantara sehingga sangat menyengsarakan dan menimbulkan pederitaan bagi rakyat pribumi. Sementara itu bangsa Inggris, yang terjadi pada masa pemerintahan Raffles telah meletakkan dasar pemerintahan modern. Sifat imperialisme Inggris adalah Imperialisme yang dilatarbelakangi oleh kelebihan barang barang produksi (over product) dari perindustrian yang berkembang pesat di Inggris sehingga timbul keinginan untuk mencari wilayah baru sebagai pasar untuk mendistribusikan barang-barang produksinya. Pada masa pemerintahannya Rafles melaksanakan sistem sewa tanah (land rente), tindakan ini didasarkan pada pendapat bahwa pemerintah Inggris adalah yang berkuasa atas semua tanah, sehingga penduduk yang menempati tanah wajib membayar pajak. Melakukan penanaman bebas, melibatkan rakyat ikut serta dalam perdagangan. Para Bupati dijadikan pegawai negeri dan diberi gaji, padahal menurut adat, kedudukan bupati adalah turun temurun dan mendapat upeti dari rakyat. Maka sejak saat ini Bupati telah menjadi alat kekuasaan pemerintah kolonial.

3.   Berbeda dengan kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Indonesia yang bersifat maritime, kerajaan Mataram bersifat agraris dan kerajaan ini beribu kota di pedalaman Jawa. Kerugian pelayaran nasional pada masa Mataram Islam disebabkan oleh politik ekspansi Mataram yang menggunakan strategi menghancurkan kota-kota pesisir sebagai lawan utama, suatu strategi yang menjadi boomerang karena kelumpuhan perdagangan meniadakan sumber daya ekonomi yang menjadi suatu struktur kekuasaan kerajaan sebelumnya. Karena itulah kekuasaan dan sistem politik didasarkan atas basis agraris bukan lagi perdagangan dan pelayaran. serta peranan daerah pesisir dalam perdagangan dan pelayaran menjadi mundur. Keadaan menjadi semakin terpuruk dengan tidak mampunya Mataram menguasai komoditi-komoditi yang sangat strategis pada saat itu, tidak hanya karena angkatan kapal dagangnya sudah menyusut tetapi juga karena perang ekspansi terus menerus mau tak mau menyebabakan kemerosotan produksi beras, mengingat bahwa banyak terjadi penyerapan tenaga dari pertanian untuk dimobilisasi dalam bala tentara Mataram. Demikian juga peranan pedagang dan pelayar Jawa, akibatnya banyak pedagang dari Jawa mengungsi ke pusat-pusat perdagangan baru seperti Makasar, Banjarmasin, Banten sehingga tinbul kompetisi dan oposisi politik terhadap Mataram.

4.   Ciri-ciri nativistik dalam perjuangan Saminisme adalah:
      Gerakan Samin peratma kali diperkenalkan oleh Surontiko Samin, seorang petani yang berasal dari Randublantung, sebuah desa di Blora Selatan. Dan termasuk dalam gerakan sosial tradisional yang awalnya bersifat pasif, namun ketika memasuki dekade kedua abad ke-20 gerakannya semakin meningkat, sifatnyapun berubah, dan tanda-tanda akan melakukan kekerasan mulai nampak, perubahan ini dimungkinkan karena masyarakat Samin mulai mendapat tekanan yang berat dari pemerintah Kolonial Balanda.
Berbeda dengan gerakan sosial lainnya yang biasanya berumur singkat, gerakan Samin ini dimulai kira-kira pada akhir abad ke-19 dan hingga akhir masa ini masih hidup.
Sebab-sebab yang melatarbelakangi lahirnya gerakan Samin yang pertama adalah faktor ekonomi karena kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia-Belanda dalam menjalankan politik kolonialnya, seperti peraturan tanah, peraturan hutan, tenaga kerja (rodi), dan pajak, yang sangat menyusahkan rakyat terutama masyarakat Samin yang umumnya adalah petani miskin. Selain itu faktor sosial juga perlu diperhatikan karena petani pemilik tanah yang berkecukupan juga ada yang bergabung dengan gerakan Samin ini, namun mereka tak berdaya mengahadapi kekuasaan kolonial dan timbul kecemasan akan hilangnya kedudukan atau statusnya (dalam pedesaan masayarakat Jawa yang agraris, pemilikam tanah mempunyai kaitan erat dengan status sosial seseorang). Masyarakat samin sangat peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarkatnya sebagai akibat masuknya penetrasi kebudayaan Barat.
Salah satu aspek lain dari gerakan Samin yang cukup penting adalah setelah Surontiko Samin dibuang, gerakan ini menjadi heterogen, karena para peminmpin-pemimpin lain yang menruskan ajrannya mempunyai pandangan yang berbeda.
Ada beberapa aspek dari sikap oaring Samin yang patut dicatat, yaitu tanpa kekerasan, rajin, jujur, dan berhasil sebagai petani, serta mengharagai sesamanya sederajat termasuk wanita. Orang Samin menyebut dirinya sebagai pengikut ajaran Adam atau Ilmu Nabi Adam, mereka percaya “Tuhan itu ada dalam diri sendiri” dan penyelamat dari siksaan adalah diri sendiri. Selain itu Agama Adam ini sebetulnya mengandung aspek budaya tani Jawa, mereka sangat menghargai tanahnya dan petani mendapatkan penghormatan yang tinggi. Itulah sebabnya mereka rajin mengolah tanahnya sehingga sawah mereka merupakan yang terbaik dibandingkan dengan sawah petani-petani bukan Samin. Dalam ajarannya perkawinan itu merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan “Atmaja (U)Tama” (anak yang mulia). Pengikut ajaran Samin mempunyai lima ajaran: tidak bersekolah; tidak memakai peci, tapi memakai "iket", yaitu semacam kain yang diikatkan di kepala mirip orang Jawa dahulu; tidak berpoligami; tidak memakai celana panjang, dan hanya pakai celana selutut; tidak berdagang, berdagang bagi orang Samin dilarang karena dalam perdagangan ada unsur “ketidakjujuran”, juga tidak boleh menerima sumbangan dalam bentuk uang; dan penolakan terhadap kapitalisme.
Lebih lanjut ajaran Samin ini juag diartikan sebagai sami-sami (sama-sama) yang bersumber pada dasr persamaan manusia. Mereka menganggap semuanya sebagai saudara (sadulur) dan harus saling tolong menolong. Mereka juga berpendapat bahwa bumi milik bersama da untuk dimanfaatkan bersama-sama demi kesejahteraan semuanya. Ada suatu ungkapan orang samin yang mencerminkan semangat “sama rata sama rasa” ini, yaitu lemah pada duwe, banyu pada duwe, kayu pada duwe, yang artinya “tanah, air, hutan milik semua orang.”
Suatu sifat lain dari ajaran Samin adalah ajaran tentang etika yang dilaksanakan secara ketat sekali. Meraka cenderung menganut sifat puritan di mana para pengikutnya dilarang keras mencuri, berbohong dan berjinah. Sebaliknya mereka dianjurkan untuk bekerja yang rajin, untuk sabar, jujur dan murah hati. Dan ternyata mereka hidup rukun dan damai. Aturan-aturan moral yang mendasari kehidupan orang Samin juga merupakan suatu mekanisme dalam membina solidaritas kelompok. Oleh sebab itulah orang-orang Samin ini berhasil mempertahankan diri sekian lamanya dalam kehidupan masyarakat yang penuh perubahan. Bila diperhatikan, maka paham yang dianut masyarakat Samin seperti persamaan derajat dan mencintai sesamanya, maka kita dapat melihat pelaksanaan paham komunis yang benar-benar masih murni dan asli dalam kehidupan masyarakat Samin ini. Sehingga masyarakat Samin ini dulunya sangat bangga dengan kesaminannya, karena merupakan kehidupan kelompok yang penuh solidaritas, dan menjunjung kejujuran dalam kehidupan, tetapi lambat laun dan terutama pada masa sekarang ini kebanggaan tersebut mulai memudar dan jumlah masyarakat yang mengaku sebagai orang Samin jauh menurun, karena sekarang masyarakat Samin dikenal sebagai masyarakat yang terbelakang terutama dalam hal pendidikan, sehingga cenderunmg dipandang sebelah mata oleh masyarakat pada umumnya.

5.   Kebijakan kerja wajib adalah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda yang membebankan kewajiban bagi rakyat pribumi untuk melakukan pekerjaan di perkebunan milik Belanda, seperti menanam, memotong, mengangkut tebu ke pabrik-pabrik gula, dan bekerja di pabrik-pabrik itu sendiri (yang dikerjakan adalah tananman-tanaman dagang yang memepunyai nilai ekspor tinggi). Pekerjaan wajib ini merupakan beban berat bagi penduduk desa. Kadang-kadang seluruh penduduk desa dikerahkan untuk pemerintah kolonial maupun untuk kepentinagn penjabat-penjabat dan kepala-keoala itu sendiri. Hal yang terakhir ini terutama dilakukan dalam bentuk pekerjaan rodi, yang tidak hanya untuk pemerintah kolonial, tetapi juga untuk kepala-kepala itu sendiri.
      Kebijakan setoran wajib adalah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda yang mengharuskan rakyat untuk membayar pajak mereka dalam bentuk barang, yaitu hasil-hasil pertanian mereka dan bukan dalam bentuk uang seperti yang mereka lakukan selama system pajak tanah masih berlaku. Van den Bosch mengharapkan agar pungutan-pungutan dalam bentuk pajak dalam natura ini tanaman dagangan bisa dikirim ke negeri Belanda untuk dijual di sana kepada pembeli-pembeli dari Amerika dan seluruh Eropa dengan keuntungan bagi pemerintah dan pengusaha-pengusaha Belanda.
      Kebijakan tanam paksa atau yang terkenal dengan cultuurstelsel adalah kebijakan yang dikeluarakan oleh pemerintah Belanda melalui Gubernur Jenderalnya yang baru untuk Hindia Belanda, yaitu Johanes van den Bosch sebagai pemulihan eksploitasi agar meningkatkan produksi tanamn ekspor yang terhenti selama sistem pajak tanah, sehingga dapat menanggulangi defisit keuangan pada kas negara di negeri Belanda, dengan membebankan kewajiban pada rakyat pribumi agar dapat menghasilakn tanaman ekspor yang laku di pasar internasional, seperti: kopi, gula, nila (indigo), teh, tembakau, dll.
      Pelaksanaan STP membuktikan diri sebagai suatu sisitem eksploitasi yang efisien yang berhasil meningkatkan penerimaan pemerintah colonial dan melalui batig slot (saldo untung) dalam anggarannya berhasil menutupi defisit yang diderita pemerintah Belanda sendiri maupun meningkatkan tingkat kemakmuran bangsa Belanda, namun di lain pihak akibatnya bagi rakyat Indonesia pada umumnya tidak menguntungkan, malahan sebaliknya sering menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan yang besar, seperti dengan meningkatnya angka kematian dalam tahun-tahun pelaksanaan STP yang disebabkan oleh kelaparan maupun buruknya kesehatan rakyat, akibat keraja rodi yang mengeksploitasi tenaga rakyat secara berlebihan untuk kepentinag STP. Hal ini disebabkan karena banyaknya penyimpangan dalam pelaksanaan STP dari ketentuan-ketentuan pokok yang sebenarnaya tidak terlampau menekan rakyat. Karena kembali memanfatkan  kekuasaan tardisiomal seperti kepala desa serta adanya pengawasan dan campur tangan lansung dari pegawai Belanda, dan diberikannya perangsang finansial selain pendapatan biasa berupa cultuurprocenten (presentase tertentu yang diberikan kepada pegawai Belanda atau bupati-bupati dan kepala desa jika tanaman ekspor mencapai atau melampaui target produksi yang dibebankan kepada desa) sehinngga banyak terjadi penyelewengan dan unsur-unsur paksaan dalam pelaksanaan STP baik berupa kerja wajib maupun setoran wajib terutama yang dilakukan oleh pegawai Belanda atau bupati-bupati dan kepala desa demi mendapatakan keuntungan pribadinya yang sangat menekan dan merugikan rakyat. Contohnya adalah para petani umumnya dipaksa untuk bekerja jauh lebih lama untuk tanam paksa daripada untuk tanaman bahan makanan mereka sendiri, sehingga sering terjadi gagal panen, padahal petani harus menanggung dua macam beban, yaitu pekerjaan paksa untuk tanaman ekspor dan pembayaran pajak tanah, hal inilah yang menyebabka terjadinya kekurangan bahan pangan yang berujung pada kelaparan dan kematian.
Salah satu akibat yang mendarah-daging dan menyebabkan trauma dari kerja rodi yang sering harus dilakukan untuk penjabat-penjabat pemerintahkolonial maupun untuk para kepala mereka sendiri, menyebabkan para petani tidak mempunyai motivasi yang kuat untuk bekerja keras karean mereke mengetahui bahwa hasil pekerjaan keras mereka akhirnya tidak dapat mereka nikmati sendiri, akan tetapi akan diambil oleh pihak yang berkuasa.
Selain itu secara tidak sengaja atau efek lain dari STP juga memberikan kemajuan-kemajuan seperti perluasan jaringan jalan raya, maupun perbaikan irigasi yang tidak hanya menguntungkan produksi gula tetapi juga padi, walupun hanya terbatas dibeberapa daerah saja.

6.   Pada tahun 1872 aliran liberalisme yang telah menjalar hampir ke seluruh Eropa telah mencapai kemenagan politik yang menentukan di negeri Belanda, hal ini juga menyebabkan politik yang diterapkan di Hindia Belanda beralih ke sisitem liberal semenjak penghapusan STP pada tahun 1870, yang ditandai denagn masuknya modal-modal/pengusaha swasata ke Indonesia, yang kemudian mendirikan berbagai perkebunan-perkebuna kopi, teh, gula, dan kina. Di bawah topeng rasa humanisme dan perhatian yang mendalam terhadap nasib bangsa Indonesia, politi liberal mulai dijalakan di Indonesia padahal tujuan utamanya tetap memandang Hindia Belanda sebagai suatu “perusahaan” yang perlu menghsilkan laba bagi negeri induk (Belanda). Apabila Van den Bosch memandang Hindia Belanda sebagai perusahaan Negara, maka kaum liberal menganggap Hindi Belanda sebagai suatu perusahaan swasta. Akan tetapi kedua-duanya menghendaki  agar perusahaan itu menghasilkan laba atau sardo surplus (batig slot) yang dapat di transfer ke negeri Belanda.
Keuntungan sistem pintu terbuka bagi Indonesia adalah:
a.       Dengan adanya Undang-undang Agraria dari tahun 1870 yang menegaskan hak milik penduduk pribumi atas tanahnya dan melarang perpindahan hak milik ini kepada orang-orang yang buakn Indonesia, sehinnga penduduk bisa memperoleh pendapatan dari penyewaan tanah oleh pengusah-pengusaha Barat, selain itu eksploitasi oleh para penguasa yang dianggap tuan tanah terhadap rakyat dapat dikurangi.
b.      Impor barang-barang jadi, yang untuk sebagian besar terdiri atas barang-barang konsumsi ringan, dapat memenuhi kebutuhan masyarakat teruatama kebutuhan sehari harinya denagn harga yang lebih murah.
c.       Dengan adanya peluang kerja pada perkebunan-pekerbuan besar milik pengusaha Belanda maupun orang-orang Eropa lainnya, maka penduduk dapat bekeraja menjadi buruh di sana walaupun masih bersifat pasif yaitu untuk melengkapi pendapatannya, jika pertanian yang menjadi mata pencaharian utama meraka hasilny tidak mencukupi.
d.      Menurunnya angka kematian yang disebabkan dengan adanya tindakan-tindakan dalam bidang kesehatan rakyat yang diambil pleh pemerintah Hindia Belanda, seperti vaksinasi terhadap berbagai penyakit menular , perbaikan distribusi bahan makanan kepada rakyat antara lain melaui perbaikan jaringan jalan raya dan lain-lainnya.
e.       Para pengusaha Belanda yang tinggal di Indonesia menghendaki gar pemerintah Hindia Belanda melaksanakan berabgai pekerjaan umum yang menunjang perkembangan industri ekspor mereka, seperti jalan raya, fasilitas- fasislitas irigasi, jembatan-jembatan. Di samping itu mereka juga menginginkan sekolah-sekolah bagi anak-anak mereka serta fasilitas fasilitas kesehatan bagi keluarga mereka maupun buruh-buruh yang bekerja di perusahaan-perusahhan mereka. Hal ini secara tidak langsung fasilitas-fasilitas tersebut juga bermanfaat bagi rakyat pribumi, terutama sarana irigasi di daerah-daerah perkebunan gula (tanaman musiman), yang di sewa atas dasar rotasi.
f.       Munculnya pelabuhan modern yang efisien, seperti dibangunnya pelabuahan laut yang baru di Tanjung Priuok oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1872.
g.      Baru selama zaman liberl ini system pendidikan bagi penduduk pribumi mengalami perkembangan yang lebih pesat, suatu hal yang sesuai dengan sikap kaum liberal mengenai penyebaran pendidikan bagi kalangan luas masyarakat. Yang pada mulanya sekolah-sekolah dibuka untuk putra-putra para bupati dan pembesar Indonesia lainnya, namun lambat-laun pendidikan juga meluas kepada anak-anak yang buakn bersal dari kalangan ningrat dan pembesar-pembesar Indonesia.  
      Kerugian sistem pintu terbuka bagi Indonesia adalah:
a.       Impor barang-barang jadi, yang untuk sebagian besar terdiri atas barang-barang konsumsi ringan, juga memberikan dampak negative yaitu mematikan usaha kerajianan tradisional rakyat Indonesi, karena barang impor lebih unggul dalam hal harga maupun mutu.
b.      Dalam bidang pemabanguna seperti pembangunan jalan-jalan kereta api menyebabkan penciutan penghasilan penduduk pribumi yang menyediakan jasa angkutan barang-barang dengan gerobak.
c.       Walaupun selama masa liberal pembengunan sarana-saran irigasi dan sarana-sarana pengangkiuta berjalan pesat, namun untuk menghemat pengeluaran tenaga rakyat pribumi dikerahkan dan dieksploitasi melaui kerja rodi untuk pembanguana tersebut, sehingga pekerjan rodi pada masa ini dianggap sangat berat, malahan lebih berat dari masa-masa sebelumnya.
d.      Masuknya ekonomi uang menyebabkan hilangnya unsur tradisional dan terjadinya desintegrasi sosial dalam masyrakat tradisional.
e.       Sebenarnya oleh pemerintah Hindia Belanda juga mengeluarkan peraturan-peraturan mengenai perburuhan yang menegaskan kondisi-kondisi pekerjaan yang layak bagi orang-orang pribumi, namun sering tidak dilaksanakan sehingga sangat merugikan kaum buruh.
f.       Dengan terjadinya krisis sekitar tahun 1885, sehingga menyebabkan jatuhnya harga tanaman ekspor, seperti kopi dan gula membawa pengaruh buruk bagi penduduk pribumi karena penyempitan operasi perkebunan-perkebunan ini berarti pula penyempitan penghasilan penduduk, baik yang berupa upah bagi pekerjaan diperkebunan maupun yang berupa sewa tanah. Penekanan upah dan sewa tanah sampai tingkat yang serendah mungkin. Hal ini mudah dilaksanakan karena golongan yang terkena tindakan penghematan ini, yaitu penduduk pribumi, secara ekonomik dan politik tidak berada dalam kedudukan yang baik dalam mempertahankan hak-haknya, paling banyk mereka hanya dapat menyesuaikan diri denagn keadaan yang sangat merugikan itu.
g.      Pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa, yang berjalan lebih pesat daripada pertumbuhan produksi bahan makanan, memberiakn potensi terjadinya kelaparan.
h.      Sistem perpajakan yang regresif, artinya sangat memberatkan golongan yang berpendapatan rendah, satu-satunya golongan yang diwajibkan membayar pajak langsung kepada pemerintah kolonial adalah para petani yang merupakan golongan terbesar.
i.        Pada akhir abad ke-19 ada pertanda jelas bahwa orang-orang Indonesia, khusunya di Pualau Jawa, telah mengalami kemerosotan dalam tingkat hidup mereka, hal ini dimungkinkan karena banyak penyimpangan yang terjadi, serta tujuan utama untuk memberikan sardo plus bagi negari induk selalu menjadi yang prioritas utama. Surplus keuanganyang dihasilkan oleh Hindia Belanda tidak dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, melainkan untuk kepentingan pemerintah kolonial sendiri, seperti untuk membiayai perang kolonial, dan ditransfer ke negeri Belanda sendiri.

7.   Dikeluarkannya kebijakan pemerintah Belanda untuk melaksanakan politik ethis atau politik balas budi di Indonesia, karena keberhasilan mengeksploitasi segala sumber daya yang terdapat di Indonesia pada masa STP maupun masa liberal yang menyebabkan surplus keuangan bagi kas di negeri Belanda semantara dipihak lain menyebabkan kemerosotan kesejahteraan rakyat pribumi, yang dititik beratkan pada hak dan kepentingan penduduk pribumi (adalah kewajiban moral bagi orang Belanda untuk mengankat derajat penduduk pribumi) ternyata prinsip bahwa tanah jajahan memang seharusnya memberi keuntungan kepada negara induk, sehingga politik balas budi ini hany bersifat setengah hati. Sudah terkenal, bahwa politik ethis menggunakan tiga sila sebagai slogannya, yaitu: irigasi, transmigrasi, dan edukasi, sehingga untuk mencari keuntungan dan kerugian dalam pelakasanaan politik ethis harus dikaitkan dengan ketiga unsure tersebut.
Keuntungan pelaksanaan politik ethis bagi Indonesia sebenarnya merupakan efek samping yang sebenarnya tidak ada dalam rencana pemerintah Belanda, seperti:
1)      Irigasi (pengairan), yaitu diusahakan pembangunan irigasi yang tujuan utamanyauntuk mengairi perkebunan milik pemerintah Belanda juga ikut dirasakan manfaatnya bagi tanaman padi petani peribumi
2)      Transmigrasi (perpindahan penduduk), yaitu perpindahan penduduk dari daerah yang padatpenduduknya (khususnya Pulau Jawa) ke daerah lain yang jarang penduduknya dapt mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa dan mendorong.
3)      Edukasi (pendidikan), yang memberikan manfaat peling besar bagi bangsa Indonesia teruatama untuk masa-masa kedepannya. Walaupun pada awalnay bertujuan untuk mancetak tenaga kerja administratif murah yang cukup bisa bacadan tulis namu lewat pendidikan inilah akhirnya muncul golongan terpelajar yang memprakarsai lahirnya pergerakan nasional dan berbuah dengan kemerdekaan Indonesia pa tanggal 17 Agustus 1945. Dalam hal ini tegasnya pendidikan dapat dipandang sebagai sebuah dinamit bagi sitem kolonial. Pengaruh pendidikan terhadap masyarakat colonial diakui sepenuhnya oleh penguasa-penguasa kolonial sendiri, dan menurut kata-kata Colijn: “Merupakan tragedi politik kolonial, karena ia membentuk dan membangunn kekuatan-kekuatan yang dikemudian hari akan melawan pemerintah kolonial”.
Dengan dilaksanakannya politik ethis di Indonesia akhirnya anak-anak bumi putera mendapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan meskipun hanya pada tingkat rendah. Akan tetapi, anak-anak bumi putera yang berasal dari golongan tertentu dapat memperoleh pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Bahkan ada diantaranya yang dapat mengenyam pendidikan Barat.
Secara umum pembagian sistem pendidikan zaman kolonial Belanda adalah sebagai berikut : (1) Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS), sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS), dan sekolah peralihan. (2) pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HBS, AMS) dan pendidikan kejuruan. (3) Pendidikan tinggi (THS, GHS).
Salah satu jenis sekolah pada pendidikan dasar adalah ELS (Europeesche Lagare School) adalah Sekolah Dasar pada zaman kolonial Belanda di Indonesia. Sebagai bahasa pengantar pembelajarannya adalah Bahasa Belanda. Pada awalnya ELS hanya diperuntukkan bagi warga Belanda di Hindia Belanda. Namun, sejak 1903 kesempatan juga diberikan kepada orang-orang pribumi yang mampu dan warga Tionghoa.
Pada tingkatan pendidikan lanjutan sebagai contohnya adalah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) yang merupakan sekolah yang setara dengan tingkat SMP sekarang. MULO berarti "pendidikan dasar lebih luas". MULO menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Pada akhir tahun 30-an, sekolah-sekolah MULO sudah ada hampir di setiap kota kawadanaan (kota kabupaten).
Untuk pendidikan tinggi ada THS (Technische Hooge School) di Bandung yang sekarang menjadi ITB (Institut Teknologi Bandung), RHS (Rechts Hooge School) di Jakarta yang sekarang menjadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan GHS (Geneeskudige Hooge School) di Jakarta yang sekarang menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
      Kerugian pelaksanaan politik ethis bagi Indonesia, pada dasarnya karena. dalam pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang telah diajukan oleh van Deventer yang sebenarnya memberi jalan terang bagi kesejahteraan rakyat pribumi namun dam pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para pegawai Belanda. Berikut ini penyimpangan-penyimpangan tersebut:
1)      Irigasi
Pengairan (irigasi) hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda. Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi.

2)      Migrasi
Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan perkebunan-perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya permintaan yang besar akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di Sumatra Utara, khususnya di Deli, Suriname, dan lain-lain. Mereka dijadikan kuli kontrak. Migrasi ke Lampung mempunyai tujuan menetap. Karena migrasi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak yang melarikan diri. Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri, pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale Sanctie, yaitu peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi, kemudian dikembalikan kepada mandor atau pengawasnya.
3)      Edukasi
Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan   untuk mendapatkan tenaga administrasi yang cakap dan murah Pendidikan   yang   dibuka untuk seluruh rakyat, hanya  diperuntukkan   kepada   anak-anak   pegawai   negeri dan orang-orang yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi dan pada umumnya.
Pada dasarnya politik ethis sendiri hanyalah siasat dari pemerintah Belanda. Selain untuk memenuhi tuntutan kaum humanis dan sosial demokrat Belanda, pemberlakuan politik ethis di bidang pendidikan ada kaitannya dengan kepentingan politik pintu terbuka. Hal ini telah memunculkan kebutuhan akan tenaga yang terdidik dan terampil di bidang administrasi. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia diarahkan untuk sebesar-besarnya kepentingan Belanda. Dengan kata lain politik ethis diselewengkan menjadi politik Assosiasi, artinya di dalam pelaksanaannya di arahkan untuk kepentingan Belanda. Ada beberapa ciri pendidikan yang kurang menguntungkan bagi masyarakat pribumi pada masa kolonial Belanda, yaitu :

- Sistem Dualisme
Dalam sistem ini diadakan garis pemisah antara sistem pendidikan untuk golongan Eropah dan sistem pendidikan untuk golongan bumi putera.
- Sistem Korkondansi
Sistem ini berarti bahwa pendidikan di daerah penjajah di arahkan atau disesuaikan dengan pendidikan yang terdapat di negeri Belanda.
- Sentralisasi
Kebijakan pendidikan di zaman kolonial diurus oleh sebuah Departemen Pengajaran.
- Menghambat Gerakan Nasional
Sistem pendidikan pada masa itu sangat selektif. Masyarakat bumi putera tidak dapat memperoleh pendidikan yang seluas-luasnya atau pendidikan yang lebih tinggi pada awalnya.

8.   Kontribusi Kartini bagi lahirnya semangat pergerakan nasional adalah melaui gerakan emansipasi yang dikumandangkannya lewat tulisan-tulisannya, khususnya dengan korespondensinya dengan sahabat karibnya Nyonya Abendanon. Kemudian kumpulan surat itu diterbitkan dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang (1911). Diungkapkannya bagaimana kehidupan kelurga bupati masih digariskan menurut tradisi, kedudukan orang tua terhadap putra-putranya, ketaatan dan kepatuahan pada adapt, termasuk kaidah-kaidah tata susila, sopan santun serta tata cara (etiket) yang mengatur segala macam hubungan sosial, baik di lingkungan keluarga maupun di luarnya.
Dengan bertambah banyaknya jumlah pelajar pribumi di sekolah barat, khususnya dari kalangan priyayi, terbukalah pada persepsi mereka bukan hanay perbedaan-perbedan tingkat dan gaya hidup pribumi dengan Belanda atau Eropa saja, melainkan juga serba keterbalakangan dan kuno ataupun kolotnya kehidupan taradisional itu. Mulai disadari perbedab kualitas hidup antara gaya barat yang serba bebas dengan pola kehidupan tradisisonal yang penuh keterikatan. Tradisi mulai dipandang bukan lagi sebagai sesuatu yang wajar dan harus dijunjung tinggi melainkan sebagai hambatan terhadap “kemajuan”. Lambat laun tumbuhlah kesadaran bahwa untuk mencapai kemajuandiperlukan suatu liberalisasi dari belenggu adat-istiadat kuno. hal inilah yang melatar-belakangi pikiran-pikiran karti melalui surat-suratnay tersebut.
Dalam surat-suratnya Kartini mempertanyakan, mempersoalkan, dan menyangsikan segala sesuatu dari tradisi seperti yang dialami sendiri dalam kehidupannya di dalem Kabupaten Jepara. Kesempatannya  bersekolah dan bergaul dengan anak-anak Belanda membuka matanya serta membangkitakan kesadarannya akan dunia luara yang lain beserta nilai-nilai dan gaya hidupnya yang berbeda dengan apa yag dihayatinya. Timbullah kejutan kebudayaan baginya, adanya hasrat besar untuk belajar, menuntut ilmu pengetahuan, pendeknya mencapai kemajuan. Disadarinya situasi yang serba terbelakang pada umumnya serta rendahnya kedudukan wanita khususnya. Cita-citanya untuk menjadi guru tidak lain berasal dari aspirasinya memajukan Bangsanya. Sehingga dari golongan aristokrasi yang menjadi protagonist bagi modernisasi masyarakat Indonesia timbul prakarsa untuk mendirikan sekolah-sekolah putri antara lain yan diasuh oleh para warga aristokrasi sendiri.
Segi-segi yang utama dari masa pergerakan nasional adalah di mana pergerakan untuk mencapai tujuan yang pasti yaitu kemerdekaan menunjukkan sesuatu pergerakan yang berbeda dengan masa-masa sebelumnya yang lebih banyak mengadakan perlawanan fisik dalam bentuk perang kontak senjata yang selalu menderita kekalahan dan menimbulkan banyak korban jiwa maupun harta, karena kalah dalam faktor strategi, persenjataan, maupun karana kurangnya persatuan dan kesatuan, menyebabakan perlawanan beralih ke bentuk perlawanan yang bersifat diplomasi, dalam perjuangan melawan penjajah memasuki perjuangan yang lebih terorganisisr dengan membentuk organisasi politik.
Dengan masuknya lembaga-lembaga modern masyarakat Indonesia mengalami perubahan, yang bila dipandang dengan wawasan modernisasi itu menjadi jelas bahwa periode ini adalah periode adpatasi terhadap sistem modern.
Proses adptasi itu sekaligus mencangkup proses inovasi dalam bebrbagai bidang seperti ekonomi, sosial, politik, dan cultural. Berbagai unsure kebudayaan Barat, baik berupa nilai maupun sisitem, diserap dan dilembagakan, antara lain teknologi, pengetahuan, sisitem organisasi, administrasi, pengajaran, dan lain sebagainya.
Bentuk reaksi pada masa pergerakan nasional ini berebeda sekali dengan masa sebelumnya yang sifat tradisionalistinya sangat menonjol. Bentuk reaksi modern bersifat rasional, gerakan nasionalis membangun kekuatan sosial dengan membentuk organisasi gaya modern serta memobilisasi pendukung berdasarkan kesadaran sosial pada awalnya kemudian nasional. Jadi ideologi yang mendasarinya adalah nasionalisme, sesuatu yang sungguh-sunguh baru di bumi Indonesia.
Cita-cita untuk mencapai Indonesia merdeka, mereka membentuk organisasi, baik yang berdasarkan agama Islam, paham kebangsaan maupun sosialisme. Organisasi-organisasi tersebut antara lain: Sarikat Dagang Islam (1905); Budi Utomo (1908); Sarikat Islam (1911); Muhammadiyah (1912); Indischi Partij (1911); Perhimpunan Indonesia (1924); Partai Nasional Indonesia (1929); dan Partindo (1933).
      Kebangkitan nasional banyak dibidani para dokter karena para dokter adalah orang yang paling dekat dan secara langsung menyaksikan penderitaan rakyat bangsanya, tugas dokter untuk mengobati orang yang sakit yang selalu ditanganinya, sehingga terjadi interaksi antara rakyat yang menyampaikan keluhan-keluhan tentang penderitaan yang dialaminya kepada dokter yang mengobatinya dan kebanyakan sebagai akibat dari tekanan-tekanan penjajah yang. Hal ini menyebabkan dokter bisa sangat mengerti dan paham serta dapat ikut merasakan penderitaan pasiennya tersebut yang tidak lain adalah saudara sebangsa dan setanah airnya, sehingga muncul prakarsa di dalam dirinya untuk menentang kekuasaan penjajah yang menjadi sumber dari penderitaan rakyat tersebut. Selain itu pendidikan seorang dokter yang tergolong tinggi, dapat dianggap sebagai golongan elite yang mampu menentang kolonialisme penjajah.


Untuk lebih lanjutnya…….
1.    Pastikan anda menjadi pengikut blog ini
2.    Kirim email ke: sangajimbojo@gmail.com atau ranggambojo@ymail.com
3.    Gabung di facebook dengan alamat email di atas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar