Rabu, 01 Juni 2011

UAS Sejarah Sosial

klik judul untuk mendownload file lengkapnya

1.        Kemukakan ciri-ciri utama sejarah sosial. Apa bedanya dengan sejarah politik? Apa kritik utama kehadiran sejarah sosial terhadap pendirian Leopod Von Renke?
·         Sejarah sosial adalah kajian sejarah yang memusatkan perhatian kepada masyarakat bawah, atau wong cilik, atau segmen lain dalam masyarakat yang terabaikan, terasingkan, atau termarjinalisasikanmerupakan aktor sejarah yang peran mereka dibahas dalam kajian sejarah sosial. Berlainan dengan umumnya kajian sejarah (politik) yang memusatkan perhatian kepada tokoh-tokoh besar dalam studinya Karena sejarah sosial merupakan kajian kemasyarakatan, maka metode analisisnya memakai pendekatan multidisipliner, yakni pembahasan sejarah dengan dibantu ilmu sosial lain seperti sosiologi, antropologi, ekonomi, politik, hukum, psikologi, dll. Adapun ciri-ciri utama sejarah sosial adalah:
a)    ruang lingkup kajianya adalah segala aspek kehidupan dan kebudayaan dalam masyarakat historis;
b)   menggunakan pendekatan metadisiplin (total history);
c)    manusia atau masyarakat merupakan aktor yang membentuk masa lalu (memperlihatkan hubungan timbal balik manusia dalam konteks sosio-kultural dengan masa lampau);
d)   memanfaatkan sumber-sumber sejarah yang beraneka ragam seperti dokumen-dokumen hukum, dokumen pribadi, artefak-artefak dll – yang dapat membantu untuk merekontruksi dan menganalisis tentang kehidupan sosial di masa lampau, oleh sebab itu tidak ada bahan yang dapat diakui sebagai khas kepunyaan sejarah sosial.
·         Sementara itu, sejarah politik lebih menekankan peranan orang-orang besar, peristiwa-peristiwa besar seperti  perang, revolusi, hubungan diplomatik, dan peristiwa politik kenegaraan lainnya , yang menyebabkan seolah-olah pengkajian dan penulisan sejarah orang-orang kecil dalam skala mikro tidak penting. Ungkapan bahwa “sejarah adalah politik masa lalu merupakan cerminan kuatnya kecenderungan pengkajian politik dalam sejarah konvensional. Tentu saja pengerjaan sejarah seperti itu kurang memuaskan sehingga historiografi yang dihasilkannyapun kurang lengkap. Oleh sebab itu, kemudian berkembang kesadaran akan pentingnya penelitian sejarah yang memperhatikan aspek-aspek lain di luar aspek politik, misalnya aspek sosial dan ekonomi, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari peristiwa masa lalu. Masalah politikpun kemudian tidak hanya dipahami sebagai peristiwa politik yang berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan aspek-aspek lainnya yang sifatnya non-politik. Kesadaran baru ini sekaligus juga mengisyaratkan adanya perubahan orientasi metodologis dalam pengerjaan sejarah yang menuntut setiap sejarawan membekali dirinya dengan seperangkat keahlian teknis dan wawasan teori serta konsep yang lebih baik.
·         Peristiwa masa lalu sebagai gejala kemanusiaan meliputi berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu pengkajian terhadap peristiwa masa lalu, apapun yang hendak diteliti tentang masa lalu itu, menyadarkan kepada sejarawan bahwa tidak ada proses sejarah yang dapat diterangkan dengan faktor tunggal. Hal ini, menyebabkan munculnya pemikiran-pemikiran baru terhadap penulisan sejajarah, yang kemudian melahirkan sejarah sosial sebagai reaksi terhadap genre penulisan sejarah yang berifat kronikel seperti yang dipelopori Leopold Von Ranke pada abad ke-19. Mazhab Ranke menganggap sejarah yang empiris dalam bentuk deskriptif-naratif, jadi yang ditonjolkan ialah fakta-fakta sejarah yang tersusun dalam kerangka yang hanya menjawab pertanyaan bagaimana sesuatu sesunggguhnya terjadi. Sementara itu sejarah sosial lebihn banyak menerapkan penulisan sejarah deskriptif analitis dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial atau multi dimensional. Sejarah sosial melihat bahwa peristiwa sejarah tidak cukup hanya dijelaskan melalui satu dimensi melainkan harus dari berbagai dimensi. Sekurang-kurangnya munculnya kesadaran penenelitian terhadap masa lalu dengan memperhitungkan banyak aspek itu baru muncul kemudian setelah pengkajian dan penulisan sejarah konvensional yang lebih menekankan pada aspek politik dan peranan orang-orang besar mulai dipertanyakan. Pandangan Ranke yang menyatakan bahwa  tugas seorang ilmuwan sejarah adalah menemukan ”apa yang sesungguhnya terjadi”. Teknik penelitian yang dia rekomendasikan adalah menemukan dan mengkritik dokumen dalam rangka merekonstruksi setepat mungkin peristiwa yang terjadi. Dengan demikian tugas utama sejarawan adalah menceritakan setepat mungkin peristiwa masa lalu sesuai dengan dokumen yang ditemukan, tanpa harus membuat analisis dan interpretasi yang terlalu jauh tentang kejadian sejarah yang ditelitinya itu. Barangkali apa yang disampaikan Ranke dan sejarawan konvensional lainnya merefleksikan pandangan tentang pengkajian sejarah dalam suasana kronikel yaitu menemukan jawaban dan melaporkannya tentang “apa”, “kapan”, “siapa”, dan “di mana” peristiwa sejarah itu. Langkah lebih jauh dari itu terutama untuk menemukan jawaban dari pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa” peristiwa itu terjadi masih dihindari atau belum dianggap sebagai sesuatu pertanyaan yang penting. Jawaban kepada dua pertanyaan terakhir sebenarnya telah mendorong sejarawan tidak hanya berhenti pada usaha penulisan sejarah secara “kronikel”, melainkan  ada keharusan untuk “melukiskan” atau “menginterpretasikan” fakta-fakta sejarah yang ditemukan sehingga terbuka kemungkinan untuk dapat “menerangkan” peristiwa itu selengkap mungkin.

2.        Apa arti structure dan conjungture bagi seorang sejarawan sosial dalam melihat suatu fenomena sosiologis?
·      Structure menurut titik awal yang harus diperhatikan oleh seorang sejarawan dalam melihat suatu fenomena sosiologis. Dengan memperhatikan segi structure  seorang sejarawan dimungkinkan untuk melakukan analisis secara lebih mendalam terhadap sutau fenomena sosiologis yang dijumpainya. Sehingga dapat diungkapkan latar belakang, kondisi dan setting ekonomis, sosial, politik, dan kultural (konteks istuasional di mana suatu kejadian terjadi), yang kesemuanya lebih menunjukkan keadaan “statis” (kalaupun ada gerakan sangat kecil sekali sifartnya/perubahan yang terjadi secara lambat-laun) karena sifat strukturalnya. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, kerangka struktural akan membuat analisisnya lebih tajam. Dengan demikian lebih besar kemampuannya untuk menerangkan kausalitas atau menjawab “mengapanya” jauh lebih jelas daripada penjelasan dengan uraian naratif belaka. Dalam setiap structure ada elemen perubahan, gerakan, sehingga struktur juga tampak sebagai conjungture.
·      Conjuncture menggambarkan gelombang gerakan perkembangan sejarah dalam jangka waktu yang panjang, atau bisa dikatakan conjungture adalah aspek dinamis dari structure. Melalui perhatian penuh terhadap strutrure dapat mengurangi gaya penukisan sejarah yang selama ini lebih banyak bersifat deskriptif-naratif atau juga disebut sejarah kejadian-kejadian yang dipandang hanya mengutarakan apa yang terjadi “dipermukaan” saja dan hanya merupakan “riak” atau “pantulan” dari aliran besar di bawah. Hal ini yang kemudian memunculkan pertanyaan bagaimana bidang sejarah memperthankan otonominya serta diskursi sejarahnya, meskipun dalam pendekatannya telah banyak mempergunakan bantuan alat-alat konseptual, teoritis, dan analitis dari ilmu-ilmu sosial??? Oleh sebab itulah ada satu hal yang perlu dipegang teguh oleh sejarawan yaitu bagaimanapun juga dimensi waktu tidak dapat dikesampingkan. Dengan conjungture dimensi waktu dan tempat daru unsur-unsur substruktur senantiasa diperhatikan, sehingga bahaya atau bias sinkronisme dapat dihindari. Sehingga terbentuk sejarah jangka panjang dengan perspektif memakai pendekatan struktural; jadi tidak semata-mata sinkronis sifatnya.
Dengan memperhatikan structure dan conjungture ini maka dalam penulisan sejarah akan dijumpai deskripsi dan analisis yang tersusun berdasarkan kerangka konseptual dari ilmu-ilmu sosial. hal ini merupakan adaptasi dari ilmu sejarah kepada perkembangan ilmu-ilmu pada umumnya dan ilmu sosial khususnya. Dengan demikian kapasitas, kapasitas dipiplin itu mampu meningkatkan produktivitasnya tanpa melebur diri ke bidang lain. Lagi pula, sejarah dapat memperdalam analisis dan eksplanasinya.

3.        Kemukakan tentang model evolusi dan model komparatif dikronis dalam sejarah sosial. Bagaimana menggunakan kedua model tersebut untuk menuliskan tentang “Sejarah Revolusi Hijau” di Indonesia?
·      Model evolusi dalam sejarah sosial adalah salah satu model model yang telah dipakai sejarawan dalam merekonstruksi masa lampau sehingga mempunyai daya menerangkan yang lebih kuat tanpa harus membuat generalisasi. Model evolusi digunakan untuk menjelaskan proses perubahan dari masyarakat sederhana menuju masyarakat kompleks (misalnya pertumbuhan desa menjadi kota atau perubahan kota pusat kerajaan tradisional menjadi kota modern). Tentu saja model ini hanya dapat diterapkan pada bahan kajian yang memang mencoba mengaji masyarakat dari permulaan berdirinya, yaitu jika memang sumber-sumber sejarahnya memungkinkan untuk penulisan yang begini.
·      Sementara itu model komparatif diakronis dalam sejarah sosial adalah
model yang menduduki posisi sentral dalam teori sosial. Kajian sosiologi biasanya membandingkan masyarakat-masyarakat yang secara mendasar sama strukturnya/sama spesiesnya atau yang secara mendasar memang berbeda. Meskipun sebagian sejarawan menolak studi komparasi dengan alasan mereka hanya mengamati hal-hal yang khusus, unik, dan tak bisa diulang, metode komparasi sebenarnya membuat sejarawan bisa melihat apa yang tidak ada atau memahami signifikansi hal-hal tertentu yang tidak ada. Setelah PD II penelitian komparatif mendapat momentum, dengan maraknya subdisiplin seperti ilmu ekonomi pembangunan, sastra komparatif dan ilmu perbandingan politik. Dalam sejarah ekonomi misalnya, proses industrialisasi sering ditinjau dari perspektif komparatif. Sejarawan mempertanyakan, apakah negara-negara lain melakukan industrialisasi sejalan dengan atau berbeda dengan model revolusi industri Inggris? Setiap sistem ekonomi merupakan bagian dari sistem sosial yang lebih besar dengan kekhususan sejarahnya, pola-pola budaya, kepemimpinan dan struktur kelas, dan semua ciri-ciri konflik dan kompetisi dari relasi sosial. Salah satu kesalahan yang sangat umum dalam kebijakan pembangunan, terutama  pada awal tahun 50-an, adalah asumsi bahwa akumulasi pengalaman negara-negara maju di Barat mempunyai validitas umum bahwa pengalaman itu dapat diterapkan  tanpa modifikasi untuk semua tempat di dunia. Asumsi seperti itu jelas keliru, karena tidak menempatkan peristiwa pada konteksnya. Selain  komparasi secara spasial seperti yang dicontohkan diatas model komparatif diakronis juga dapat melakukan komparasi secara temporal – dalam hal ini akan nampak seperto model interval. Dimana peristiwa sejarah akan dikambarkan sebagai kumpulan dari lukisan sinkronis yang diurutkan dalam kronologis sehingga tampak perkembangannya.
·      Penggunaan model evolusi dan model komparatif dikronis dalam menuliskan tentang “Sejarah Revolusi Hijau” di Indonesia:
1)      Modernisasi pertanian melalui revolusi hijau yang berkembang sejak tahun 1950-an merupakan konsekuensi logis dari paradigma modernisasi dimana pembangunan dianggap sebagai upaya untuk merubah masyarakat tradisional menuju modern. Karena asumsi dari paradigma ini dalam melihat masyarakat tradisional adalah merupakan masyarakat yang masih terbelakang dalam pengetahuan, teknologi maupun pola pikir maka kegiatan untuk memajukan kehidupan mereka ke arah yang lebih baik (modern) diperlukan adanya upaya intervensi dari pihak luar seperti negara ataupun pihak lain untuk melakukan akselerasi perubahan masyarakat dari masyarakat yang bercirikan tradisional menjadi masyarakat modern. Modernisasi di bidang pertanian dilakukan pada peralatan, peningkatan cara berpikir, cara berorganisasi dari para petani. Juga cara bercocok tanam dengan varietas tanaman yang memiliki sifat unggul adalam waktu tanam yang tinggi serta produknya yang mempunyai pemasaran yang baik. Revolusi hijau dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan berproduksi tanah petani melalui mekanisasi pertanian sehingga produksi pertanian tidak hanya untuk kebutuhan bagi masyarakat yang bersangkutan tetapi yang lebih penting adalah komoditi pertanian akan dapat dieskpor ke negara lain. Modernisasi pertanian adalah komoditi pertanian akan dapat diekspor ke negara lain. Diharapkan dengan adanya revolusi hijau, negara-negara berkembang dapat mengejar pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produksi maupun meningkatkan ekspor pertanian. Revolusi hijau di Indonesia yang dicanangkan pemerintah orde baru pada awal tahun 1970-an melalui program-program Bimbingan Massal (Bimas), Intensifikasi Massal (Inmas) kemudian dikembangkan kegiatan melalui kelompok tani seperti Intensifikasi Khusus (Insus) dan juga berbagai perangkat untuk membantu petani meningkatkan produktivitas usaha taninya telah diadakan misalnya, dalam hal kelembagaan, penyuluhan, kredit, pemasaran dan koperasi. → Bila menggunakan model evolusi dalam melihat Sejarah Revolusi Hijau di Indonesia ini, maka yang termuat adalah uraian secara lengkap tentang sejarah masuk dan penerapan dari Revolusi Hijau di Indonesia (deskriptif naratif).
2)      Penerapan Revolusi Hijau di Indonesia lebih bayak ditujukan pada sektor modern walaupun sektor tradisional tidak dilupakan tetapi tidak terlalu dipentingkan bahkan kerapkali harus dikorbankan demi untuk mencapai tujuan pertumbuhan. Tingkat pertumbuhan tergantung dari produktivitas yang diperoleh melalui teknologi, modal dan keterampilan yang tinggi. Disinilah maka lapisan masyarakat yang kurang terampil, kurang pendidikan, kurang modal dan kurang mampu menyerap teknologi maju terpaksa harus ditinggal atau ditinggalkan dalam proses pembangunan. Revolusi Hijau di Indonesia telah menyebabkan perubahan besar bagi kehidupan petani yaitu timbulnya komersialisasi dalam pengambilan keputusan terutama di bidang produksi. Hal ini karena dipengaruhi penggunaan sarana produksi yang harus dibeli dari dari luar desa. Program modernisasi pertanian melalui Bimas dan Inmas, alih-alih memberikan nilai tambah kepada petani justru semakin memperbesar hutang petani karena biaya produksi lebih tinggi dibandingkan harga jual hasil panen. Dampak sosial yang lebih parah adalah musnahnya sebagian besar kekayaan hayati petani, padahal aset tersebut merupakan kekayaan yang sangat bernilai bagi keberlangsungan hidup petani. Terjadinya erosi genetik untuk berbagai jenis padi tradisional disebabkan oleh arogansi pemerintah yang melarang petani menanam berbagai varietas lokal, padahal banyak penelitian menunjukkan bahwa jenis padi lokal terbukti lebih tahan terhadap serangan hama daripada varietas bibit unggul, bersamaan dengan itu  muncul pula hama tanaman yang lebih tahan terhadap obat pembasmi, hal ini disebabkan penggunaan pestisida yang berlebihan. Bagi petani lokal pedesaan di Indonesia persepsi moral merupakan dasar dari setiap tindakan petani dalam aktivitasnya. Secara moral petani tidak akan mengambil tindakan yang berbahaya, beresiko tinggi dan mengancam tingkat subsistensi mereka. Namun di sisi lain ada kalanya persepsi petani kerap kali justru juga dipengaruhi oleh aspek-aspek spekulatif dan perhitungan untung rugi yang sangat cerdik. Sejarah pembangunan dengan idiologi modernisasi dalam beberapa dasawarsa, kita tahu bahwa perubahan-perubahan yang terjadi itu memang “masuk dari luar” atau “dari atas”, maka kaum birokrat atau teknokrat pada waktu itu memelopori menjadi “agen pembangunan”. Ada sejumlah hal yang dinomorsatukan oleh golongan profesional dan ada pula yang dinomorduakan ketika mereka menyusun rencana program dan memilih teknologi. Penyeragaman penggunaan varietas padi unggul yang direkomendasikan pada petani ternyata tidak diterima secara keseluruhan oleh petani walaupun penilaian dan pemahaman secara umum bahwa penggunaan varietas unggul lebih memberikan hasil yang lebih baik. Masih banyak petani lebih memilih menanam varietas lokal/tradisional daripada memilih varietas unggul. Begitu juga dalam penggunaan pupuk, pestisida maupun teknik-teknik bercocok tanam masih menjalankan pola tradisional (dalam kategori profesional). Petani sebagai aktor sosial tidak hanya dilihat sebagai obyek pasif dari sebuah intervensi namun dianggap sebagai partisipan aktif yang memproses informasi dan ikut membentuk strategi dalam menghadapi berbagai aktor dan intitusi atau personel luar. Sehingga ketika melihat kebijakan pemerintah (aras makro) yang berhubungan dengan petani sebagai pelaksana lapangan (aras mikro) tidak harus terbatas pada intervensi dari atas, model top down atau oleh pemerintah, agen-agen pembangunan tetapi harus juga melihat para aras mikro dimana petani sebagai aktor. Hal ini disebabkan kelompok-kelompok lokal secara aktif merumuskan dan berusaha mewujudkan program pembangunan hasil rencananya sendiri yang sering berbenturan dengan kepentingan otoritas sentral dan agen-agen pembangunan.  → Dengan model komparatif diakronis, akan ditemukan analisis-analisis tentang tanggapan dan dampak dari masyarakat petani kecil yang terkadang berbeda dari apa yang diharapkan oleh apa yang direncanakan atau diharapkan oleh golongan pembuat kebijakan (pemerintah). Bahwa yang terjadi setelah penerapan Revolusi Hijau di Indonesia bila dikomparasikan dengan masa sebelumnya tidak selalu menunjukkan hasil yang lebih baik bagi kehidupab para petani kecil.

4.        Kemukakan pula perbandingan antara pendekatan Durkhemian dan pendekatan Marxian dalam penyusunan sejarah sosial. Bagaiamana menggunakan perpektif Weberian untuk kasus sejarah Indonesia pada masa Pergerakan Nasoinal yang menghadirkan munculnya kelas sarjana pribumi dan para pengusaha pribumi Islam?
Pendekatan Durkhemian lebih memusatkan perhatiannya pada peran dalam sutau masyarakat, sementara individu (agent) tidak mempunyai peran (tidak mempunyai daya) sehingga hanya bergerak atau bergantung sesuai dengan kerangka atau batasan yang telah digariskan oleh struktur dari masyarakatnya. Menurut pendekatan ini struktur dari masyarakat adalah ketetapan, bukan pengulangan dari unsur-unsur homogen, tetapi oleh suatu sistem dari organ yang berbeda, masing-masing untuk setiap sesuatu telah mempunyai peran khusus dan milik mereka tidak terbentuk dari bagian yang berbeda. Meskipun masyarakat tumbuh dengan cepat, maka kondisi kehidupan individu tidaklah sama untuk setiap tempat. Solidaritas mekanik berkaitan dengan pertumbuhan pembagian tenaga kerja, dimana semakin meningkat pembagian kerja maka perubahan struktur sosial dari solidaritas mekanik ke solidaritas organik. Durkheim lebih menekankan pada integrasi sosial seperti halnya diktum agama bagian masyarakat merupakan ritual untuk mencapai integrasi sosial. Menurut Durkheim dalam perkembangan masyarkat terdapat dua tipe solidaritas, yaitu solidaritas mekanik adalah bentuk primitif dari organisasi sosial, yang ditandai dengan kecenderungan dan ide bersama yang lebih banyak (dibandingkan dengan perbedaan individual), tata sosial mempunyai keseragaman yang besar, kesadaran kolektif sama sekali membungkus keseluruhan kesadaran anggota masyarakatnya dan dalam segala hal kesadaran anggota masyarakat serupa dengan kesadaran kolektif, dan solidaritas mekanik ini dipertahankan dengan menerapkan sanksi-sanksi memaksa terhadap orang yang menyimpang; dan solidaritas organik yang berasal dari pembagian kerja yang menyertai perkembangan sosial, lebih berakar di dalam perbedaan ketimbang persamaan, karena kondisi masyarakat yang semakin berkembang menuntut solidaritas yang didasarkan atas diferensiasi – bermacam-macam fungsi dan pembagian kerja, dan solidaritas ini ditandai oleh sanksi-sanksi pengganti – di mana penggantian barang-barang sebagaimana adanya menjadi tujuan hukum. Menurut Dhurkheim faktor penyebab perubahan sosial yang ditandai dengan terjadinya pembagian kerja dan tipe solidaritas baru (dari solidaritas mekanik menjadi solidaritas organik) adalah volume dan kepadatan masyarakat. Pentingnya peningkatan pembagian kerja dalam masyarakat yang lebih banyak dan lebih padat penduduknya ini disebabkan semakin gawatnya perjuangan untuk mempertahankan hidup, di mana semakin serupa penduduknya, semakin besar persaingan di antara mereka, karena mereka sama-sama berjuang untuk mempertahnkan untuk mendapatkan sumber-sumber yang terbatas. Singkatnya, pembagian kerja di dalam masyarakat yang lebih banyak dan lebih padat penduduknya adalah penting untuk menghindari konflik sosial yang merusak. Evolusi manusia akan menin gkatkan dominasi solidaritas organik atas solidaritas mekanik. Jika solidaritas kelompok berubah bentuknya, maka struktur sosial pun akan berubah. Tetapi Durkheim tidak berpendapat bahwa salah satu di antara kedua tipe solidaritas itu akan muncul secara mutlak di dalam setiap masyarakat yang nyata. Arah perubahan adalah menuju solidaritas organik, dan tipe struktur sosial akan ditandai oleh solidaritas organik itu, namun bekas-bekas solidaritas mekanikpun akan tetap ada. Sehingga Dhurkheim meragukan pencapaian peradaban, ia merasa bahwa ada kemungkinan terjadinya hubungan sebaliknya antara pertumbuhan kultur dan kebahagiaan manusia. Lebih lanjut Durkheim mengingatkan kita agar hati-hati dalam melihat kekeliruan pandangan utopia – ada kekurangan masa sekarang, dan keselamatan umat manusia takkan dapat tercapai dengan membantu orang lain untuk menjadi serupa dengan kita (Barat) secepat mungkin.
Pendekatan Marxian juga memusatkan perhatiannya pada peran dari struktur dalam suatu msyarakat. Perbedaan dari kedua pendekatan ini terdapat pada gambaran yang diberikan terhadap proses perubahan masyarakat. Sementara menurut penganut Durkhemian menganggap perubahan akan dicapai dengan proses adaptasi dari fungsi dalam struktur yang dilakukan secara terus menerus, sehingga keharmonisan dan keteraturan selalu menjadi akhir dalam menanggapi perubahan. Para penganut Marxian lebih memberikan posisi konflik sebagai kunci untuk mencapai perubahan. Jadi dalam pandangan Marxian konflik adalah unsur yang abadi dalam masyarakat. Melalui konflik yang terus menerus inilah struktur dapat melakukan konsolidasi untuk menemukan bentuk yang sesuai bagi masyarakatnya. Menurut pendekatan ini penyebab perubahan harus dicari di dalam cara-cara produksi ketimbang di dalam ide-ide, jadi bukan cara manusia berpikir dan juga buka apa yang dipikirkan manusia yang mebentuk sejrah melainkan cara mereka berhubungan di dalam proses produksi dan cara hubungan mereka dengan produksilah yang membentuk sejarah. Hal ini di dasarkan pada keadaan setiap masyarakat yang ditandai oleh suatu infra-struktur yakni ekonomi dan supra-strukturnya yang terdiri dari ideologi, hukum, pemerintahan, keluarga, dan agama. Artinya basis materiil (ekonomi) masyarakat adalah landasan tempat membangun semua basis kehidupan lainnya, dengan demikian perubahan cara produksi menyebabkan perubahan di dalam seluruh hubungan sosial manusia. Penyebab perubahan adalah kontradiksi antara kekuatan-kekutan produksi dengan hubungan-hubungan produksi, yang menjelma dalam pertentangan kelas (sejarah pertentangan kelas). Kontradiksi manjadi sifat bawaan proses sosial dan akan menjadi mekanisme pendorong perubahan sosia, kontradiksi ini juga yang menjadi inti kemajuan. Sebagai hasil kontradiksi iakan melahirkan revolusi komunis yang mengahsilkan masyarkat tanpa kelas. Dan masyarakat tanpa kelas ini pada hakikatnya akan merupakan suatu tatanan masyarakat, di mana setiap orang akan berbuat sesuai dengan kemampuannya, dan akan menerima sesuai dengan kebutuhannya. Terakhir, Marxisme menekankan pentingnya pemahaman struktur sosial dalam memahami perilaku manusia. Bukanlah kesadaran yang membentuk realitas, melainkan realitaslah yang menentukan kesadaran. Apa yang dilakukan manusia, bagaimana ia berpikir, dan apa yang ia yakini, mencerminkan struktur sosial tempat ia berada.
Perbedaan pandangang dari penganut Durkheimian derngan Marxian adalah cara memandang perubahan sosial. Durkheim melihat perkembangan sosial dengan memahami perkembangan tersebut serta mencari solusi terhadapnya.Tapi Marx justru melihat lebih jauh, dia tidak hanya mencari solusi tapi juga menganjurkan kepada masyarakat yang dibelanya untuk melakukan solusinya (action/praxis) dalam mengubah kondisi sosial. Adapun perbedaan lainnya adalah, Durkheim melakukan observasi dengan asumsi-asumsi yang tidak memihak sedangkan Marx dari awal sudah melakukan pemihakan terhadap sekelompok masyarakat yang diamatinya dan mempunyai posisi tertentu. Sehingga jika nantinya Marx menemukan fakta yang tidak mendukung posisinya, dia akan mengabaikannya atau berpura-pura tidak tahu. Benar kiranya bahwa Marx a priori dan tidak objektif, tapi dalam menarik kesimpulan beberapa pemikirannya tetap relevan sepanjang masa. si dari pemikiran Marx merupakan pembahasan terhadap kebenaran adanya kesewenang-wenangan dari satu pihak terhadap pihak lainnya. Ada pihak yang penindas dan ada pihak yang tertindas. Teori sosialnya menggambarkan betapa buruk nasib yang tertindas serta betapa jahatnya sikapnya si penindas. Dalam kondisi sekarang, ada salah satu pemikirannya yang masih relevan yaitu: hubungan penguasa dan pengusaha. Pengusaha mempunyai kepentingan ekonomi dan penguasa mempunyai kewenangan politik untuk memenuhi kepentingan ekonomi para pengusaha. Secara lebih terperinci gaya teori yang dikemukakan oleh Durkheim, memberikan perhatian lebih baynak kepada mekanisme spesifik yang mewujudkan gambaran kolektif dalam masyarakat. Durkheim hanya menawarkan model hubungan kausal satu arah, di mana struktur makroskopik (seperi kesadaran kolektif) memaksa mikro-obyektif dan mikro-subyektif. Dalam analisa Durkheim jelas terlihat bagaimana aktor dipengaruhi oleh masyarakat, tetapi tak dibicarakan tentang bagaimana masyarakat yang lebih luas itu saban hari dan secara terus menerus dibentuk oleh aktor-aktor. Hal ini tercermin dalam idenya tentang kebebasan, menurutnya individu bebas jika mereka dipaksa oleh kekuatan sosial yang lebih besar yang memungkinkan mereka mengendalikan keinginan-keinginan lainnya yang dapat memperbudak mereka (kebebasan datang dari paksaan struktur makro). Sedangkan gaya teori yang dikemukakan oleh Marx, sekalipun ia memberikan tekanan lebih besar kepada struktur makro, namun ia memberikan konsep tentang aktor yang aktif, kreatif, dan voluntaristis. Marx memandang aktor selaku  pemilik sifat sosial dalam dirinya, ambil bagian dalam proses interaksi dengan aktor lain dalam upaya kolektif untuk kesempurnaan harkat dirinya. Marx yakin bahwa individu dibekali dengan kemampuan berpikir aktif, dan kreatif yang berperan penting mengembangkan masyarakat. Serentetan struktur muncul kepermukaan masyarakat; keluar dari mikro-subyektif, dari proses-proses mikro-obyektif dan menimbulkan struktur masyarakat. Ini secara tidak langsung menyatakan adanya hubungan dialektika antara realitas sosial tingkat mikro dan makro. Manusia membentuk realitas sosial dan pada gilirannya realitas sosial itu menciptakan kehidupan bermasyarakat, dari individu. Tetapi model teoritis Marx ini ditumbangkan oleh kenyataan historis yang sesungguhnya terjadi, terutama dengan perkembangan kapitalisme. Aktor dipaksa oleh struktur makro. Inilah makna dari ide Marx yang tersohor bahwa “manusia menciptakan sejarah tetapi mereka tidak menciptakannya sesuai yang mereka kehendaki”. Hal ini yang menyebabkan Marx memusatkan perhatiannya lebih besar kepada struktur makro dan mengabaikan realitas sosial pada tingkat mikro. Apa yang selanjutnya terjadi pada tingkat mikro ialah ketidak berartian; dan untuk membuatnya berarti kembali, marx merasa perlu melancarkan kritiknya terhadap struktur makro yang ada untuk membantu mengahncurkannya dan dengan cara demikian mengembalikan arti penting dari pada proses mikroskopik.
Pendekatan Weberian, berbeda dengan dua pendekatan di atas, karena pendekatan ini lebih memberikan ruang gerak bagi individu (agent) sebagai komponen yang membentuk masyarakat.  Keadaan masyarakat atau kelompok-kelompok tidaklah sama, terdiri dari aneka ragam kekuatan dan pengaruh cara tradisi, kekayaan dan kedudukan. Adapun pokok-pokok pikiran Weber adalah: Metode Verstehende yang berusaha memahami tindakan-tindakan sosial dengan menguraikan sebab-sebab tindakan tersebut. Pokok penyelidikan Weber adalah tindakan seseorang dan alasan-alasannya bersifat subyektif. Dengan kata lain Vertehende adalah metode pendekatan yang berusaha mengerti makna yang mendasari dan mengitari peristiwa sosial dan history; Sosial Action yaitu pola-pola hubungan sosial dan struktur sosial akan dipengaruhi oleh tindakan sosial seperti halnya adanya Zurek Rational, Wert Rational, Affectual, Tradisional.
Penggunaan teori Weberian untuk kasus sejarah Indonesia pada masa pergerakan nasional yang menghadirkan munculnya klas sarjana pribumi dan para pengusaha pribumi Islam yaitu terutama pandangan tentang Wert Rational, tindakan rasional namun menyadarkan diri pada nilai-nilai absolute tertentu (etis, estetis, religi dll). Pandangan ini di dapat dengan melakukan penelitian tentang pengaruh agama Kristen Protestan (Calvin) terhadap menguatnya semangat kapitalisme. Weber memandang agama sebagai sistem ide, yang merupakan kekuatan otonom dan kreatif dalam perubahan sosial. Agama dengan demikian berfungsi sebagai matrik makna yang berperan dalam tindakan individu-individu dalam masyarakat. Weber membuat analisis rinci dan canggih tentang rasionalisasi fenomena seperti agama, hukum, kota dan bahkan musik. Dalam studi sejarah bercakupan luas, Weber berupaya memahami mengapa sistem ekonomi rasional (kapitalisme) berkembang dibarat dan mengapa gagal berkembang di masyarakat lain di luar masyarakat barat. Menurutnya agama bukanlah sebuah epifenomena semata. Agama telah memainkan peran kunci dalam pertumbuhan kapitalisme barat, tetapi sebaliknya gagal mengembangkan kapitalisme di masyarakat lain. Weber menegaskan bahwa sistem agama rasionallah (calvinisme) yang memainkan peran sentral dalam menumbuhkan kapitalisme di barat. Sebaliknya dibelahan dunia lain yang ia kaji, Weber menemukan sistem agama yang lebih irrasional (misalnya, confusianisme, Taoisme, Hinduisme) merintangi perkembangan sistem ekonomi rasional. Tetapi, pada akhirnya agama-agama itu hanya memberikan rintangan sementara, karena sistem ekonomi dan bahkan seluruh struktur sosial masyarakat pada akhirnya akan menjadi rasional. Adapun bentuk fungsionalisme Weber ialah etika protestan dan semangat kapitalisme serta studi koparatifnya. Weber melihat reformasi protestan menyebabkan perusahaan ekonomi yang merupakan gejala unik di dalam sejarah manusia dan pengikut aliran protestan mempunyai suatu etika kerja yang luar biasa. Tesis Weber tentang etika Protestan yang ini digunakan oleh Geertz di Jawa dan Robert Bellah di Jepang, yang juga ingin memperbandingkan etos kerja kedua masyarakat itu. → Semangat kapitalisme di Indonesia justru tidak muncul pada penganut agama protestan melainkan pada kalangan Islam, yang pada masa pergerakan nasional memunculkan sarjana pribumi dan para pengusaha pribumi yang kebanyakan dari kalangan Islam. Keterlibatan para ulama dalam politik dibebabkan Islam sebagai sebuah agama tidak hanya mengajarkan tata cara ibadah untuk kecenderungan akhirat belaka, tetapi juga mengajarkan tata cara bermuamalah, berinteraksi sosial dalam urusan dunia. Ajaran Islam juga mengajarkan untuk berusaha keras bagi kehidupan di dunia sehingga bisa menjadi orang yang sukses, karena amal yang dilakukan didunia inilah yang akan menentukan bagaimana kehidupannya diakhirat nanti. Seperti dijelaskan dalam Al-Qur’an: “berbuatlah untuk duniamu seakan kamu hidup selamanya, dan berbuatlah untuk akhiratmu seakan kamu mati besok”. Selain itu dijelaskan agar setiap muslim untuk mengejar kesuksesan karena dalam Islam “kemiskinan sangat dekat dengan kekufuran”. Oleh sebab itulah para santri yang taat agama kebanyakan menjadi sangat ulet dan menjadi orang-orang sukses, dan banyak diantara mereka yang menjadi tokoh pergerakan nasional. Meningkatnya jumlah para ulama yang menuntut ilmu ke Timur Tengah pada paruh akhir abad ke-19, menyebabkan munculnya pemikiran-pemikitan baru tentang strategi dalam menghadapi kompetisi dengan kekuatan kolonial Belanda dan penetrasi Kristen. Mereka menyadari bahwa mereka tidak akan berhasil kalau terus menerus melanjutkan cara-cara tradisional. Pada masa-masa awal abad ke-20 gerakan-gerakan ini mulai mengambil bentuk lain, yaitu perjuangan melalui organisasi dan partai yang mempunyai ideologi dan strategi yang lebih jelas di kota-kota besar, yang kelak berperan sebagai dasar pengikat persatuan sebagai simbol pembeda dengan kolonial Belanda dan bahkan memberikan rasa harga diri sebagai sebuah bangsa, yaitu bangsa Indonesia. Perjuangan melalui organisasi politik ini seperti yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan gerakan Muhammadiyah yang menitikberatkan pada pemurnian Islam agar kembali pada sumber asli Al-Qur’an dan Hadis, maupun oleh K.H. Hasyim Asy’ari dengan gerakan NU yang menitik beratkan pada kemurnian mazhab. Walaupun terdapat perbedaan, namun mereka sama-sama ingin menjadikan Islam sebagai landasan ideologis dan selanjutnya menjadikan Islam sebagai perjuangan politik untuk melawan kekuasaan kolonial, menjadikan Islam sebagai sarana untuk mengangkat harga diri berhadapan dengan kekuasaan kolonial. Islam juga dijadikan peletak landasan kesamaan, pengikat persatuan, sebagaimana yang diperjuangkan oleh Sarekat Islam (SI), “bangsa Islam” yang mengawali perasaan sampai pengertian nasionalisme Indonesia ditemukan.

Daftar Bacaan:
Abdullah, Taufik. 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Budiadjo, Miriam. 1992. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Budiman, Arif .1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dan Metodologi Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Kartodirdjo, Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Imperialisme Sampai Kolonialisme. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Korver, A.P.E. 1985. Sarekat Islam: Gerakan Ratu Adil?. Jakarta: PT Grafitipers.
Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Nasikun. 1980. Revolusi Hijau dan Masalah Pengangguran di Negara-negara Berkembang. Jakarta: LP3ES.
Noer, Deliar. 1990. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3S.
Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. 1993. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka.
Ritzer, George. 2004. Teori Sosologi Modern. Jakarta: Kencana.
Soekanto, Soejono. 1974: Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Yayasan Penerbit Universitas Indonesia.
Soelaeman, Munandar. 2001. Ilmu Sosial Dasar: Teori dan Konsep Ilmu Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama.



Untuk lebih lanjutnya…….
1.    Pastikan anda menjadi pengikut blog ini
2.    Kirim email ke: sangajimbojo@gmail.com atau ranggambojo@ymail.com
3.    Gabung di facebook dengan alamat email di atas

1 komentar:

  1. BAGUS BANGET TUK PENGETAHUAN KITA SEMUA,THANKS ATAS INFO NYA

    BalasHapus